Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Maraknya Kendaraan Becak Mesin atau Becak Bermotor

5 Maret 2015   01:27 Diperbarui: 4 April 2017   16:48 2060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lagi-lagi untuk kesekian kalinya pihak kepolisian melakukan razia terhadap kendaraan becak bermotor, disingkat betor atau bentor. Di berbagai kota/kabupaten terutama di Jawa peristiwa demikian (operasi penertiban) dalam beberapa waktu silam sering dilakukan. Meski demikian, dalam kenyataannya,jenis kendaraan hasil modifikasi maupun becak bermesin ini masih beroperasi di jalanan, jumlahnya tidak berkurang bahkan bertambah.

Sepekan lalu, tepatnya Selasa (24/2) di Kota Yogyakarta dilakukan razia oleh pihak kepolisian dan Dinas Perhubungan Kota Yogya. Razia telah menindak tegas (melakukan tilang) terhadap para pengemudi becak bermotor karena melanggar aturan lalu lintas (Tribun Jogja, 25 Februari, halaman 13).

Dikatakan Kasatlantas Polresta Yogyakarta Kompol Sugiyanta, sesuai Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan, kendaraan bermotor yang dirakit atau dimodifikasi dan tidak mendapatkan uji tipe dari Kementerian Perhubungan dalam hal ini berbentuk betor dilarang beroperasi di jalan raya. Sebelumnya, Satlantas mengimbau agar pengemudi tidak mengoperasikan kendaraan modifikasi tersebut.

Menurut tinjauan yuridis formal, dapat disimpulkan bahwa kehadiran alat angkut bernama betor atau bentor ini jelaslah tidak memenuhi persyaratan sesuai ketentuan UU, karena: betor tidak disertai surat resmi, tidak memenuhi standar keamanan, membahayakan keselamatan pengendara lain, modifikasi betor tidak melibatkan mekanik handal/tidak mendapatkan uji resmi, kecepatan dan bodi betor tidak seimbang. Selain itu, lampu betor yang dioperasikan malam hari kerap tidak menyala.

[caption id="attachment_400898" align="aligncenter" width="300" caption="satlantas merazia/menyita betor di kota Yogya (dari: Tribun Jogja, 25/2)"][/caption]

Dalam kasus ini,betor/bentor yang dibuat dari bekas kendaraan bermotor roda dua/mesin sepeda motor yang dimodifikasi tanpa dilengkapi surat resmi bisa dianggap sebagai tindak kejahatan, penadah/motor bodong - sesuai Pasal 277 junto Pasal 316 ayat (2) Undang-undangNo. 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan, dengan ancaman hukuman paling lama 1 tahun penjara.

Layanan angkutan hasil kreativitas dan familier

Sejenak menengok fenomena maraknya betor/bentor di berbagai kota di Jawa, sesungguhnya menggambarkan bahwa jenis angkutan ini lebih merakyat, antara penumpang dan pengemudi lebih familier, diantar sampai tempat/hingga pelosok, harga/tarif bisa nego bergantung kesepakatan. Apalagi berlangganan antar-jemput, semuanya berjalan penuh ‘kedamaian.’ Mirip-miriplah pelayanannya seperti angkutan jenis ojek. Ini yang membedakan sekaligus kelebihan jika dibanding angkutan lainnya.

Kalau di Jakarta ditemui adanya angkutan Bajaj, di Surabaya ada Bemo. Di luar daerah tersebut kebanyakan sarana angkutan rakyat konvensional yaitu becak dan sejenisnya atau dokar/kereta kuda yang relatif lamban karena digerakkan oleh tenaga manual.

Dalam perkembangannya, seiring kepesatan industrialisasi dan teknologi otomotifdi era global, maka produk-produk otomotif baru bermunculan, mudah dimiliki melalui sistem kredit sehingga ‘memaksa’ produk lama semakin ditinggalkan. Hal ini yang menggugah manusia terutama para pengemudi becak dan komunitasnya di Jawa untuk ‘kreatif memanfaatkan’ mesin/motor bekas sebagai penggerak/tenaga supaya efsien.

[caption id="attachment_400899" align="aligncenter" width="300" caption="pak Dumakir, pengendara/pemilik betor melintas di Jalan Sisingamangaraja Yogya, sore tadi pk.16.30 wib (jm)"]

1425468142658276644
1425468142658276644
[/caption]

Tak hanya itu, di berbagai kota/kabupaten di Jawa juga ditemui kereta gandeng bermotor, mampu mengangkut puluhan penumpang yang awalnya dipakai sebagai sarana angkut wisata. Belakangan ini, yang tadinya hanya melewati jalur-jalur perkampungan namun ditemui pula melintas di jalanan umum. Kereta gandeng bermotor ini menggunakan mesin mobil bekas sebagai penggeraknya disusul ‘gerbong-gerbong penumpang’ di bagian belakang. Di Yogyakarta, kereta bermotor ini terdiri 2 (dua) gerbong dengan kapasitas muatan penumpang sekitar 40 orang.

Dari sepintas amatan, penumpang ‘kereta gandeng bermotor’ ini sudah saling kenal satu sama lain. Dikala hari liburan atau hari tertentu, kereta ini bisa berkeliling ria menyusuri jalan perkampungan/mengangkut anak-anak balita bersama pengasuhnya, sering pula ditemui rombongan penumpang misalnya menuju lokasi wisata, menuju tempat hajatan atau jagong manten/pesta pernikahan bersama, menghadiri arisan/pengajiandi hari tertentu, bahkan untuk keperluan khusus itu rata-rata penumpangnya terdiri para lansia yang menghindari mabuk darat supaya merasa nyaman di perjalanan.

[caption id="attachment_400900" align="aligncenter" width="300" caption="kereta bermotor (dari: http://keretawisatasepurmini.blogspot.com)"]

1425468284516459836
1425468284516459836
[/caption]

Nah, kalau boleh dilihat dari sisi kreativitas dan kenyamanan angkutan familier ini, kehadiran kereta gandeng bermotor merupakan pilihan yang pas dengan sikon rakyat kecil, rakyat yang terpinggirkan karena kurang mampu untuk membeli/mempunyai sarana transportasi yang bersifat personal. Bagi masyarakat komunalyang hidup rukun dan guyup nampaknya alat angkut tersebut lebih banyak membantu untuk memenuhi kepentingan komunitasnya.

Hanya saja sayangnya, jalur-jalur yang dilewati masih ditemui melintasi jalanan umum sehingga secara aturan formal dianggap melanggar hukum cq. UU Lalulintas dan Angkutan Jalan. Dalam bahasa aparat: “pokoknnya kalau betor/bentor maupun kereta gandeng bermotor melewati jalan raya, akan ditindak tegas, ditilang atau disita kendaraannya.” Ini pastinya menjadikan momok yang mencemaskan bagi kalangan wong cilik yang hanya mampu menjalani hidupnya sebagai tukang becak bermotor maupun pengusaha kecil pelayan jasa angkutan kelas menengah/ bawah.

Perlu antisipasi dan disikapi secara bijak

Mengingat maraknya kendaraan becak mesin/becak bermotor maupun kereta gandeng bermotor, yang kini cenderung ‘menjamur’ di beberapa kota terutama di Jawa, mungkin sudah waktunya pemerintah daerah/pihak berwenang mengantisipasi sekaligus menyikapi persoalan tersebut secara proporsional. Antisipasi dan menyikapi bukan hanya berlandaskan aturan formal. Aspek lain perlu juga dipertimbangkan, mengingat sarana transportasi umum belum tersedia merata di semua tempat maka kreativitas kalangan bawah ini ada baiknya dihargai, setidaknya bisa menjadikan bahan masukan.

Perlu dipahami bahwa apa yang sedang terjadi dan dilakukan masyarakat kelas bawah untuk menggapai kesejahteraannya melalui ide/pemikiran maupun aspirasi yang terus berkembang sesuai kemampuannya > layak diakomodir kemudian direspons dengan cara memberikan solusi yang proporsional. Di samping itu, untuk keadilan sosial serta pemerataan bidang usaha angkutan bagi seluruh warga negara,mungkin sudah waktunya pemerintah tidak menutup mata. Menampung ide/pemikiran dan aspirasi rakyat untuk kemudian dikembangkan serta memfasilitasinya merupakan upaya pemberdayaan yang berpendekatan bottom-up.

Memfasilitasi dalam arti luas bisa dimulai dari pendataan jumlah maupun jenis kendaraan bermotor hasil modifikasi di kalangan komunitas tersebut. Selanjutnya data diolah dan diputuskan berdasarkan berbagai aspek terkait sehingga kendaraan modifikasi yang banyak berfungsi sosial inibisa dinyatakan layak atau tidak.

Jika dinyatakan tidak layak atau dilarang, maka sebagai substitusinya perlu disiapkan misalnya memberikan lapangan kerja baru bagi tukang becak/kereta gandeng bermotor. Di samping itu, demi keadilan usaha bagi setiap warga negara terutama rakyat kecil - menuruthemat penulis – kendaraan modifikasi sebagai hasil dari kreativitas ini perlu diapresiasi dan diakomodir.

Masalah yang perlu dipikirkan adalah bagaimana merancang jenis kendaraan serupa, membuatkan tatacara modifikasi yang dapat memenuhi standar kelayakan sebagai angkutan komunitas. Disusul dilengkapi aturan-aturan yang harus dipenuhi dalam sebuah regulasi, misalnya kapasitas penumpang/muatan barang, jalur yang boleh dilalui, jarak tempuh maksimal, dll. Itu semua bisa merevisi UU yang berlaku dan lazim dalam menyesuaikan perkembangan, karena UU itu sendiri bukanlah kitab suci yang tidak boleh ditawar. Atau mungkinkah dibuatkan pengaturan (regulasi) tersendiri perihal angkutan komunitas?

Membangun masyarakat menuju kesejahteraan lahir dan batin sudah terlalu sering digembar-gemborkan, terutama oleh para petinggi/pejabat yang notabene sebagai pembuat keputusan atau perumus kebijakan di negeri ini.Tetapi dalam kenyataannya kurang menunjukkan perubahan yang nyata, wong cilik atau rakyat kecil belum diberdayakan secara optimal sehingga wajar kalau mereka berjuang melalui keterbatasan kemampuan sumberdaya untuk menyambung hidupnya.

Para tukang becak, dokar/kereta kuda sebagai pengusaha jasa angkutan kelas rakyat selama ini kurang memeroleh perhatian serius. Kalau pun mengucur bantuan hanya berupa nasi bungkus atau bantuan lain yang bersifat sporadis. Itu pun biasanya berlangsung secara temporer ketika musim kampanye pemilihan umum tiba. Setelahnya, …??

Dan yang jelas hingga sekarang, bantuan terhadap peningkatan sarana penunjang kerja yang digeluti mereka sebagai rakyat kecil kurang banyak tersentuh. Malahan produk-produkimpor kendaraan bermotor dengan segala tipe cenderung semakin meningkat.Demikian pula menjamurnya produk kendaraan angkut niaga seperti Tossa, Karya, Nasha atau sejenis sesungguhnya secara langsung atau tidak – telah berdampak terhadap berkurangnya penghasilan para tukang becak dan kendaraan tradisional lainnya.

Itu pula sebabnya, dalam jangka panjang/ke depan sudah saatnya pihak berkompeten termasuk pemerintahan (di daerah) seyogyanya membuka mata terhadap segala aktivitas usaha di bidang jasa angkutan prakarsa rakyat bawah yang kini cenderung semakin tak berdaya. Memfasilitasi dan memberikan solusi secara proporsional merupakan sikap bijak, sehingga tidak harus ‘bermain kucing-kucingan’ merazia usaha rakyat kecil yang mempunyai keterbatasan dan hanya pasrah melawan kekuasaan.

JM (4-3-2015).

Bahan tulisan:

-Observasi langsung/berbincang dengan pengendara/pemilik betor.

-Wawancara lapangan dengan sejumlah penumpang betor/kereta bermotor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun