Mohon tunggu...
Ajo Aguih
Ajo Aguih Mohon Tunggu... Freelancer - Bagurau supayo ndak katulangan

Mengabarkan nan patut dikabarkan Mengotakan nan patut di ota. Khakhakha

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Buya yang Ditinggalkan Ulama

7 Desember 2020   15:59 Diperbarui: 7 Desember 2020   16:08 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasrul Abit saat silaturahmi dengan Ketua Dewan Syuro PPII Masyumi Sumbar, Ustaz Jel Fathullah, Lc. di Fathullah Center

Politik itu terkadang bermuka dua. Ini ungkapan sopan untuk menetralisasi ungkapan lain yang lebih sadis, yakni politik bisa berupa kebohongan. Entah bermuka dua atau kebohongan, yang jelas, politik tidak bisa dibaca apa adanya.Retorika adalah modal terbesar politik.

Dengan retorika, segala originalitas bisa dijungkirbalikkan. Ada keganasan di balik kesopanan, ada kepura-puraan dibelakang tangis dan air mata. Politik cenderung berbicara tentang sesuatu yang disembunyikan. Hal ini tentu sangat ironis dengan semangat demokratisasi yang mengunggulkan transparansi.

Salah satu 'kebohongan' yang terkuak di Pilkada Sumbar 2020 adalah sikap Mahyeldi yang mengingkari omongan sendiri. Dulu di hadapan para pemilihnya, ia berjanji tidak akan meninggalkan kursi wali kota jika masyarakat memilihnya di Pilkada Padang 2018. Tetapi itu dulu, dua tahun yang lalu.

Kala itu ia berkata, "Kami sampaikan, karena memang banyak pertanyaan tentang saya, bahwasanya saya akan meninggalkan Kota Padang ini di tengah perjalanan. Yakinlah! Bahwasanya itu adalah berita yang tidak benar. Saya sebagai Wali Kota Padang akan menjabat Wali Kota Padang ini ke depan sampai 2024. Insyaallah. Tidak usah ragu, tidak usah bimbang."

Kini, janji itu ia pungkiri. Berdalih ikut arahan partai, Mahyeldi melenggang ke Pilkada Sumbar. Giliran kursi gubernur yang ia incar. Janji untuk tetap bertahan hingga 2024 rupanya hanya alat untuk meraih simpati masyarakat Padang. Setelah tujuannya tercapai, utang  yang terucap enggan ia tunaikan.

Publik pun berang. Istilah 'Buya Panduto' menggema di jagad media sosial. Istilah itu dipakai untuk melabeli Mahyeldi yang tidak menepati janji alias berdusta kepada pemilihnya. Kasar memang namun itulah balasannya jika sudah mengkhianati kepercayaan rakyat.

Wajar pula jika kemudian para ulama kompak meninggalkan Mahyeldi. Mereka ogah mendukung pemimpin yang tidak amanah. Bahkan, Partai Politik Islam Indonesia (PPII) Masyumi lebih memilih Nasrul Abit-Indra Catri karena menilai Mahyeldi telah melanggar syariat. Padahal, PPII Masyumi berisikan kumpulan para ulama, alumni 212, dan mubalig, yang dulu menjadi pendukung militan Buya di Pilkada Kota Padang.

Begitulah politik yang tengah Buya mainkan. Politik bermuka dua, politik yang berisi kebohongan. Bila kini ia dengan gampang bisa berdusta, tentu ke depan akan mudah saja membuat kebohongan-kebohongan serupa. Wallahualam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun