Menorehkan ekspresi berupa tulisan dalam bentuk reportase, opini maupun karya fiksi melalui media warga/komunitas virtual sesungguhnya merupakan bagian dari kehidupan manusia masa kini yang melek teknologi. Pengalaman seperti membaca, mengamati dan menulis yang kemudian dituangkan atau dipubliksikan kepada khalayak diharapkan membawa nilai lebih bagi sesama sehingga melalui interaksi sosialnya manusia akan bertambah wawasan atau pengetahuan.
Tak bedanya bila kita (anda dan saya) memosting sebuah karya berupa tulisan di medium kompasiana.com maka sesungguhnya kita sudah masuk ke kancah ruang publik komunitas virtual/maya sehingga terbangun komunikasi antara penulis dan pembaca, saling bertukar pesan, bahkan secara real-time.
Menulis memang banyak memiliki tujuan, itu semua bergantung niatan masing-masing individu. Ada yang ingin melaporkan suatu peristiwa/kejadian, ada yang mengemukakan ide/gagasan maupun pemikiran terhadap persoalan tertentu yang dianggap penting, ada pula yang menorehkan pemikiran melalui kemampuan intuitifnya dalam bentuk fiksi atau sejenis.
Nah, terlepas dari tujuan, niatan, ataupun ideologi apa yang dikonstruk dalam benak penulisnya, yang jelas menurutku menulis di kompasiana.com merupakan aktivitas komunikasi manusia secara online atau melalui internet (antarkompasianer) yang saling berbagi dan berkoneksi, atau dalam kata lain menurut “Kamus Populer versi JM” >> menulis = memberi dan memberi.
Memberi, dalam hal ini dapat diartikan sebagai perbuatan menyerahkan atau menyediakan sesuatu, mengucapkan, menyampaikan sesuatu - kepada orang atau pihak lain sehingga mendatangkan rasa senang dan bermanfaat sekaligus terjalin komunikasi timbal-balik berkelanjutan. Memberi juga bisa diwujudkan dalam bentuk salam, senyum, tegur sapa, perhatian, apresiasi, pujian, penghormatan, cinta-kasih, pelayanan, harapan, penghargaan, dukungan, nasihat, yang semuanya bermuara untuk mencapai suatu pembebasan serta kedamaian secara utuh.
Ketika anda memosting tulisan/artikel di kompasiana.com, sesungguhnya telah memberi sesuatu (=informasi/pesan) kepada para pembaca yang budiman, selanjutnya (walaupun tidak harus) pembaca memberi respons berupa komentar/tanggapan, vote/penilaian sebagai feedback sehingga komunikasi terjalin atara penulis dan pembaca. Kesetaraan antara penulis dan pembaca inilah membuat hubungan saling memberi, tidak ada yang merasa lebih tinggi (superior) atau lebih rendah. Itu sebabnya istilah penulis senior dan yunior di kompasiana tidak relevan untuk dikemukakan. Ini mungkin terkait: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/07/19/senior-dan-yunior-di-kompasiana-masih-relevankah-472399.html
Begitu halnya dalam “bergaul, menggauli, atau digauli” teman-teman kompasianer yang telah memberi respons berupa komentar, vote, apresiasi di lapakku, barang tentu menggugah diri untuk berbalas memberi hal serupa. Memberi dan memberi ini sama halnya dengan sukarela berbuat baik untuk membantu, menolong melayani, menyenangkan, atau berbagi kebaikan terhadap orang lain.
Memberi, dalam dimensi lebih luas berarti pula kita sudah beramal kebajikan sebagaimana keyakinan agama/kepercayaan yang kita anut. Kebiasaan untuk memberimenandakansolidaritas sesama bahkan sudah turun-temurun, mentradisi sehingga tidak salah apabila disebutnya sebagai bagian dari budaya dalam kehidupan sosial di lingkungan kita.
Kalaupun di luaran sana ada istilah take and give, penulis kurang/tidak sreg dengan hal tersebut, biarlah itu diterapkan di sono, yang memang istilah itu lahir dari latar belakang karakter dan budaya sono-nya. Mengapa? Karena terkesan bahwa dalam take and give ada pihak yang direndahkan, tiada menjamin kesetaraan bahkan ada kecenderungan untuk pamrih.
Singkat kata, boleh saja kita menimba wawasan, pengetahuan (knowledge) bahkan ilmu pengetahuan (science) dari mana pun, tak tertabas dan takkan ada batasnya. Kini tak terhingga jumlah literatur maupun sumber informasi dapat dipelajari berasal dari negara-negara ekonomi maju (baca: negara barat). Jika memang itu memberi nilai tambah, berdampak positif ada baiknya diadopsi. Namun jika implementasinya berbenturan dengan nilai budaya kita, maka tidaklah bijak diterima begitu saja, karena kita sebagai manusia yang mempunyai jati diri - jangan tercerabut dari akar budaya sebagai landasan berpijak dalam bertindak/bersikap atau berperilaku.
Selamat berakhir pekan, kawan. Salam damai untuk semua :smile:
Damai di bumi, damai di hati, damai di kantong…
JM (13-2-2015).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI