Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Artikel Utama

Fenomena Klitih: Istilah, Publikasi Media, dan Penanganannya

14 Januari 2022   11:34 Diperbarui: 14 Januari 2022   19:08 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi klitih | Sumber: Pexels/cat wilcox

Belum lama berselang atau hampir sepanjang tahun 2021 lalu, Yogyakarta dan sekitarnya sempat sejenak dihebohkan melalui berbagai pemberitaan media terkait peristiwa yang dilakukan sebagian remaja di jalanan dan menjurus tindak kriminal, atau sering disebut dengan istilah klitih.

Peristiwa yang melibatkan remaja itu menyebarluas melalui media massa terutama sosial media menembus sampai ke luar Yogyakarta, luar Jawa bahkan luar negeri sehingga citra Yogyakarta (DIY) seolah cenderung menurun akibat pemberitaan tersebut.

Hingga tulisan ini disusun, beberapa kolega yang berada di luar Yogyakarta, luar Jawa ternyata masih ada yang menghubungi saya perihal berita klitih yang sempat mencuat atau telah diekspos beberapa media.

Barang tentu tulisan ini tak akan membahas secara luas atau panjang lebar mengingat sorotan berbagai perspektif sudah banyak dilakukan sehingga hanya sekadar memahamkan dan meluruskan istilah, pengaruh media, dan penanganannya.

Sebelum membincang tentang persoalan ini, ada baiknya terlebih dahulu diketahui apa itu klitih. 

Istilah ini perlu diluruskan supaya kita memiliki interpretasi maupun persepsi yang sama untuk memahami lebih lanjut.

Nah, berdasarkan rangkuman hasil bincang-bincang dengan sejumlah sesepuh (orang yang dituakan) dan juga dengan mantan preman yang kini sudah alim (lebih alim beliau daripada saya) yang tentunya banyak menyelami masa lalu tentang kehidupan di Yogyakarta dan sekitarnya.

Disebutkan mereka bahwa klitih dapat diartikan sebagai mengisi waktu luang untuk menuruti keinginan diri sambil berjalan-jalan tanpa arah tujuan yang pasti, sekadar mengisi waktu agar tak merasa jenuh di rumah, melihat-lihat suasana malam di luaran.

Ketika keluyuran terutama di saat malam hari, baik di kalangan tua atau muda tersebut, bisa juga menemukan tempat yang cocok untuk disinggahi sambil nongkrong atau misalnya memilih jajan di warung rakyat.

Dari sekilas gambaran tersebut, persepsi terhadap perilaku klitih tentunya masih bisa dianggap positif, tidak ditemui maksud jahat sehingga masih dalam batas wajar-wajar saja adanya.

Namun dalam perkembangannya, keluyuran di tengah malam ini terutama yang dilakukan para remaja seusia anak sekolah -- ternyata juga marak dilakukan di tengah libur panjang sekolah, kebetulan bersamaan masih dalam suasana pandemi.

Oh ya perlu ditambahkan di sini, di Yogyakarta dan sekitarnya memang banyak ditemui sekelompok pelajar memiliki grup di bawah 'bendera' masing-masing. 

Fenomena ini sudah lama berlangsung, puluhan tahun silam manakala saya kali pertama menginjakkan kaki di kota Gudeg sudah kenal dengan sebagian kelompok mereka.

Mereka biasa disebut geng atau grup anak sekolah yang terbentuk secara turun temurun. Juga memiliki 'rival bebuyutan' yang dalam sejarah perjalanannya pernah melakukan 'tawuran antargeng' namun tidak menjurus ke tindak kriminal. Yang ini tentunya masih bisa dikategorikan sebagai kenakalan remaja sekolah, berkelahi namun tak membawa senjata tajam.

Nah kembali pada kelakuan remaja yang bikin resah beberapa waktu lalu, berdasar cermatan malam di beberapa lokasi, keluyuran tidak hanya dilakukan mereka yang berstatus pelajar, ternyata juga diikuti anak seusia mereka (yang tidak sekolah) bergabung dengan rombongan dan biasanya barengan dalam satu grup mengendarai sepedamotor.

Umumnya mereka berboncengan, bersenang-senang, bahkan ditemui sebagian meneguk minuman keras, sehingga mengundang ulah di jalanan, ada yang tawur karena musuh antargeng, namun ada yang tidak mengenal siapapun (ngawur) sehingga menjadi sasaran pelampiasannya.

Barang tentu mencelakai atau menyakiti orang lain di jalanan, apalagi dengan menggunakan senjata tajam, pastinya ini sudah termasuk ketegori tindak kriminal.

Dengan demikian istilah klitih tidak lagi selayaknya untuk disandangkan pada mereka yang berulah dan membuat celaka orang lain.

Namun aras popularitas penggunaan istilah klitih yang telah terlanjur terdistorsi ini semakin menyebarluas lewat media sehingga tindakan kriminal anak remaja ini banyak yang sampai saat ini menyebutnya klitih.

Istilah yang tepat dalam bahasa hukum sebenarnya bisa dikategorikan tindak kejahatan atau kekerasan di jalanan. 

Pihak penyidik (kepolisian) akan mengalami kesulitan bilamana proses hukum dilakukan, karena tidak dikenal pasal-pasal yang menyebutkan klitih sebagai pelanggaran.

Itu sebabnya, para pelaku yang berhasil diburu dan telah ditangkap oleh pihak kepolisian selanjutnya disangkakan dan diproses secara hukum berdasarkan KUHP Pasal 170, ayat (2) tentang tindak kekerasan atau kejahatan jalanan (bukan tindak klitih).

Hal ini sejalan dengan seluruh jajaran pemerintah di Derah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menaruh perhatian serius terhadap kejahatan jalanan dan kini terus berupaya agar mendapat penanganan secara komprehensif, menyangkut beberapa aspek terkait, melalui berbagai pendekatan secara lintas sektoral.

Sebaran Info Media

Istilah klitih yang terlanjur santer dipublikasikan oleh media massa ataupun media online termasuk melalui 'media genggam' (smartphone) terutama via sosial media memang bisa dimaklumi sekaligus dipahami.

Berita-berita yang berbau sex, war, crime, dalam dunia perkabaran sudah lazim menggugah perhatian atau sering menjadikan selling topic sehingga melalui cara apapun berita akan segera menyebarluas, viral, trending topic -- melalui bentuk publikasinya yang beragam.

Persoalan apa dan bagaimana peristiwa yang sesungguhnya seringkali tidak disertakan, apalagi hanya disajikan dengan teknik liputan satu sisi (oneside coverage) tentu saja ini akan ikut menyumbang efek kepada khalayak luas.

Bagi para pengonsumsi yang tidak selektif akan menelan begitu saja berita atau info tanpa melakukan konfirmasi lebih lanjut.

Pada tataran ini media sesungguhnya sudah memengaruhi khalayaknya, walaupun sebatas efek kognitif atau mengendap dalam alam pikiran/pengetahuan khalayak sehingga mengundang persepsi maupun anggapan/penafsiran yang belum tentu sesuai realita dan kejadian yang melatarbelakanginya.

Dalam perkataan lain, menyebarnya berita soal klitih (yang semestinya disebut kekerasan di jalanan) itu seolah menggambarkan suasana Yogyakarta dan kawasan sekitar berasa kurang aman dan kurang nyaman, mengkhawatirkan atau mencemaskan.

Seiring maraknya media yang didukung teknologi, kini setiap peristiwa apapun yang terjadi di muka bumi akan cepat menyebar luas.

Ini sejalan dengan model komunikasi multi step flow yang menyebut bahwa sebaran informasi berlangsung secara banyak tahap, beranting atau menyebarluas melalui jaringan yang kompleks. Di sinilah letak kekuatan terutama sosial media sehingga setiap peristiwa mudah menyebar ke segala penjuru.

Celakanya bilamana peristiwa yang disampaikan telah 'disisipi' info palsu sehingga tidak menutup terjadi penyimpangan (distorsi) dan hanya memperkeruh suasana.

Nah sekali lagi, kejahatan jalanan (atau yang terlanjur disebut klitih) di Yogyakarta dan sekitarnya terutama di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Bantul memang telah terjadi, benar adanya.

Berdasarkan data dari Polda DIY, sepanjang tahun 2021, tercatat 102 orang melakukan tindak kejahatan tersebut dan telah ditangkap polisi.

Adapun sebanyak 80 pelaku di antaranya teridentifikasi sebagai pelajar, selebihnya sebagai pengangguran telah diproses secara hukum sesuai kasusnya.

Di samping itu, Polda DIY dan segenap jajarannya bersama Pemda DIY dalam melakukan penanganan kasus kejahatan jalanan ini tidak hanya mengandalkan pendekatan secara hukum.

Lebih dari itu beberapa langkah telah diambil di antaranya melaui pendekatan pre-emtif dan preventif. 

Pre-emtif yaitu sebagai pengambilan keputusan serta perencanaan, sedangkan preventif merupakan upaya pencegahan, yang diimplementasikan melalui berbagai program bekerjasama dengan pemerintah daerah.

Ini sekaligus membuktikan bahwa aparat keamanan di Yogyakarta (DIY) tidak main-main dengan setiap perbuatan yang menyangkut tindak pidana, termasuk segala bentuk kejahatan.

Bahkan dalam setiap event tertentu yang berpotensi mengundang kerawanan, pihak kepolisian di DIY tak segan menerjunkan crime hunter untuk menjaga suasana yang aman, nyaman dan kondusif.

Nah kesimpulannya, setelah membaca tulisan ini semoga menambah secercah pemahaman bagi para teman/kolegaku serta pembaca yang budiman, mudahan sedikit menambah wawasan dan pengaruh informasi melalui media tidak sampai membawa efek-efek perilaku (behaviour).

Dengan kata lain, peristiwa kejahatan jalanan memang telah terjadi di beberapa wilayah DIY seperti halnya yang terjadi di daerah-daerah lain.

Pihak keamanan/kepolisian telah berhasil menangkap dan mengambil tindakan tegas sesuai aturan hukum terhadap para pelakunya -- sehingga tidak perlu cemas, khawatir atau merasa takut untuk berkunjung ke Yogyakarta dan sekitarnya.

Sebagai tambahan untuk melengkapi berbagai upaya yang telah ditempuh selama ini, menurut pendapat saya yang namanya grup anak muda atau geng sekolah maupun kumpulan bermain yang punya kepentingan/hobi sama tidaklah selalu dikonotasikan negatif. Kecuali sudah menjurus kriminal memang harus ditindak secara tegas.

Geng dalam artian sebagai peer-group (kelompok sebaya) juga merupakan wadah kreativitas sebagaimana saya dulu mengalami masa remaja. 

Hanya saja bedanya, kalau zaman dulu ruang publik terbuka/fasilitas umum banyak tersedia gratis, anak muda-remaja memiliki tempat, bisa menyalurkan ekspresi sesuai minat dan bakatnya. Tetapi zaman sekarang hampir di semua wilayah tergusur, ruang publik terbuka di era otonomi daerah cenderung dimanfaatkan untuk memenuhi kepentingan bisnis, demi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan pemasukan kas daerah.

JM (14-1-2022).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun