Sepintas memang terlihat agak aneh, produk media pada umumnya berupa informasi dan hiburan. Sementara kedua jenis produk tersebut tidak dapat diukur seperti halnya barang bergerak dalam ukuran ekonomi konvensional. Aspek tangibility-nya relatif berbeda sehingga produk media menjadi barang dagangan yang dapat dipertukarkan dan bernilai ekonomis.
Kasus pemberitaan bencana erupsi Gunung Merapi (Yogyakarta dan Jateng) puncaknya terjadi pada tanggal 26 Oktober dan 5 November 2010 yang menelan banyak korban dapat dicontohkan tak luput dari peliputan media.
Di tengah pertolongan darurat berlangsung, pihak media tidak menyia-nyiakan peristiwa accident tersebut untuk melakukan peliputan sekaligus event bencana menjadi agenda setting demi memenuhi kepentingan industri informasi. Berita bencana mendapat perhatian, terutama stasiun televisi swasta/komersial menempatkan siaran tayang khusus dalam Breaking News, berisi perkembangan peristiwa di seputar Merapi yang disiarkan secara real time.
Perkembangan bencana disiarkan sepanjang waktu, situasi desa yang ditinggalkan penduduknya, kisah para pengungsi di barak pengungsian. Bahkan mereka yang tidak berhubungan secara langsung pun mendapat porsi, yakni para komentator yang tinggal di Jakarta, seolah mendapat validitas atas otoritas pendapatnya. Padahal mereka bukan ahli vulkanologi yang relevan menjelaskan berbagai seluk beluk bencana Merapi.
Pada saat gentingnya peristiwa bencana Merapi dan gencarnya publikasi seluruh media massa, tiba-tiba muncul pemberitaan dari salah satu stasiun televisi melalui acara Infotainment edisi 7 November 2010, menyebutkan bahwa "di Yogyakarta diramalkan akan terjadi gempa besar pada tanggal 8 November 2010, disebutkan pula bahwa radius awan panas Merapi sudah mencapai 65 km dan diramal akan ada ledakan besar lebih dahsyat! Disusul pernyataan bahwa Yogya akan menjadi kota malapetaka."
Di saat gentingnya bencana berlangsung, liputan media terutama televisi swasta/komersial melalui siaran tayang khusus sering menampilkan sisi melodrama peristiwa erupsi Merapi.Â
Mulai gambar-gambar isak tangis, ratapan, kepanikan, sampai ekspos besarnya jumlah korban. Mayat yang ditemukan akibat bencana erupsi Merapi disorot sedemikian rupa berulang-ulang dengan maksud untuk menggugah rasa iba dan memberi kesan mencekam.
Akibat tayangan tersebut terjadilah apa yang dinamakan efek-efek media, berefek psikologis dan efek-efek fisik yaitu terjadinya kepanikan disusul perpindahan pengungsi menyebar ke berbagai tempat lebih jauh.Â
Sebanyak 550 warga Muntilan berbondong-bondong melakukan eksodus ke Nanggulan (Kulonprogo). Sementara para relawan di posko pengungsian yang notabene berhadapan langsung dengan warga merasa kewalahan dan kesusahan menenangkan warga yang panik (detikNews, 8/11/2010).
Dalam kondisi demikian sesungguhnya kehadiran media tidak banyak membantu penanganan bencana, justru disinilah (sengaja atau tidak sengaja) telah terjadi distorsi informasi, media berpotensi menjadi "pembawa teror informasi" karena liputan yang disajikan menimbulkan rasa panik dan trauma warga. Dengan  perkataan lain media tidak membantu menyelesaikan masalah tetapi justru mengundang masalah baru yang lebih rumit.
Distorsi informasi media ternyata juga masih sering ditemui di berbagai peristiwa penting lainnya. Dari berbagai pengalaman para kolega yang sering menjadi nara sumber masih banyak mengeluhkan tentang ketidakakuratan, ketidaklengkapan, ketidaksubstansialan produk berita dari hasil peliputan/pencarian berita oleh para awak media atau jurnalis.