Entahlah, aku tidak tahu kenapa ketika dua manusia yang terjebak perasaan saling sayang pada akhirnya mesti merelakan diri mereka masing-masing untuk kembali berjalan sendiri-sendiri. Membiarkan diri mereka untuk menapaki jalanan sunyi yang teramat panjang dan melelahkan. Entahlah, aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.
***
Sesuai pesan singkat yang kamu kirim kepadaku, kamu memang sudah tiba lebih dulu di Lounge and Resto itu. Kamu menungguku duduk di bangku nomor tujuh.
“Aku sudah tiba Jon. Nanti kamu langsung masuk aja ya?”, bunyi text message-mu
Dari luaran, aku sudah melihatmu. Kamu terlihat begitu khusuk-nya memandangi buku daftar menu.
Untuk beberapa saat aku sengaja menghentikan langkah kakiku menujumu. Aku ingin mengamati dengan jarak. Aku mencoba melihat perubahan-perubahan yang terjadi padamu setelah sewindu kita tak bertemu.
Malam itu, kamu mengenakan blouse batik kombinasi berwarna dasar biru dengan beberapa asesoris menyertainya. Kamu pun menutupi rambut di kepalamu dengan hijab berwarna biru tosca. Kamu sungguh terlihat begitu serasi, anggun dan juga elegan. Tampaknya, kamu sekarang sudah begitu terbiasa berdandan. Berdandan? Oke.. bisa dimaklumi, kamu perempuan berusia dua lima, sudah sewajarnya bila kamu mulai memperhatikan menunjukkan keindahan-keindahan dirimu. Berhijab? Ini sesungguhnya yang membuatku tercenung. “Wow… sejak kapan kamu memutuskan berhijab?”, pikirku.
Aku mencoba mengingat kembali ke masa delapan tahun yang lalu. Masa ketika kamu masih mengenakan seragam putih abu-abu. Kamu yang saat itu adalah kamu dengan rambut tergerai sebahu, baju seragam yang sering tak ‘masuk-rapi’ sempurna, rok abu-abumu yang dua senti di atas lutut, sepatu Converse-mu yang lusuh dan kamu banggakan itu, hingga helm yang begitu penuh tempelan sticker-sticker yang tumpang-tindih. “Penampilan anak gaul tuh gini Jon”, katamu waktu itu. Ya.. Maria, itu kamu ketika usia sweet seventeen-an. Aku senyum-senyum sendiri mengingatnya.
“Hei Jon, ngapain senyum-senyum sendiri di situ, buruan sini..”, pintamu sambil melambaikan tanganmu.
Aku menyeringai sembari menggaruk-garuk kepalaku yang tak terasa gatal, lantas berjalan menujuke arahmu di bangku bernomor tujuh.
“Hei Bunda Maria-ku, long time no see”, sapaku sembari menelantangkan tangan seolah meminta pelukan.