Namun pada sisi lain dalam konteks ini permasalahannya apakah kehadiran pers/media massa yang tumbuh "bak jamur di musim hujan" itu sebanding dengan kualitas pesan yang diliput dan disajikan kepada khalayaknya?
Hasil kajian Dewan Pers, yang disampaikan Leo Batubara dalam forum diskusi di Yogyakarta (2010) menyebutkan: dari data pertumbuhan pesat media yang tercatat seperti tersebut di atas, hanya 30 persen media cetak dan kurang dari 10 persen media elektronik (radio dan televisi) yang sehat dalam bisnis. Ini turut mengindikasikan bahwa kuantitas tak sebanding dengan kualitasnya.
Fenomena demikian terjadi mengingat globalisasi yang disusul perubahan tata kelola dan sistem pemerintahan (reformasi), ditambah regulasi yang membolehkan siapa saja/setiap warga negara di negeri ini mendirikan perusahaan pers tanpa prosedur yang ribet - ikut memengaruhi dan mengubah cara pandang para awak media (pemilik baru) terhadap fungsi dan peran media.
Perlu diketahui bahwa demi keberlangsungan organisasi pers, beberapa pilar saling menopang menjadi layak dipenuhi, antara lain: idealisme, komersialisme, dan profesionalisme.
Idealisme tercantum dalam Pasal 6 UU Pers menyatakan, pers nasional melaksanakan peranan sebagai: a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi dan hak-hak azasi manusia serta menghormati kebhinekaan; c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Adapun dasar pijakannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU Pers ayat (1), pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Komersialisme juga dijamin oleh undang-undang, seperti tercantum dalam Pasal 3 ayat (2), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Nah untuk mencapai tujuan tersebut barang tentu sajian informasi/berita tidak terlepas dari kepentingsn bisnis sesuai dengan tuntutan pasar.
Profesionalisme jelas dapat disandangkan bagi para pekerja pers/media massa. Mengingat pekerjaan ini sebagai profesi maka beberapa atribut menjadi penting dan melekat pada setiap awak media, di antaranya berupa: memiliki keahlian sesuai bidang yang ditekuni, menjiwai pekerjaannya atau dalam artian berdedikasi terhadap pekerjaan yang digeluti, mampu memberikan pelayanan umum (public service) sehingga memeroleh gaji layak sesuai keahliannya, dan yang selalu menyertainya adalah tanggung jawab moral atau etika profesi.
Lebih jauh dalam perkembangannya, sayang sekali ketiga pilar tersebut tidak berjalan secara proporsional. Fungsi ekonomi cenderung lebih dominan sehingga komodifikasi pesan lebih menjadikan pilihan ketika pers/media massa (terutama TV swasta) menyajikan produknya kepada khalayak.Â
Tujuannya sangat jelas yaitu untuk meraih sebanyak-banyaknya pangsa pendengar, demi peningkatan rating yang berujung pada perolehan profit.
Dapat dipahami bahwa komodifikasi (commodification) dimaksudkan sebagai proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi sebuah komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar.