Mohon tunggu...
Jonathan K.
Jonathan K. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis amatiran, kadang berlagak ahli suluk.

Mahasiswa di satu perguruan tinggi swasta di Kota Bandung. Penggemar berat Queen, Dewa, dan Tottenham Hotspurs.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Semua Akan (Bisa) Buzzer pada Waktunya

27 Agustus 2021   19:52 Diperbarui: 27 Agustus 2021   20:28 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Panorama terkini yang terjadi di negara kita ini nampaknya tidak bisa dilepaskan oleh fenomena buzzer di media sosial maupun di kehidupan pribadi. Secara etimologis buzzer di ambil dari kata 'buzz' yang berarti kebisingan. Jadi dengan adanya sufiks -er, secara keseluruhan arti buzzer diartikan sebagai individu, akun media sosial yang menciptakan kebisingan. Ada sedikit definisi tambahan jika dikatikan dengan fenomena di negeri kita ini, yakni sebagai pembuat persuasi yang ampuh untuk beberapa 'produk' ataupun berbagai motif lainnya.

Sederhananya, jika ada individu atau akun yang selalu menganggap satu pihak selalu benar dan enggan mengakui meskipun ada kekeliruan dan bahkan cenderung menyalahkan, melabeli pihak lain, maka dapat hampir dipastikan bahwa mereka tidak lain tidak bukan adalah buzzer. 

Secara fundamental merupakan seseorang/individu yang selalu menganggap diri benar dan menutup mata akan kemungkinan-kemungkinan kebenaran yang disampaikan oleh pihak yang 'salah' menurut mereka. Mereka mengamputasi kebebasan orang lain untuk menyampaikan argumen dan pendapat mereka. Jadi, menganggap diri benar dan menutup mata akan kebenaran yang disampaikan pihak lain, merupakan ciri-ciri utama dan paling dasar buzzer.

Di antara banyak sekali kesempatan, buzzer selalu hadir dan hampir mustahil dikatakan bahwa tidak ada peran buzzer di dalamnya. Di pilpres tahun 2019, kedua belah pihak menggunakan buzzer kelas beken hingga kelas teri. Jika melakukan kilas balik ke tahun pilpres 2019, ada dua 'faksi', yakni cebong dan kampret. Sebuah polarisasi pendukung yang memiliki skala luar biasa besar. Semua jenis buzzer dari kedua belah pihak 'dikerahkan' untuk mencapai tujuan mereka masing-masing, meski kedua belah pihak menyangkal semua dugaan itu.

Beberapa bulan ke belakang buzzer disimplifikasi dan digeneralisasi sebagai salah satu alat yang digunakan istana untuk 'menghajar' lawan atau pihak yang berseberangan dengan mereka. Padahal, siapapun menurut saya bisa saja menjadi buzzer. Bahkan ketika menulis opini amatiran ini, saya juga telah menjadi buzzer secara tidak langsung. Mengapa? Karena melalui tulisan ini saya dapat membuat kebisingan dengan membujuk atau mempersuasi pembaca untuk sebuah motif yakni, menuduh atau menandai orang lain sebagai buzzer.

Sebagian orang di media sosial amat banyak yang menuduh akun-akun pro-kekuasaan atau istana sebagai buzzer. Ya, betul. Mereka memang buzzer yang bergerak dengan motif menyalahkan atau bahkan menyerang pengkritik kekuasaan atau istana. Tetapi di sisi yang lain, seseorang yang berada di pihak berlawanan bisa juga telah menjadi buzzer. Mengapa? Karena mereka dapat juga menciptakan kebisingan dan mengajak sesamanya untuk menyalahakan kebijakan pemerintah, sama seperti apa yang dilakukan buzzer pro-kekuasaan. Maka, sempurnalah frasa yang terdapat pada judul, yakni "Semua Akan (Bisa) Buzzer pada Waktunya". Mereka semua menganggap diri mereka benar dalam berbagai hal.

Jika ada pihak yang merasa dirinya paling benar, lalu mereka akan menuduh sesamanya dengan label-label tertentu. Mereka saling tuduh dan tuding dengan melabeli kelompok yang berseberangan dengan mereka dengan istilah-istilah absurd semacam itu. Mereka tak sadar, bahwa ketika baru saja melontarkan istilah tersebut, mereka menjadi buzzer yang sempurna. Karena mereka memadukan anggapan bahwa diri mereka selalu benar sehingga menciptakan amplifikasi untuk kebisingan di tengah jagad maya maupun dunia nyata.

Lalu jika kita semua sudah muak dengan eksistensi kaum-kaum buzzer, kita lantas bertanya, bagaimana agar kita tidak menjadi buzzer. Jawabannya terdengar klise tetapi saya berkeyakinan bahwa ini merupakan cara yang cukup pragmatis. Yaitu dengan bersifat objektif dan kritis. Terdengar sederhana namun pengimplementasiannya memang diakui kadang sulit. Sulit meyakinkan diri yang kadang sudah termakan oleh keyakinan-keyakinan atau kepercayaan kita pada satu pihak tertentu. Jika selalu memandang satu pihak benar tanpa ada cacat, maka itu tiada lain tiada bukan merupakan suatu fanatisme buta.

Dengan bersifat objektif dan kritis, kita tak akan bisa diombang-ambing angin-angin ketidakpastian yang selalu menjadi sasaran buzzer. Sederhananya, kita tak boleh hitam putih dalam melihat persoalan, apalagi terkait dengan masalah-masalah yang ada  di muka bangsa ini. Jangan selalu membela pihak yang selalu kita anggap benar, karena mustahil pihak tersebut selalu benar. 

Fenomena eksistensi buzzer tidak lain adalah sebuah usaha untuk menyederhanakan akal sehat. Sebuah usaha untuk menyampingkan pikiran-pikiran kritis yang bisa dipergunakan manusia. Fenomena ini juga merupakan hasil egoisme dari satu individu atas objek yang menjadi sasarannya. Fanatisme buta hanyalah membawa malapetakan yang efeknya tak terkira. Maukah kita tidak menjadi buzzer? Atau memang kita semua sudah menjadi buzzer?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun