Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Kompasianer Lawas yang Patut "Disegani"

10 Maret 2018   20:57 Diperbarui: 11 Maret 2018   07:35 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Koplak Yoband saat kompasianival 2012 (dok. wartawan Warta Kota)

Manusia jadul (jaman dulu) sebagai penulis-penulis  yang telah berkontribusi di Kompasiana ternyata tidak serta merta semuanya menghilang dari peredaran. Beberapa di antaranya masih menampakkan jejak-jejak virtualnya walaupun tidak seaktif seperti zaman yang sudah berlalu.

Menurut survey yang kebenarannya masih perlu diuji dan dibuktikan lagi, tercatat bahwa para manusia jadul atau Kompasianer lawas ini ada yang masih konsisten menulis. Namun ada yang sesekali di antara mereka nongol sekadar berikan vote (atau berkomentar) setelahnya entah lari ke mana.

Ada juga Kompasianer lawas yang hanya bilamana mood ikutan nyumbang artikel. Bahkan ada yang kadangkala (musiman) tetep menjadikan Kompasiana sebagai wadah mengekspresikan ide/gagasan, pemikiran dan laporan peristiwa atau sekadar menorehkan imajinasi dalam berfiksi. Selebihnya konon katanya terserang muntaber (mundur tanpa berita) alias tak tau di mana rimbanya.

Nah sebelum melangkah lebih lanjut, agar punya persepsi sama, perlu diketahui bahwa Kompasianer jadul atau lawas setidaknya terdaftar sebagai anggota/member pada tahun 2013 ke bawah, atau ketika Kompasiana masih berusia Balita. Setidaknya mereka yang tergabung dalam komunitas "Cengengesan", "Planet Kenthir", "Grup Koplak Yoband",  yang saban hari, siang-malem selalu menghiasi ruang publik virtual ini.  Status sosial mereka sangat beragam, rerata orang kuliahan dan sudah bekerja namun lebur dalam kebersamaan sehingga suasana familier terasa lebih kental.

Demikian halnya dilihat dari tempat tinggal kompasianer yang tersebar di seluruh penjuru dunia berbaur saling berbagi pesan dalam bingkai persahabatan di dunia maya. Dalam suasana cenderung tidak sombong, saling rendah hati, karya-karya tulis yang ditayangkan selalu mendapat apresiasi. Mulai karya yang  serius hingga produk-produk yang ringan dan lucu -- selalu mengundang respons. Kecuali bagi kompasianer perorangan (yang mungkin)  karakternya tak mau berteman atau "bertegur sapa", biasanya tulisan yang dipublish-nya kurang mendapat sambutan.

"Menggauli" Kompasiana masa lalu, sungguh menyisakan kesan tersendiri, yang sangat jarang ditemui belakangan. Terutama kolom vote dan komentar selalu terisi dan selalu menjadi ajang perebutan.  Bagi siapa saja yang bisa menduduki posisi awal berkomentar -- tentu lebih "bergengsi."  Kata-kata seperti pertamaxx, keduaxx, dan seterusnya disusul isi komentar hampir pasti selalu ditemui.

Masalah komentarnya itu relevan atau tidak dengan topik yang dibahas dalam artikel menjadi urusan nanti.  Kadang kita/penulisnya menjadi gelisah (geli-geli basah) manakala komentar datang berjibun karena topiknya aktual sekaligus menarik perhatian bersama (waktu itu belum ada pilihan penilaian: menghibur, tidak menarik, unik).  Salah satu contoh saya sendiri pernah menulis sebuah artikel yang sempat mengundang komentar berkelanjutan, hampir tiga hari tiga malam untuk menjawabnya, bikin jari-jari "keriting" ketika membalasnya. Link-nya.

Demikian terhadap artikel siapa saja yang topiknya "menggugah", akan selalu diserbu komentar dan membuat penulisnya kerepotan untuk menjawab, bahkan teknisi/admin pun sampai kewalahan menampung komentar (yang waktu itu kolomnya tak terbatas) ditambah sisipan-sisipan simbol, belum lagi tampilan gambar atau foto dalam artikel yang terlalu banyak -- sempat membuat Kompasiana ngadat sementara karena overload.  Berangkat dari pengalaman ini, mengajak kita perlu lebih efisien dalam berbagi konten, termasuk menayangkan artikel, gambar/foto, video maupun simbol komunikasi atau penunjang lain di-upload seperlunya saja.

Yang mengasyikkan lagi kala itu, topik-topik tulisan yang sudah disampaikan kompasianer, jarang dikupas lagi oleh penulis lain dan kalau sudah pernah dipublish di media luar Kompasiana -- disebutkan sumber dan edisinya . Artikel yang topiknya sama memang ditemui, tetapi sudut pandang atau perspektifnya selalu berbeda sehingga pembaca memeroleh info segar, tidak cepet jenuh.

Beberapa waktu terakhir, ketika diriku "menggauli" Kompasiana untuk mencari "sesuatu yang baru" yang dulunya selalu on the mood sambil mengeluarkan jurus baca cepat guna memeroleh konten (berita dan opini warga teraktual  dan bermanfaat) -- kini gampang terserang apa yang disebut "tech blues"  seperti pernah ditulis rekanku Giri Lumakto.

Tentu saja harapan ke depan, mudah-mudahan medium Kompasiana tetap memiliki kekhasan sebagai saluran berita dan opini masyarakat (Citizen News and Opinion Channel), dengan slogannya yang baru: Beyond Blogging, lebih dari sekadar ngeblog.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun