Mencoba rehat sejenak dari kesibukan di depan laptop dengan tulisan-tulisan yang ‘sulit’ untuk dimengerti, saya mencoba untuk mengumpulkan serpihan-serpihan kisah dalam perjalanan hidup ini, terutama yang berkaitan dengan tempat ini, sebuah tempat yang sederhana, yang jauh dari kesan ‘glamour’ bahkan sungguh sangat sederhana untuk ukuran sebuah sekolah, yang terletak ditengah-tengah kota Purbalingga, sebuah kota yang mungkin tidak terlalu di kenal dibandingkan beberapa kota di Jawa Tengah seperti Purwokerto atau Salatiga bahkan Semarang.
Sebagai perkenalan, saya pertama kali tiba di kota ini, empat (4) tahun yang lalu, tepatnya tanggal 25 Januari 2010, dan dari situlah perjalanan di kota ini dimulai. Dimulai di suatu gedung tua yang dijadikan sekolah bagi beberapa anak-anak yang kurang mampu secara ekonomi untuk diajar dan di didik secara pengetahuan dan keagamaan. Banyak hal telah terjadi di tempat ini, dan semuanya berkesan, termasuk di dalamnya adalah kesederhaan yang ditimbulkan selama 4 tahun, karena dari kesederhanaan itulah saya di ajar begitu banyak hal terutama memberi.
dan salah satunya kutuangkan melalui kisah ini, ketika malam tadi saya sambil iseng-iseng berjalan memutar mengelingi, luas gedung yang tidak seberapa ini sambil melihat beberapa bagian tempat, yang telah rapuh dimakan usia (ya, gedung ini kira-kira sudah berdiri pada tahun 60-an), yang mungkin saja suatu saat tidak akan ku lihat lagi. Tiba-tiba pikiranku terarah kepada mereka yang tinggal dalam gedung ini, mereka yang begitu sederhana namun terus tersenyum dalam kesederhanaan, mereka yang tidak pernah mengeluh, meskipun setiap hari hanya tempe, tahu, daun singkong, dan kangkung yang menemani hari-hari mereka… oh, dan tentu saja bubur sebagai sarapan wajib setiap pagi yang selalu coba mereka hindari, karena mereka tidak suka makan bubur, mereka berharap setiap pagi mereka bisa menikmati setidaknya nasi meski hanya dengan sebuah kerupuk, dan jangan bubur…sekali lagi mereka tidak suka bubur, tapi ya, apa mau di kata, mereka jauh dari orang tua mereka dan mereka juga tahu, bagaimana keadaan sebenarnya dari persediaan di dalam sebuah kotak kayu tempat menyimpan ‘santapan’ mereka itu, dan ini membuat mereka tetap tersenyum walaupun dengan sebuah senyum kecut…!!!
Setiap kali ketika kulihat mereka tersenyum dalam ingatanku tentang mereka ini, aku terharu karena mereka bisa saja pergi dari tempat ini seperti sekian banyak teman mereka yang telah pergi, tetapi mereka tidak ingin pergi, mereka ingin disini, bersama di gedung tua yang telah rapuh ini, merajut kebersamaan dengan yang lain, merasakan suka dan duka bersama, dan ya…tentu saja belajar tentang Tuhan melalui sosok-sosok sederhana yang setiap hari berdiri di depan mereka dan berbicara tanpa henti tentang Tuhan, tentang bagaimana merubah hidup menjadi lebih baik meskipun kadang mereka telah lelah dan ngantuk mendengarkannya.
Mereka terus bersemangat, meskipun kadang mereka terlantarkan tanpa disengaja karena ketidakhadiran kami di depan mereka untuk berbicara (mengajar), mereka terus tersenyum meski kadang mereka hanya ditemani ‘sepotong tempe’ yang tidak lebih besar dari sebuah penghapus pensil, Dan oh, tentu saja juga ‘sarapan pagi’ yang tidak mereka harapkan (bubur). Mereka juga terus tertawa lepas meski kadang harus berebutan ‘komputer’ yang hanya 2 unit dan penuh dengan virus untuk mengerjakan tugas mereka, dan satu lagi yang tidak kulupakan, mereka tetap serius untuk belajar meski kadang mereka lelah dan ngantuk…!!!
Aku hanya dapat berdoa, “kiranya Tuhan memperhatikan setiap jerih lelah kalian, dan Tuhan kiranya membimbing kita untuk terus bersyukur, agar kita tidak kekurangan lalu mengutuki Tuhan, ataupun berkelebihan dan melupakan Tuhan”
Aku telah belajar setidaknya beberapa hal selama ini dari gedung tua yang telah rapuh ini, bahwa bukan kekayaan, kenikmatan dan hidup yang melimpah yang membuat kita bersyukur, melainkan ucapan syukurlah yang membuat kita kaya meski berkekurangan, ucapan syukurlah yang membuat kita merasakan nikmat dari setiap ‘berkat’ Tuhan meski kadang terasa tawar dan hambar.
Masih banyak yang ingin kutuliskan tentang kalian, “tentang bawang”, “tentang cabe”, “tentang garam” dan banyak lagi, namun ku hentikan dulu di sini, karena saya harus mengembalikan pikiranku kepada lembaran-lembaran ‘sulit itu’ lagi.
Satu pelajaran berharga yang kutemukan dalam kesederhanaan selama berada di kota ini dan ingin kubagikan di sini adalah tentang buah pertobatan yaitu kasih yang diwujudkan melalu memberi. Saya teringat akan seseorang di dalam kitab suci Kristen (Alkitab) yaitu Yohanes Pembaptis, ketika menyerukan pertobatan di pinggir sungai Yordan, lalu begitu banyak orang yang bertanya kepada dia, apa yang harus kami lakukan? (Luk.3:10). Dia (Yohanes) menjawab dengan sebuah kalimat hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan (Mat.3:8) yang kemudian dimaksudkan disini adalah kasih yang dipertegas dengan kalimat "Barangsiapa yang mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan hendaklah dia berbuat demikian" (Luk.3:11)
Jadi jika kita mengaku anak-anak Allah, mari hasilkan buah sesuai dengan pertobatan dengan menyebarkan kasih itu di mana saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H