Dalam kancah kegiatan komunikasi, tak terkecuali yang menggunakan media --lazimnya pesan-pesan yang disampaikan oleh komunikator akan direspons oleh komunikan (penerima pesan) sehingga terjalin interaksi untuk mencapai kerangka pemikiran yang sama ataupun bersama.
Respons bisa mendukung, netral atau bahkan tidak menutup kemungkinan berupa masukan semisal kritik, saran, dan sejenis yang semuanya akan saling melengkapi.
Terjalinnya interaksi dalam proses bertransaksi informasi, berelasi antarmanusia sehingga komunikasi berlangsung semakin dinamis, pada gilirannya diharapkan mendorong proses perubahan sosial.
Terlebih sejak web 2.0 yang dirintis O' Reilly Media pada tahun 2004 dan kemudian mulai banyak dimanfaatkan kalangan luas, maka sejak itu pula lalu lintas informasi semakin berkembang, termasuk interaksi sosial secara realtime intensitasnya meningkat seiring akselerasi teknologi informasi dan komunikasi sebagai pendukungnya.
Sebuah peristiwa atau lontaran opini yang diliput dan dipublikasikan oleh media (berbasis internet) semakin cepat dan mudah diakses, demikian halnya respons khalayak sebagai tanggapan atas suatu pemberitaan/pernyataan dengan segala bentuknya menjadi 'semakin hidup' Â menghiasi ruang-ruang publik virtual.
Respons atau tanggapan ini layak dicermati, karena hal tersebut merupakan komponen atau unsur penting dalam berkomunikasi atau sering disebut sebagai umpan balik (feedback).
Adanya umpan balik tentunya semakin mendorong proses transaksi informasi berlangsung secara terbuka, berkelanjutan, syukur jika membuahkan kesepahaman antara komunikator dan komunikannya.
Dalam praktiknya, respons atau tanggapan ini seringkali kita temui berupa komentar, ruang/kolom khusus yang disediakan bagi khalayak untuk menyampaikan tanggapan atas informasi yang telah diakses/dikonsumsi.
Nah, ternyata komentar ini cukup beraneka ragam, khususnya jika kita amati komentar-komentar di media-media online yang saban hari bermunculan bak gayung bersambut.
Kalaulah komentar yang dikemukakan relevan dengan topik yang dikemukakan sumber informasinya, tentu semakin menggugah siapa saja yang ikutan membaca, walaupun tak terlibat dalam proses komunikasi itu sendiri.
Di samping menambah pengetahuan, juga sering ditemui perspektif baru sekaligus menambah wawasan khalayak sehingga melengkapi pemahaman dari berbagai sudut kepentingan.
Walaupun komentar itu sesungguhnya merupakan suatu pendapat/opini ataupun wacana, namun bilamana 'nyambung' dengan topik yang diketengahkan -- pastinya  membuat suasana semakin hidup, interaksi (sosial) menjadi semakin tumbuh, bermakna karena ada benefit (faedah) yang dapat dipetik, setidaknya menambah pengayaan info secara kognitif.
Namun pada sisi lain, ditemui pula respons/tanggapan berupa komentar yang cenderung tidak relevan dengan topik yang diketengahkan sehingga kurang/tidak mencapai kesepahaman bersama.
Hal demikian bisa dimaklumi mengingat kemampuan setiap orang tak selalu sama dalam memahami substansi dari topik yang disampaikan oleh komunikatornya.
Dan yang tak kalah asyik untuk dicermati belakangan ini, yaitu respons khalayak berupa komentar yang kritis dan konstruktif terhadap pemberitaan atau tentang suatu hasil liputan peristiwa/kejadian, maupun  lontaran opini yang telah dipublikasikan.
Inipun wajar adanya selama masih berkait dengan topik yang dikemukakan, atau barangkali ada aspek lain yang perlu disertakan, biasanya sebagai masukan sekaligus sebagai kritik/saran untuk melengkapinya.
Menjadi tidak wajar bilamana respons berupa komentar yang disampaikan tanpa kendali diri, tidak relevan dengan pembahasan topik alias tak nyambung, jauh dari kesantunan berbahasa, bahkan hanya mengotori kolom komentar. Â Â
Sangat disayangkan bila hal demikian masih terjadi, ruang publik (public sphere) terutama ruang publik virtual yang semestinya dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama -- malah digunakan untuk menebar rasa tidak senang, apriori, dengki, bernada kebencian atau sejenisnya, yang hanya mengundang kegaduhan dan permusuhan yang tidak pantas diumbar di ruang publik.
Fenomena ini masih banyak ditemui ketika kita berselancar di media-media arus utama yang kini berbasis online, tak terkecuali di media sosial, betapa mirisnya membaca komentar-komentar yang ditemui mengabaikan nilai kesopanan, didasari ketidaksenangan dan kurang menjunjung harkat serta martabat sesama manusia/pengguna media.
Di satu sisi, sudah lazimnya di negara penganut paham demokrasi termasuk Indonesia, kebebasan berpendapat telah dijamin oleh perundangan yang berlaku. Setiap warga/orang boleh menyampaikan/mengeluarkan pendapat, aspirasi, mengekspresikan opininya dan itu merupakan suatu hak.
Namun demikian berasa kurang lengkap bilamana kita hanya menuntut hak dan hak melulu, tanpa dibarengi kewajiban?
Lagi pula jika mengingat bahwa institusi media juga bisa disebut sebagai institusi sosial maka semua pihak atau semua orang yang terlibat di dalamnya tentu terikat dengan apa yang dinamakan tanggung jawab sosial. Aturan-aturan ini seringkali diistilahkan suatu tanggung jawab moral sebagai bangsa yang berbudaya, berketertiban sosial-politik dalam bingkai demokrasi.
Membincang persoalan komentar atau dalam komunikasi sebagai umpan balik (feedback) ini memang memerlukan perhatian tersendiri. Apalagi dikaitkan dengan karakteristik manusia sebagai pelakunya.
Komentar dalam hal ini sesungguhnya merupakan peristiwa psikologis dalam diri komunikan atau setidaknya ikut pula mencerminkan sikap/perilaku si komentator sehingga beberapa aspek ikut memengaruhinya.
Bagi mereka yang sudah melek media (literasi media), biasanya komentar-komentar atau tanggapan yang disampaikan melalui ruang publik media tidaklah asal-asalan.
Kemampuan soft skill mereka sudah terasah sehingga dampak yang ditimbulkannya telah pula dipertimbangkan. Mereka ini lebih peka dalam melakukan self control, bertanggung jawab, cerdas dan bijak dalam bermedia, sehingga berpikir sebelum bersikap/bertindak sudah melekat dalam kebiasaannya.
Komentar-komentar yang dilontarkan via ruang publik media (virtual) oleh tipe komentator ini berciri khas yaitu elok dikonsumsi berbagai kalangan, sopan dalam berbahasa, tidak apriori (lebih pada aposteriori), tulus/ikhlas penyampaiannya, menghindari hoaks, mengarah pada topik yang dibahas disertai argumen yang masuk akal (sekalipun bersifat kritik atau saran), menjunjung harkat-martabat manusia, bertoleransi, mengutamakan kepentingan umum, dan secara umum -> beretika.
Itulah yang penulis maksud sebagai komentar yang elegan.
Perlu pula disadari bahwa setiap pemberitaan ataupun artikel/opini yang dipublikasikan melalui media tidak akan selalu diamini khalayaknya. Keterbukaan dalam menerima kritik/saran sebagai feedback sangat dimungkinkan.
Hal ini mengingat bahwa setiap persoalan (sosial) yang dihadapi di era kekinian semakin kompleks, banyak aspek dan perspektif baru yang perlu dipelajari sehingga penyampaian informasi yang dikemas dalam pemberitaan maupun artikel tidak lebih merupakan bahan untuk berdiskusi, berbagi wawasan/pengalaman yang tercakup dalam interaksi antarsesama sehingga ikut mendorong perubahan sosial (ke arah yang lebih baik).
Itu pula sebabnya, komentar yang elegan sebagai bagian dari interaksi sosial melalui media apapun masih perlu ditumbuhkembangkan guna memenuhi kepentingan dan kesejahteraan bersama.
Think before click bisa menjadikan pedoman awal sekaligus bekal dalam bergaul, berinteraksi melalui media masa kini.
Salam komentar elegan untuk kemajuan bersama.
JMÂ (14-12-2022).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H