Pada tahun 1996, tepatnya bulan Oktober 1996 , Pak Harto, presiden kita pada masa itu, bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad di Kuala Lumpur. Pak Harto dan Mahathir merundingkan sengketa kepemilikan dua pulau terluar, Sipadan dan Ligitan, yang sudah berlangsung sejak 1969.
Pada masa-masa itu Megawati dan partainya adalah musuh politik rejim Orde Baru di bawah sang Jendral Besar Soeharto. Kita pasti ingat tragedi Kuda Tuli, tragedi berdarah penyerbuan massa pada tanggal 27 Juli 1996 untuk menghancurkan Megawati dan partainya.
Rupanya di Malaysia pun Pak Harto yang dianggap sesepuh organisasi Asean itu, juga tak berhasil menjinakkan Mahathir, untuk menyelesaikan sengketa di Dewan Tinggi Asean. Setelah bertahun-tahun melobi Mahathir, pada tahun 1996 itu Pak Harto justru melunak dan bahkan menyetujui usul Mahathir membawa sengketa ke Mahkamah Internasional. Ini blunder!
Sebaliknya, Mahathir berkepentingan agar sengketa Sipadan Ligitan dibawa ke Mahkamah International (International Court of Justice atau ICJ) di Den Haag karena lebih menguntungkan Malaysia. Sudah bukan rahasia, Indonesia abai dengan daerah perbatasan, sedangkan Malaysia menyiapkan infrastruktur yang bagus. Ini sudah satu poin penilaian di mata juri!
Dan ini yang terpenting, sebenarnya memang tidak ada kewajiban untuk membawa sengketa wilayah ke Mahkamah Internasional (sehingga pada saat ini ada banyak kasus sengketa wilayah yang masih berlangsung, yang lebih lama dari pada sengketa Sipadan dan Ligitan).
Pada 31 Mei 1997 pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Pak Harto dan pihak Malaysia secara resmi menyerahkan gugatan ke Mahkamah Internasional.
Gugatan berlangsung selama tiga tahun bergulir di mahkamah Internasional, dan sidang terakhir terjadi pada tahun 2000, sebelum Megawati diangkat menjadi presiden Republik Indonesia.
Ketika Megawati menjadi Presiden Republik Indonesia kelima pada 23 Juli 2001, perkara sudah Sipadan dan Ligitan sudah hampir final di Mahkamah Internasional .
Lagipula, proses guliran hukum tidak dapat dihentikan setelah suatu negara sepakat untuk menyelesaikannya melalui Mahkamah Internasional.
Pada akhirnya 16 dari 17 orang juri memutuskan kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai bagian dari wilayah Malaysia, pada tahun 2002.
Keputusan para juri diambil dengan menggunakan kaidah kriteria pembuktian adanya “Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation” kedua negara di Sipadan dan Ligitan.