Mohon tunggu...
Aina Farhana
Aina Farhana Mohon Tunggu... -

Karena dsinilah kutemukan bayanganq yg pling murni..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mereka yang Terbuang

2 Februari 2015   05:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:58 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada bagian ini mungkin tidak ada bahasan yang tepat untuk aku tulis, fikiranku bleng. Tidak ada ide yang tepat untuk dikatakan briliant didalamnya. Tak heran tentunya, terlepas dari aktivitas padat yang kulakukan semalam tadi. Aku baru menutup mata sekitar pukul 03:39 dan kembali terjaga pada waktu subuh, mungkin pukul 05:00. Mataku terasa berat tapi karena banyak hal yang harus kulakukan sepagi tadi, sehingga tak memungkinkanku untuk istirahat cukup.

Saat aku kembali berusaha memfokuskan diri, kudapati diriku telah berada dalam ruang kelas, kuliah Aqidah Akhlak. Mata semakin berat dan konsentrasiku semakin berkurang. Sesekali aku hampir terpejam dan terjatuh dari kursi tempatku duduk. Merupakan suatu hal yang sulit untuk berusaha fokus disaat keadaan kurang fit, tetapi tetap kucoba memfokuskan fikiran hingga aku mendapati bahwa dalam ruang kelasku itu sedang berlangsung diskusi keagamaan yah diskusi keagamaan, dan yah diskusi keagamaan.

Aku menutup mulut setiap kali aku terpaksa menguap dan untuk tidak terkesan kurang ajar dimata dosen yang mengajar, maka kuusahakan agar sejarang mungkin menguap.

Untuk mengalihkan perasaanku yang semakin sulit memfokuskan diri, kali ini kuangkat tangan kiriku (karena tangan kanan sedang menulis) dan kuamati, aku melihat banyak garis dan lipatan daripadanya. Ada garis yang panjang, namun tak sedikit yang hanya berupan garis tipis.

Fikiranku kembali menjelajahi lorong-lorong waktu dan celah-celah sejarah, ah iya benar celah sejarah. Aku teringat pada seorang teman, namanya Fauziah, dia pandai membaca garis tangan (walaupun aku tak percaya ramalan garis tangan). Dan sampai hari ini aku tak pernah lupa dengan ramalannya saat itu, kira-kira 6 atau 7 tahun yang lalu dibangku kelas 2 SMP, tahun kedua kami duduk di bangku SMP dan tahun pertama aku duduk satu kelas dengannya.

Hari dan tanggal berapa hari itu, aku sudah tidak jelas mengingatnya, tetapi yang pasti kata-katanya yang misterius itu tak bisa aku lupakan dan kelak perlahan-lahan aku menyadari kebenarannya.

Ia waktu itu berkata “bahwa kelak aku akan megahadapi banyak kesulitan yang sebagian akan terasa begitu memberatkan” aku berfikir mencerna kata-katanya, tetapi kemudian melanjutkan “kelak aku akan bisa melaluinya” tanpa dia lanjutkan lagi, ia menggantung kalimatnya. Aku mendengarkan tanpa maksud untuk mempercayainya, dan kufikir itu hanya lelucon gadis kecil berumur 13 tahun.

Ia mengamati tanganku lagi dan melanjutkan dengan wajah yang sedikit berkerut “ada hal yang sangat ingin kau gapai, walaupun kenyataannya kau mungkin akan kecewa bila kau tak meraihnya”  aku kaget dan tidak bisa menerima perkataannya, tetapi karena aku memang tak berniat mempercayainya, maka aku tak berusaha memikirkannya.

“ kau tahu” katanya lagi “ kau akan bertemu dengan banyak orang dan belajar banyak dari mereka, kau akan dekat dengan beberapa orang diantara mereka, banyak hal tak terduga yang akan kau hadapi dan kau akan menemukan pelajaran dan pengalaman yang berharga dari semua itu” katanya meninggalkan tanda tanya besar dalam benakku.

Aku menarik tanganku hendak berdiri, tetapi dia menarik kembali tanganku dan melanjutkan ramalan omong kosongnya. “kau lihat garis tanganmu ini?, hidup selamanya berawal dari stu titik begitu juga dengan gambaran nasib di telapak tanganmu ini, pada usia yang masih sangat belia, kau akan dibuat bimbang oleh dua hal yang akan membuatmu dilema, kau bingung dan akhirnya akan memutusan untuk tidak memilih keduanya. Kau lebih memilih untuk menjauh dan jalan sendiri sampai seseorang yang tidak sama sekali baru kau kenali, Kau telah lama mengenalnya dan kau akhirnya menemukannya” lanjutnya lagi. Ia semakin banyak meniggalkan tanda tanya dalam fikiranku.

Aku sedikit banyak terheran-heran mendengar kepiawaiannya merangkai kata, bagaimana bisa kata-kata itu terdengar mantap dari mulut bocah yang hei 13 tahun umurnya.

“ ah aku tak begitu percaya pada ramalan” kataku mencoba untuk lebih menghargai perasaannya (walaupun sebenarnya aku ingin mengatakan bahwa aku tak akan percaya dengan ramalannya yang tidak masuk akal).

Aku benar-benar ingin berdiri dan pergi dari sana, tetapi sekali lagi ia menarik tanganku dan memintaku duduk

“Hei duduklah! aku belum selesai, ini penting untukmu, sesekali percayalah padaku aku serius” katanya sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnyamenunjukkan huruf V.

“ Ya terserahlah” aku mengalah dan duduk, membiarkannya melanjutkan ramalannya tentang garis tanganku.

“ Lihatlah disini, dari titik permulaan ini ada banyak garis kecil yang berselang-seling, hingga semua menjauh dari garis ini, kau tahu artinya?” tanyanya sambil tetap fokus pada garis tanganku.

“Apa?” tanyaku tanpa minat.

“ Kau akan menghadapi banyak masalah, hingga semua orang akan menjauh darimu, kau akan benar-benar berjalan sendiri sampai kau tiba dititik ini, dipersimpangan yang menuju dua arah yang berbeda” Terangnya.

“ Lalu? Bagaimnana selanjutnya?” tanyaku kemudian.

“ Lalu? Lalu kau harus memilih dan menentukan sendiri” Katanya sambil tersenyum penuh misteri.

Aku melongo tak percaya dengan ramalannya, iyah aku bilang aku tak percaya dengan ramalan, tetapi aku terfikir akan teka-teki yang ditinggalkannya. Fauziah berdiri dan menarikku.

“ Ayo ke kantin, kau lapar” dan ia menarikku tanpa menunggu persetujuanku.

Aku kembali tersadar saat kelompok presentasi mengucapkan terimakasih dan menutup diskusi, perjalananku menembus dimensi waktu akhirnya berakhir. Aku kembali duduk dalam ruangan kuliah yang akan segera bubar. Tak sampai lima menit kemudian, kelas bubar, aku baru saja berdiri dan hendak keluar kelas ketika seorang teman “Sonia” memanggilku.

“ Jen, mau kemana?” Tanyanya.

“ gak ada rencana sih, kenpa?”

“Temanin aku pergi kalau gitu”

“Mau kemana?”

“ nanti kamu juga tau, mau yah” katanya sambil mengatupkan kedua tangannya didepan dada, memohon.

“ya udah”

“oke, makasih Jen, ayo”

Aku tidak menyangka kemana dia mengajakku, dari kampus kami di Samata­_Gowa, Sonia mengajakku ke TPA Tamangapa, Antang. Aku awalnya bingung mengapa ia mengajakku kesini.

“ TPA Tamangapa? Ngapain kita disini Noni?” tanyaku, aku lebih akrab memanggilnya Noni, daripada Sonia.

“ Aku ada proyek penelitian buat karya tulis dan sampelnya mau isolasi disini rencananya Jen”

“ oh penelitiannya udah mulai kerja yah? Bagus-bagus, sukses yah”

“Iyah jen, makanya aku ajakin kesini, aku mau minta bantuan kamu soalnya”

“mmmmp bantuan apa? Selidikku

“ begini jen, kan penelitianku tentang isolasi antibiotik dari air disekitar TPA ini, jadi aku butuh bantuanmu apalagi ini penelitian pertamaku dan kamu lebih berpengalaman” jelasnya panjang lebar.

“ oh gitu” kataku kemudian.

“ eh iya besok atau lusa, aku minta ditemani lagi yah jen”

“ Oke Sipp”

Kami berjalan-jalan disana, bau menyengat sampah tak membuat kami segera beranjak dari sana, ada yang menarik dari tempat ini, lebih dari sekedar tempat pembuangan akhir sampah. Tak jauh dari tempat kami berdiri kemi melihat beberapa orang anak berpakaian kumal, tanpa alas kaki, wajah dan rambut yang berantakan, dan mereka membawa kantong berisi sampah kaleng atau botol. Mereka pemulung kecil rupanya. Aku berjalan mendekati mereka, mereka tampak sibuk sehingga tak menyadari keberadaan kami.

“Hai, kalian lagi ngapain? Koq disini? Kalian gak sekolah yah?” tanyaku sambil melirik jam tangan di pergelangan kiriku.

Mereka menatapku heran, mungkin merasa terganggu dan berjalan menjauh. Aku berfikir mereka harusnya berada di sekolah karena sekarang masih jam sekolah dan mereka masih sangat kecil, kalau kutaksir mungkin usia mereka sekitar 9 sampai 11 tahun. Sekali lagi aku berjalan mendekati mereka dan kutanyakan pertanyaan yang sama.

“ Kakak, kami tidak sekolah, jadi bagaimana kami akan ada disekolah?” Salah seorang dari mereka akhirnya menjawabku.

Aku menelan ludah mendengar jawabannya, mereka harusnya berada disekolah, tapi mereka ada disini, mengais sampah, mencari kaleng atau botol plastik. Lalu kemana mereka yang sejak awal mengatakan diri mereka peduli. Kepada siapa mereka yang kecil dan tak berdaya harus mengadu? Kepada siapa mereka harus meminta hak yang seharusnya?. Mereka berjalan menjauh dan aku hanya busa melongo melihatnya. Aku merasa sangat tidak berdaya menyadari kenyataan bahwa aku tak dapat melakukan apa-apa.

Sonia menghampiriku dan bertanya kenapa aku hanya berdiri, dia mengajakku melihat-lihat lalu kami kembali ke kampus.

Aku masih membawa semua beban dalam fikiranku sampai aku tiba lagi dikampus, anak-anak yang bekerja sebagai pemulung, mereka harusnya berada disekolah dan bukan bekerja. Aku memikirkan mereka dan segera ingatanku kembali ke masa 3 tahun silam saat aku pertama kali mengenal dunia anak-anak. Forum Anak Daerah Kab. Majene telah mengenalkanku lebih dekat dengan anak-anak di daerahku sendiri. Aku kembali teringat pada Wiwi, Aco dan banyak lagi anak-anak lainnya.

Aku menemukan sosok mereka lagi di sini, kurang lebih 300 km dari dunia mereka. Aku pertama kali mengenal dunia anak-anak dari mereka. Mereka menyadarkanku betapa beruntungnya aku lebih daripada mereka dan betapa aku masih memiliki banyak tugas untuk melihat dan mendengarkan mereka. Aku tersenyum getir mengingat mereka dan penelitian pertamaku tentang anak-anak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun