Duapuluh tahun yang lalu, tepatnya bulan Mei 1998, merupakan sejarah yang tak terlupakan. Terutama berkait dengan dinamika maupun perkembangan politik nasional terkait pergantian atau perubahan sistem pemerintahan di negeri ini.
Tumbangnya rezim orde baru yang dipicu oleh kondisi perekonomian tidak menentu (baca: Â krisis ekonomi melanda Indonesia) telah berdampak serius hingga meluas dan semakin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Hal ini sesungguhnya telah ditandai beberapa tahun sebelumnya, munculnya demo mahasiswa dan para aktivis atau "oposan" yang mengritik pemerintah, kurang mendapat respons dan tidak diakomodir sehingga kekecewaan terus berlangsung, bahkan semakin terakumulasi.
Tumbuhnya organisasi politik yang berparadigma kritis mulai marak, LSM atau non-government organization/NGO, seperti PRD (Partai Rakyat Demokratik), bahkan sejumlah kelompok serupa tumbuh bak gayung bersambut -- dengan menampilkan sosok-sosok "pembangkang" telah menampakkan semakin kokohnya pressure group.
Termasuk pecahnya PDI (PDI Pro Suryadi vs PDI Pro Megawati) hingga penyerangan terhadap markas PDI di Jalan Diponegoro Jakarta yang dikuasai PDI Megawati, atau sering disebut "Kudatuli" (Kerusuhan 27 Juli 1996) menunjukkan bahwa penyelesaian masalah secara represif sangat kurang manjur untuk mencapai kesepahaman sehingga justru berdampak mengundang empati dari banyak kalangan hingga masyarakat intelektual di tingkatan akar rumput.
Demikian halnya, tewasnya (tertembaknya) beberapa mahasiswa yang tergabung dalam demonstran pada 12 Juli 1998 -- semakin memicu resistensi berbagai kalangan hingga mendorong/menimbulkan kericuhan meluas di beberapa lokasi, kerusuhan serta penjarahan hingga terjadi penodaan hak asasi manusia di beberapa tempat.
Puncak resistensi terjadi ketika demonstrasi secara massal oleh para mahasiswa dari segenap penjuru menduduki Gedung DPR-RI Senayan yang terus "menyemut" selama tiga hari berturut-turut mulai 18 Mei hingga 21 Mei 1998 -- yang akhirnya terjawab dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden RI. Dan sejak itulah dinamakan atau sering disebut "Era Reformasi" berkumandang hingga perjalanannya sampai sekarang.
Perlu diketahui bahwa tuntutan reformasi antara lain: demokratisasi, supremasi hukum, menjunjung HAM/hak asasi manusia. Sejak itu pula dalam pemerintahan yang baru selanjutnya disusul lahirnya berbagai kebijakan/aturan yang menyesuaikan dengan tuntutan reformasi tersebut. Termasuk ketentuan yang mengatur media dan komunikasi semakin memiliki kemerdekaan atau kebebasan dalam melakukan fungsi dan peranannya.
Sistem pemerintahan baru di antaranya ditandai dengan lahirnya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang banyak mengatur otonomi serta UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, merupakan salah satu langkah yang dicapai pemerintah di era reformasi. Substansi kebijakan ini sebagai bagian dari demokratisasi, untuk mengubah paradigma pendekatan pembangunan dari pendekatan "atas ke bawah" (top-down) menjadi "bawah ke atas" (bottom-up) sesuai jiwa dan semangat Pancasila dan UUD 1945.
Perubahan dari era otoritarian menjadi era yang lebih demokratis ini sesungguhnya memberi harapan  bahwa babak baru telah membuka jalan sekaligus menumbuhkan semangat perubahan untuk mencapai kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Penulis pun merasa optimis dengan semakin bergairahnya awal demokratisasi di segala bidang. Setidaknya, hingga tahun 2004 eforia era reformasi masih berlangsung dengan dimulainya perubahan disana-sini.
Nah, dalam perjalanannya lebih jauh, setidaknya menurut cermatan penulis -- apa yang menjadi tuntutan reformasi mulai menampakkan ketidak-konsistenannya -- mengingat terlalu banyak kepentingan yang "bermain" sehingga momentum perubahan yang seharusnya disikapi dalam kesamaan sikap, pandangan dan persepsi  demi kemajuan bersama, cenderung semakin jauh panggang dari api.