Hal yang termudah bagi pemimpin di daerah ini adalah bicara. Sementara hal tersulit adalah bercermin. Tak heran, masyarakat acap kali dibuat termangu karena kebodohan pemimpin dalam melihat diri sendiri. Sebab, para pembesar itu teramat sering mengumbar janji, tapi selalu gagal memenuhinya.Â
Mahyeldi, calon gubernur Sumbar, seakan enggan berkaca guna melihat kepemimpinannya di masa lalu. Baru setahun dilantik menjadi walikota Padang untuk kedua kalinya, ia malah tergiur untuk bertarung kembali memperebutkan kursi penguasa di tingkat provinsi.Â
Ia seakan lupa, janji kampanye yang dulu ia ucapkan, belum satupun yang berhasil diwujudkan. Padahal dulu di hadapan para pemilihnya, ia berjanji tidak akan meninggalkan kursi walikota. Sebagai seorang 'buya', tentu orang percaya saja. Ahli agama bukanlah seorang pendusta.Â
Lantas, apa bedanya ia dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), mantan walikota Solo yang tidak disukai rakyat Sumbar, lantaran dicap suka ingkar janji. Jokowi dulu berjanji tidak akan maju di pemilihan presiden, Jika ia terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta. Sayangnya, semua itu hanya sekedar omongan yang penuh kepura-puraan.
Memang, lidah itu tidak bertulang, sehingga para politisi selalu menjadi kampiun dalam hal bersilat lidah. Satu ciri yang menonjol dari para jago bicara ini adalah gemar mengumbar janji. Seperti Mahyeldi yang dengan enteng berkilah, "Saya ini kader partai. Mungkin kita pribadi punya pendapat, tapi ada pengurus wilayah dan pusat punya keputusan. Kita ikuti keputusan tersebut."Â
Begitu ringan. Tanpa beban. Padahal harapan warga Padang telah tertumpang di pundaknya. Janji manisnya saat kampanye dulu, janji yang membuat rakyat memilihnya sebagai pemimpin untuk lima tahun ke depan, seakan tidak dianggap. Keputusan partai rupanya di atas segalanya.
Selain janji tidak akan maju di Pilgub Sumbar, Mahyeldi setidaknya memiliki tujuh utang kepada rakyat ibu kota provinsi ini. Pertama, melanjutkan betonisasi jalan lingkungan, pengaspalan dan pelebaran jalan, serta perbaikan drainase dan pengendalian banjir. Hari-hari ini, banjir terjadi lagi. Warga Padang hanya bisa meratapi untung karena kesejahteraan mereka belum menjadi prioritas utama.Â
Janji Mahyeldi kedua, meningkatkan efektivitas reformasi birokrasi, budaya kerja aparatur dan pelayanan publik. Ketiga, melanjutkan pengembangan kawasan wisata terpadu Gunung Padang dan pulau-pulau kecil.Â
Keempat, membangun 500 ruang kelas baru untuk SD dan SMP serta melanjutkan penyelenggaran pesantren Ramadhan, kegiatan keagamaan seni, budaya dan olahraga berkualitas. Kelima, penataan angkutan umum, penambahan koridor trans Padang, serta manajemen rekayasa lalu lintas. Kemudian merevitalisasi sarana olahraga tingkat RT, membangun taman kota di kecamatan serta pusat inovasi dan kreaativitas pemuda.
Keenam, meningkatkan dana stimulan kecamatan hingga Rp1 miliar dan kelurahan Rp100 juta serta meningkatkan operasional RT, RW guru TPA, MDA dan imam masjid. Terakhir, janji ketujuh, meningkatkan indeks kemudahan berusaha di Padang, mendorong penyediaan rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan membangun kampung tematik dalam pengembangan ekonomi berdasarkan potensi wilayah.Â
Setelah setahun berlalu, belum satupun janji ini terealisasi. Malahan yang ada, Mahyeldi kembali meniupkan angin surga untuk membuai rakyat Sumbar. Begitulah jika rasa malu sudah tak lagi dimiliki pemimpin kita. Demi ambisi berkuasa, semua janji manis ia ucapkan begitu saja. Padahal semua orang tahu, janji yang dulu belum ia tunaikan. Janji lama tak dipenuhi, janji baru dibuat lagi. Inilah keserakahan. (Los Lambuang Koeraitadji, Pariaman)