Masyarakat anti politik berdampak negatif bagi demokrasi (http://www.indopos.co.id/2014/03/masyarakat-anti-politik-berdampak-negatif-bagi-demokrasi.html), lalu apakah etika politik “hooligans” yang dipertontonkan oleh para politisi saat ini akan membawa kebaikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara ?
Ketahuilah gebyar pilpres hanya ada di sosial media dan di televisi, efeknya persis seperti kontes idol-idolan di TV, dalam arti masyarakat sudah tahu sebelumnya bahwa efeknya secara riil bagi kehidupan nyata memang tidak ada. Kaum ibu (termasuk isteri saya) lebih sibuk mengitung efek kenaikan TDL-PLN yang akan segera naik di bulan Juli 2014 ini, walaupun PLN sering melakukan “black campaign” (mati lampu), efek gas melon yang juga mulai sulit di dapat, kenaikan sembako dan lauk pauk yang bikin kaum ibu sering istighfar. Sementara kaum bapak (termasuk saya sendiri) lebih banyak deg-degan sambil berharap agar pendapatannya yang tergerus nilainya karena inflasi, akan cukup untuk membahagiakan anak isterinya di bulan Ramadhan yang sebentar lagi datang, padahal pas akhir semester, sehingga harus siap-siap bayar semesteran bagi yang punya anak yang masih kuliah atau sekolah, apalagi yang akan masuk ke SMA atau Perguruan Tinggi, lebih runyam lagi urusannya.
Bagaimana dengan Pileg ? tambah “ra urus”, lha wong kenal aja nggak, kok ngaku-ngaku jadi wakil rakyat, bagaimana dengan angka golput ? tidak usah khawatir di negara-negara lain angka golput bisa lebih dari 40 % dan pemerintahannya masih bisa berjalan. Bagaimana dengan fatwa golput itu haram ?, Wah yang ini juga agak kacau kalau menyamakan golput sama dengan makan babi, tapi ya liat-liat kyainya dulu, kalau kira-kira kyai sinetron yang suka muncul di TV, beritanya terus-terusan ada di infotainment, ya “ra urus” juga, wong kyai juga butuh duit mas bro.
Padahal di TV dan berbagai media lainnya rakyat melihat betapa mewahnya para pejabat dan politisi yang digaji dari pajak-pajak yang diambil dari rakyat, sudah itu korupsi lagi, kalau ketangkep KPK malah cengengesan di TV , ditambah lagi saling fitnah, caci maki, merasa diri paling berjasa, kalau berjanji ibarat “esuk kedele, sore tempe”, nonton film porno waktu sidang, tidur sampe ngiler di ruang sidang, kolusi proyek pembangunan dll, Lha terus apa bagusnya politik ? wong contohnya jelek semua kok…, kemudian bila rakyat mengambil sikap anti politik, apakah itu salah ?, haruskah rakyat melibatkan diri dalam proses yang “amoral” seperti itu ?.
Kalau menurut teman-teman yang ahli ilmu politik, katanya Indonesia ini sedang dalam tahap belajar ber demokrasi sehingga begitulah proses yang seharusnya terjadi, padahal sebenarnya implementasi berdemokrasi itu sudah lama menjadi nafas manusia Indonesia. Hal yang paling nyata saja adalah bahwa Indonesia pernah memiliki presiden perempuan, sedangkan kiblat demokrasi seperti AS malah belum pernah punya presiden perempuan. Sikap anti politik itu sebenarnya menunjukkan kesabaran dan kelapangan dada rakyat, mengambil sikap diam dan tidak ikut terlibat. Apakah ini situasi yang baik? Tentunya tidak, karena diamnya rakyat adalah menunjukkan adanya kemarahan yang disimpan dalam hati, yang setiap saat dapat meledak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H