Pada tataran inilah sesungguhnya objektivitas produk suatu berita menjadi semakin dipertanyakan. Apakah berita atau info merupakan refleksi dari peristiwa yang terjadi ataukah merupakan representasi atas peristiwa yang dilakukan oleh (subjektivitas) awak media?
Hal ini cukup beralasan, sejalan pandangan tradisi fenomenologi yang menolak pemisahan antara subjek dan objek bahasa.
Dalam tradisi ini disebutkan bahwa subjek atau pengguna bahasalah yang menjadi aktor sentral dalam setiap aktivitas wacana. Subjek-lah yang awal mula memilih dan menggunakan bahasa untuk menyampaikan info dengan maksud-maksud tertentu.
Di samping itu, dalam perspektif ekonomi politik media, komodifikasi demikian mungkin bisa dipahami, namun jika dilihat dari dampak atau efek-efek yang terjadi atas pemberitaan bencana inipun menjadi layak untuk dipertimbangkan kembali.
Para pengungsi erupsi Merapi (2010) sempat dibuat panik oleh gencarnya tayangan yang menyebabkan eksodus pengungsi hingga menyebar ke tempat lebih jauh, sebanyak 550 pengungsi warga Muntilan berbondong-bondong segera pindah ke Nanggulan, Kulonprogo, mencari tempat lebih aman (detikNews, 8/11/2010).
Nah belajar dari pengalaman tersebut, apalagi setiap peristiwa bencana selalu melibatkan manusia dan menyertakan kehidupannya -- maka sayapun masih teringat konsep-konsep dan pemikiran yang telah diwariskan oleh Jakob Oetama (Alm), ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa di bidang komunikasi dari Universitas Gadjah Mada (17 April 2003) dalam pidatonya antara lain mengatakan:
Betapa pentingnya penyajian berita yang sarat dengan humanisme dan keadilan, sehingga perlunya menempatkan manusia dan kemanusiaan pada posisi sentral pemberitaan.
Di tengah melimpah ruahnya informasi yang tak terhingga jumlahnya, seorang wartawan menurut beliau tidak hanya memberitakan sebuah peristiwa, tetapi masuk lebih jauh menggali apa makna dari peristiwa itu, sehingga khalayak mendapatkan enlightment (pencerahan). Itulah pemikiran Jakob Oetama, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Jurnalisme Makna.
Dalam implementasinya, sajian berita bukan sekadar fakta menurut urutan kejadian, bukan fakta secara linier, melainkan fakta yang mencakup, yaitu disertai latar belakang, proses dan riwayatnya. Masing-masing dikorelasikan, di-interpretasikan sehingga membuahkan arti dan makna dari peristiwanya.
Perlu dipahami, bahwa cara kerja jurnalisme makna ini memang dapat dikatakan subjektif. Namun subjektivitas di sini bukanlah berlandaskan like and dislike (suka-tidak suka), tidak pula berdasar prasangka, termasuk tidak untuk memenuhi kepentingan sepihak, pribadi, kelompok atau partisan.
Lebih dari itu, subjektivitas di sini dalam artian bekerja serius, jujur, profesional dan bertanggung jawab, mulai dari mengumpulkan fakta, menulis, menyunting hingga menyajikannya kepada publik, tanpa meninggalkan pedoman politics of values.