Suatu saat kita dibohongi orang kadang harus diam, karena jika bicara sang penipu akan berang dan membuat petaka selanjutnya. Salah satu kisah nyata kualami saat perjalanan pulang dari Jakarta.
Nopember 2013, sore hari setelah pengumuman pemenang kompetisi ilmiah di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dilanjutkan acara yang tidak terjadwal sebelumnya yaitu jumpa pers para juara kompetisi ilmiah LIPI. Acara ini membuat saya keluar dari gedung itu menjelang petang. Pulang dari Jakarta tanpa membeli tiket lebih dulu, karena sebelumnya telah berusaha: beli tiket kereta sudah habis, travel cuma sampai Purwokerto. Ada hal lain yang yang menarik saya tidak membeli tiket travel yaitu karena ingin mencoba naik busway. Seumur hidup belum pernah naik busway yang kebetulan haltenya ada di depan gedung LIPI.
Sampai di terminal Pulaugadung saya tanya pada petugas busway “ Beli tiket bus ke Kebumen di mana Pak?”. Sang petugas tidak menjawab hanya teriak “Jogja Jogja”. Seorang dengan penampilan dan baju layaknya kondektur bus mendekat dan menarik travelbagku “Jogja Pak”. Saya berjalan mengikuti orang itu sampai di tempat yang layaknya loket tiket bus. Heran rasanya, terminal di kota metropolitan kenapa suasananya sepi dan lampu penerangnya kurang bahkan remang-remang.
Seorang perempuan agak gemuk dengan dandanan menor di dalam loket bertanya “ke mana Pak?” “Kebumen”,jawabku singkat. Perempuan itu menulis tiket sambil berkata “seratus sembilan puluh lima ribu”. “Mahal amat?” tanyaku karena waktu berangkat naik bus royal class tiketnya cuma 120 ribu. “ini bus AC, dapat makan harganya segitu” kata pria yang mengenakan seragam mirip kondektur. Kusodorkan dua lembar uang ratus ribuan, dan wanita itu menyerahkan tiket. Setelah saya bayar tiket, pria berbaju seperti kondektur pergi.
Tiket ini membuat saya curiga, mana mungkin tiket bus eksekutif cuma lembaran kecil kertas buram. Kucoba pastikan bahwa ini penipuan. Saya pegang hp, pura-pura menghubungi seseorang sambil menatap wanita itu. Tatapan hanya mengamati perubahan sikapnya, bukan karena tertarik. Ya, bukan karena tertarik, karena bagiku seorang wanita menarik jika dandanannya sederhana bukan menor seperti ini. Wanita itu tampak gugup dan berjalan keluar dari loket. Dari sebelah kanan terdengar suara seorang pria yang tidak kelihatan karena gelap “jangan pergi Nen, disitu saja”. Wanita itu menjawab “ya” dan kembali duduk di loket. Kecurigaanku semakin besar ternyata ada orang lain yang mengawasi sambil sembunyi, mereka pasti gerombolan calo penipu tiket bus. Ah biar saja cuma ketipu uang, pikirku sambil duduk menunggu bus datang.
Pria berseragam mirip kondektur datang, “busnya di sana” katanya sambil mengangkat dan memanggul travelbagku. Kuikuti pria ini yang berjalan setengah berlari. Walaupun merasa curiga, masih terpikir mungkin bus super eksekutive dengan jumlah kursi hanya 26 sehingga harganya mahal. Sesampai di bus ternyata bus biasa dengan AC sekedar tidak berkeringat. Kucari tempat duduk tanpa mempedulikan nomor kursi di tiket, kebetulan ada kursi kosong nomor dua di belakang sopir.
Saya yakin ini penipuan. Harga tiket bus seperti ini pantasnya 90 ribu jadi saya ketipu seratus ribu. Saat itu uang seratus ribu kuanggap tak seberapa karena baru saja dapat hadiah kompetisi ilmiah dari Lipi, selain piala dan piagam, dapat amplop yang ada isinya. Tapi lihat sekelilingku, dari tampangnya mereka seperti para pekerja dengan penghasilan tak seberapa. Mungkin orang yang mudah ditipu ya seperti mereka ini? Termasuk aku juga? Ah tidak selau begitu, kenyataan dalam kehidupan ada kecenderungan manusia lebih percaya mulut pembual yang banyak omongdan orang diam mengalah biasanya jadi korban. Anehnya para pembohong biasanya mudah ketipu juga lho!
Kusapa pemuda di sampingku “Kemana Mas?”. “Ajibarang” jawabnya singkat, matanya tertuju pada kru bus yang mau memeriksa penumpang. “Kapan barangkat Pak” pemuda ini bertanya dengan nada membentak. “Sebentar lagi” jawab kru bus singkat. “Sudah ditipu nggak berangkat-berangkat” ucap pemuda kesal. “Ditipu gimana, bentar lagi berangkat” jawab kru bus dengan nada tinggi. “Tadi sama orang Batak itu disuruh bayar 180 ribu, dijawab nggak punya uang, dompet saya mau direbut” jawab pemuda marah. “Ya saya tidak tahu, itu bukan urusan saya”, jawab kru bis dengan nada semakin tinggi. Saya hanya diam, dalam hati berkata “buat apa ngotot mereka juga gerombolan penipu”.
Kuperhatikan Bapak di jok sebelah, lelaki paruh baya. Dari penampilannya kukira pedagang bubur keliling. Oh pasti bukan, pedagang itu biasa bolak-balik kampung-Jakarta tidak mungkin tertipu seperti ini. Mungkin petani dari desa yang baru nengok anak di Jakarta. “Mau kemana pak” tanyaku. “Purwokerto, kita ini dibohongi berandal terminal”, jawab Pak Tua dengan nada marah.Saya hanya tersenyum, dalam hati menyetujui perkataannya. “Mau melawan, cuma mencari mati karena mereka banyak” Pak Tua melanjutkan bicaranya. Sepertinya Pak tua ini lebih pengalaman daripada pemuda di sampingku.
“Lihat di belakangku, mereka di bis ini dari jam dua siang bayar tiketnya 190 ribu”, kata pak tua sambil menunjuk dua pemuda di belakangnya. Dua pemuda usia duapuluhan kulitnya bersih, mungkin pelajar atau mahasiswa?“Katanya bis mau berangkat jam dua ternyata sampai sekarang belum berangkat” kata salah satu pemuda itu lirih. Woow, agak kaget mendengarnya. Sepanjang sejarah, belum pernah kudengar bus umum Jakarta-Jogja jalan siang. Kucabut tebakanku kalau mereka mahasiswa. Mungkin mereka “anak mamah” di kampung yang selalu dimanja, nggak boleh ke sawah jadi kulitnya bersih.
Pukul setengah sembilan malam bus merayap keluar dari terminal, menembus sisa-sisa kemacetan Jakarta. Beberapa ratus meter kemudian bus berhenti. Lima orang penumpang masuk lewat pintu belakang. Seorang pria masuk lewat pintu depan lalu menyodorkan uang poda sopir “ini empat ratus ribu, lima orang”. “Ya” jawab sopir singkat. Lima orang 400 ribu, berarti harga tiket bus ini 80 ribu dan para penipu itu mendapat 100 ribu dari tiap penumpang.
Sepanjang perjalanan suasana dalam bus sepi, tak terdengar penumpang yang ngobrol dengan penumpang sebelahnya. Mungkin tak ada selera ngobrol karena marah dengan penipuan yang baru dialaminya. Laju bus tidak kencang, suara mesin menderu diiringi suara dug dug dug dari ban roda depan. Mesin tidak terawat, ban tua masih dipakai. Saya coba pejamkan mata, lebih baik istirahat karena besok pagi harus berangkat kerja.
Pukul enam pagi bus baru sampai Buntu Banyumas. “Jakarta-Purwokerto kok 12 jam” gerutu Pak Tua. “Diam ah, semalam kan terjebak macet!” jawab sopir dengan nada membentak. Menipu mungkin sudah jadi budaya sopir ini, tak ada macet adanya mesin bus yang payah. Pak Tua rupanya tak punya banyak pengalaman ditipu, buktinya cuma ditipu uang 100 ribu saja tak bisa melupakan dalam semalam. Bagaimana jika ditipu dengan pemutar balikkan fakta yang disengaja untuk menghancurkan harga dirinya, ditayangkan di media masa? Mungkin bus ini akan dihancurkannya. Atau mungkin dikeluarkan jurus pukulan hame-hame jika menguasai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H