Perlu dipahami bersama bahwa kita berkompasiana tidak lebih merupakan pilihan aktivitas lewat medium virtual, saling belajar berkoneksi, belajar berbagi, syukur-syukur ada benefit yang dapat dipetik demi kemajuan bersama.
Sebagai layaknya, sebelum melangkah jauh membaca tulisan ini, perlu terlebih dahulu dipahami beberapa kata kunci supaya terjalin maksud yang sama, di antaranya: konstruktivisme, interaksi, dan rumah kita.
Konstruktivisme dalam konteks ini, secara ringkas dimaksudkan sebagai proses belajar bersama, lebih ditekankan pada siapa saja yang berminat/aktif untuk belajar, sehingga pengetahuan dibangun/dikonstruksi berdasarkan pengalamannya sendiri-sendiri.
Interaksi, dimaksudkan melakukan atau membangun hubungan antarsesama, saling berbagi info dalam tulisan (antarkompasianer). Siapa saja yang berminat melakukan saling berbagi berarti pula telah berinteraksi.
Rumah kita, atau sering disebut rumah bersama, tidak lain adalah tempat tinggal, wadah atau institusi komunikasi yang menaungi kita untuk berkoneksi dan saling berbagi artikel/tulisan, dalam hal ini Kompasiana, Beyond Blogging.
Nah, barang tentu para kompasianer yang aktif atau setidaknya menjadi penulis musiman seperti saya, manakala setiap kali menayangkan artikel/tulisan di blog kroyokan ini, baik berupa karya fiksi maupun non-fiksi -- di bagian bawah artikel ditemui kolom: BERI NILAI.
Kolom ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana respons pembaca dari hasil olah pikirnya terhadap setiap artikel/tulisan, tinggal klik untuk memberi pilihan rating: Aktual, Bermanfaat, Inspiratif, Menarik, Menghibur, dan Unik.
Disusul di bawahnya disediakan kolom: Komentar, bagi yang berminat atau menaruh atensi telah disediakan tempat untuk memberikan tanggapan secukupnya.
Dalam kegiatan komunikasi hal demikian (BERI NILAI atau Komentar) lazim ditemui atau sering disebut feedback, umpan balik sehingga antarkompasianer atau antara penulis dan pembaca berkesempatan untuk saling berinteraksi.
Bahkan antara pembaca dengan pembaca lain pun (sesama kompasianer) sangat mungkin hal itu dilakukan, semuanya untuk mencapai kesepahaman, walaupun dalam ruang terbatas.
Persoalan yang ada kalanya muncul ke permukaan di antaranya menyangkut pemberian nilai atau rating ini masih menyisakan tanda tanya bagi kalangan tertentu.
Secara garis besarnya, sejumlah pandangan muncul dikarenakan perbedaan sudut pandang masing-masing terhadap karya artikel yang telah berhasil tayang.
Di sisi pertama, ada kalangan yang mempersoalkan bahwa pemberian nilai atau rating terhadap sebuah artikel dianggap kurang sesuai. Argumentasinya cukup kuat, tulisan atau artikel yang dikategorikan Fiksiana (Cerpen, Novel, Puisi) koq malah diberi nilai Aktual? Demikian pula tulisan Humor koq dinilai Aktual? Bukankah mengingat itu sifatnya hiburan sehingga seharusnya diberi nilai/rating Menarik, Inspiratif atau Menghibur? Atau bisa juga Unik?
Sisi kedua, ada kalangan yang mempersilakan setiap kompasianer melalui hasil pemikirannya untuk memberikan nilai. Semuanya bergantung pada kemampuan masing-masing dalam melakukan amatan, analisis terhadap fenomena atau apa yang telah dibaca sehingga membuahkan abstraksi atau pemikiran yang selanjutnya dituangkan dalam pemberian nilai/rating.
Dari dua sisi kalangan yang berbeda ini sesungguhnya telah memberikan gambaran bahwa semuanya benar adanya, keduanya setara, tidak layak didikotomikan.
Hanya saja yang membedakan, bahwa kalangan di sisi pertama ini konsekuensinya bilamana hendak memberikan nilai/rating perlu didahului dengan konsep operasional, dijelaskan tentang apa yang disebut aktual, apa yang disebut bermanfaat, inspiratif dan seterusnya.
Berdasarkan konsep-konsep operasional itulah kemudian pemberian nilai atau rating selanjutnya dilakukan. Jika tak sesuai dengan konsepnya, bisa dinyatakan salah. Kalangan ini sering dinamai positivis (positivisme), semuanya harus terukur secara empirik, objektif, harus teruji sesuai konsep yang telah ditetapkan.
Nah berbeda bagi kalangan di sisi kedua, kalangan ini memberikan keleluasaan kepada setiap orang untuk mengembangkan kemampuan, mencari pengertian dan pemahaman secara interaktif, mandiri untuk membangun pengetahuan berdasarkan olah pikir masing-masing.
Dari hasil pemikirannya tersebutlah kemudian mereka memberikan penilaian/rating. Kalangan ini selanjutnya dinamai konstruktivis (konstruktivisme).
Pada tataran mikro ini, dengan memerhatikan pola pikir kalangan sisi kedua, sesungguhnya kita sudah belajar tentang perspektif konstruktivisme.
Dalam perspektif konstruktivisme ini tidak sekadar mengajarkan informasi melainkan menciptakan situasi sedemikian rupa sehingga para kompasianer menginterpretasi setiap pesan/informasi sesuai pemahamannya.
Atau dengan perkataan lain, setiap kompasianer diberi kesempatan untuk menggali pengetahuannya, mengingat mereka selalu terlibat dalam hubungannya dengan konteks bermakna.
Hal-hal yang dapat dipetik dalam perspektif konstruktivisme di antaranya: mengembangkan kemampuan setiap orang untuk mencari sendiri pertanyaan, mengembangkan pengertian serta pemahaman konsep secara utuh, dan memberi kesempatan untuk berpikir secara mandiri.
Selama beberapa tahun "menggauli"' Kompasiana, seringkali saya menemui gejala seperti dipaparkan di atas, sekaligus telah memberikan pengayaan wawasan sekaligus menambah referensi ketika saya berkompasiana.
Singkat cerita, pernah juga saya temui kompasianer yang setiap kali saya memosting artikel -- selalu memberikan rating menarik, personalnya 'itu-itu saja' dan ada juga yang hanya selalu memberi rating inspiratif atau aktual.
Namun seiring perjalanan waktu, cermatan saya terhadap mereka ini sedikit demi sedikit mulai nampak mengalami perkembangan, lebih variatif dalam memberi rating dan cenderung menyesuaikan dengan substansi artikel yang telah dibaca.
Hal demikian menunjukkan bahwa dalam pandangan perspektif konstruktivisme, setiap kompasianer dihadapkan pada tantangan, pengalaman, fenomena baru, sehingga setiap persoalan akan ditanggapi secara kognitif/mental.
Masing-masing dituntut untuk mengembangkan skema pemikiran, menjawab dan menginterpretasikan pengalamannya sehingga pengetahuan terbentuk melalui proses adaptasi setelah melakukan interaksi sosial, ber-asimilasi, disusul akomodasi sebagai proses pembentukan konsep baru di mana konsep awalnya dianggap sudah tidak sesuai lagi.
Sejalan dengan prosesnya, dimulai dari adaptasi, disusul asimilasi, kemudian akomodasi, pada gilirannya terjadilah apa yang disebut equilibrasi. Ini merupakan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga masing-masing personal akan menyatukan pengalaman internal dan eksternalnya.
Di sinilah setiap kompasianer nampak mulai mengonstruksi pengetahuannya sendiri tentang apa yang disebut Aktual, Bermanfaat, Inspiratif, Menarik, Menghibur, atau Unik. Masing-masing akan memberi makna sesuai pengalaman nyata yang telah dilakukannya.
Dalam perkembangannya, perspektif konstruktivisme atau lebih tepatnya disebut paradigma konstruktivisme ini banyak digunakan untuk melakukan pendekatan berbagai persoalan seiring perkembangan zaman.
Termasuk di antaranya dengan mulai diberlakukannya model pembelajaran di sekolah yang mengacu pada opsi prototype sesungguhnya merupakan hasil pengembangan pola pembelajaran yang berparadigma konstruktivisme.
Nah, sudah siapkah para pendidik di negeri ini menerapkan paradigma konstruktivisme? Atau hanya tetap berparadigma positivisme dengan model pembelajarannya yang behavioristik, mengandalkan formula-formulanya yang mekanistik?
JM (22-1-2022).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H