“Kamu pasti bisa !” bisik Jessy menyemangati Namira.
Namira maju ke podium. Pelajar pindahan dari Nanyang School Singapore malam itu berbalut kaos putih dengan bawahan celana jeans berwarna navy blue. Ada pita merah tersemat didadanya. Remaja berusia 16 tahun itu terlihat kikuk. Menandakan dia bukanlah seorang pembicara yang terbiasa dengan situasi seperti itu. Dihadapan dia ada ratusan pasang mata memandang lurus ke arahnya dengan memegang lilin ditangan. Mereka sedang menanti dia berbicara.
Rembulan mengintip dibalik awan. Seakan tidak ingin melewatkan pemandangan dibawah Bumi Perkemahan Sibolangit malam itu. Cuaca Sibolangit yang sejuk menambah kegugupan Namira.
Namira menengok ke belakang, mencari Jessy, aktifis SAHIVA USU yang mengundangnya. Jessy tertarik pada isi blog Namira yang berisi HIV/AIDS awareness. Selipan kisah hidup remaja belia itu juga sangat menyentuhnya. Itu yang memutuskan Jessy selaku ketua panitia HAS menggandeng Namira mengisi acara peringatan Hari AIDS Sedunia.
Wajah yang dicari Namira pun ketemu. Jessy tersenyum sambil mengacungkan kedua jempol ke arahnya. Memberi kode tanda mulai.
“Selamat malam sahabatku semua.” akhirnya Namira membuka suara. Dia masih berupaya mengatasi kegugupannya.
“Saya bukanlah seorang pembicara profesional dan saya bukanlah pelengkap acara seremonial ini. Saya datang atas nama cinta dan bersuara atas derita yang didera oleh kawan-kawan yang sedang sekarat, para sahabat yang masih berjuang, para remaja yang menjadi korban, para bayi tanpa dosa yang terlahir dengan membawa virus ini ditubuhnya, para tenaga kesehatan yang terinfeksi, para yatim yang ditinggal mati oleh orang tuanya. Saya datang kemari untuk menyalakan lilin kasih dihati anda semua. Agar estafet cahaya ini tidak pernah padam."
“Anda tahu arti 1 Desember ?” tanya Namira ke audiens.
“Hari Aids Sedunia”, jawab seluruh suara kompak
“Kapan kasus AIDS pertama terindentifikasi ?”
“Tahun 1981 di Los Angeles, AS,’ jawab salah seorang mahasiswa