Keriuhan pilpres kali ini membuat saya bergidik. Bagaimana tidak, dari berbagai milis, blog, media sosial, dan situs-situs yang saya ikuti hampir semua memuntahkan jelaga hitam yang menyebar ke mana-mana, mengotori segala sesuatu. Fenomena apakah ini? Mengapa kita bisa berubah menjadi buas dan beringas, tidak punya belas kasihan, picik, jahat dan kejam?
Kalau kita amati, isu yang paling sering dilontarkan berkaitan dengan ras dan agama, tapi khususnya agama. Situs-situs yang mengatasnamakan agama berlomba-lomba melontarkan isu-isu panas yang paling menggemparkan. Bahkan teman-teman saya yang tampaknya alim dan taat beragama, tiba-tiba berubah menjadi picik dan kejam, walaupun beberapa berusaha melakukannya dengan cara halus.
Apa yang salah dengan situasi ini? Apakah karena pendidikan yang kurang? Kemampuan menalar, menggunakan akal sehat dan berpikir kritis yang tidak memadai? Salah satu milis yang saya ikuti adalah milis para intelektual yang berisi para pakar dan doktor. Alih-alih mendiskusikan proses suksesi kepemimpinan dengan metodologi ilmiah, mereka (tidak semua tentunya) ikut-ikutan membuat kotor milis dengan isu-isu SARA yang tidak diuji dan dianalisis secara ilmiah berdasarkan bukti empiris, tidak berbeda dengan 'orang kebanyakan' lainnya.
Ada garis merah dari kasus-kasus ini, peran (atau korelasi) agama terhadap pola pikir (worldview), tata nilai, dan perilaku seseorang. Kesan ini begitu kuat terlihat dalam berbagai kampanye hitam akhir-akhir ini. Pertanyaannya adalah, apakah agama membuat kita menjadi 'jahat'? Saya tergoda untuk menjawab ya. Mungkin tidak semua orang jadi jahat, tetapi mengapa justru situs-situs yang terkenal sangat fokus pada agama, atau teman-teman saya yang saya kenal sangat religius (selalu mem-posting hal-hal religius) justru paling potensial menampilkan perilaku seperti itu?
Hipotesa saya adalah agama (semuanya) dapat membuat kita menjadi hipokrit, munafik, self-righteous (merasa paling benar sendiri), dan picik. Alih-alih menjadi orang yang rendah hati, agama cenderung membuat seseorang menjadi arogan, memiliki sikap "aku lebih baik dari kamu", serta menghakimi orang lain. Agama membuat seseorang menjadi Tuhan bagi orang lain (playing God). Tidak heran banyak kejahatan kemanusiaan dilakukan atas nama agama, bahkan terhadap yang 'satu agama.' Mengapa harus menjadi benci pada orang yang berbeda dengan kita? Mengapa orang 'berdosa' harus 'dibasmi' dan bukan dikasihani agar diberi hidayah?
Tetapi, apakah kejadian terpisah dan sesaat seperti pilpres saat ini dapat dijadikan dasar untuk generalisasi? Menurut saya justru karakter asli seseorang (who you are) akan terlihat dalam menghadapi tekanan atau euforia yang sangat besar. Menjadi (atau berpura-pura menjadi) orang baik (what you do) itu mudah jika semua orang dan situasi mendukung, kalau kita merasa baik dan happy. "It's not what you do, it's who you are." Bukan apa yang anda lakukan, tapi siapa anda sebenarnya. Tindakan kita ditentukan oleh tata nilai kita, dan tata nilai kita ditentukan oleh pola pikir (worldview). Worldview ini menentukan siapa diri kita, dan agama memiliki peran besar dalam membentuk worldview seseorang. Ideas have consequences.
Ralph Waldo Emerson pernah berkata, “A person will worship something, have no doubt about that. We may think our tribute is paid in secret in the dark recesses of our hearts, but it will out. That which dominates our imaginations and our thoughts will determine our lives, and our character. Therefore, it behooves us to be careful what we worship, for what we are worshipping we are becoming.”
Setiap orang pasti menyembah sesuatu, tidak diragukan lagi. Kita mungkin berpikir ibadah penyembahan kita dilakukan secara rahasia di relung gelap hati kita, tetapi itu akan tampak keluar. Apa yang mendominasi imajinasi dan pikiran kita akan menentukan hidup kita dan karakter kita. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk berhati-hati atas apa yang kita sembah, karena kita akan menjadi seperti apa yang kita sembah.
Jadi apakah agama itu jahat, seperti monster atau serigala berbulu domba? Kesimpulan sementara saya adalah agama tidak relavan. Yang relevan dan yang menjadi inti masalah adalah bukan apa agama kita, tetapi apa yang kita sembah dan cintai. Kita menjadi seperti apa/siapa yang kita sembah. Jika kita menyembah diri sendiri, ego, kepentingan pribadi, maka tanpa sadar kita akan menjadi monster yang kita takuti sendiri. Sayangnya agama adalah sarana paling jitu untuk mengagungkan diri sendiri, alat yang efektif untuk membangun dan mendirikan berhala ego. Pertanyaan pentingnya adalah, apakah kita mencintai dan menyembah apa yang menjerat, atau apa yang membebaskan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H