Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Enyahkan Kekerasan Terhadap Anak

23 Juli 2015   11:16 Diperbarui: 23 Juli 2015   11:35 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi, kekerasan pada anak (shutterstock)

Anak sebagai aset bangsa masa depan sesungguhnya layak mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Perlindungan anak belakangan ini cenderung kurang optimal sehingga kasus-kasus yang menimpa kehidupan anak masih sering terjadi dan ditemui di beberapa tempat.

Secara sadar atau tidak, anak masih belum mendapat perlakuan sewajarnya. Entah dilupakan atau terlupakan mengingat semakin padatnya kegiatan duniawi di era global yang berakibat menurunnya perhatian terhadap keberadaan maupun pemberdayaan anak, terutama dalam pembentukan sikap mereka menuju manusia dewasa sebagai penerus generasi.

Kasus-kasus kekerasan terhadap anak merupakan contoh betapa masih diperlukan adanya atensi sekaligus perlindungan terhadap anak. Baik kekerasan simbolik maupun kekerasan fisik masih terjadi sehingga hal ini mengindikasikan bahwa hak asasi anak belum menampakkan perkembangan yang signifikan seperti halnya telah dicanangkan dalam program pemerintah untuk melindungi anak-anak di negeri tercinta ini.

“Minggir kamu, sana ke belakang, ini urusan orangtua, kamu nggak boleh ikutan dengar.” Demikian bentak seorang bapak (ketika sedang berbincang dengan tamu) kepada anaknya yang masih bocah dan lugu. Cara berkomunikasi dengan anak yang terkesan otoriter dan kurang manusiawi ini sesungguhnya dapat dikategorikan ‘kekerasan simbolik’ terhadap anak.

Dalam dimensi lebih luas, kekerasan simbolik bisa juga disampaikan melalui komunikasi tidak langsung, misalnya saja disajikan melalui teks-teks maupun produk informasi visual lewat media yang dipublikasikan dan dikonsumsi oleh anak-anak. Terlebih di era ‘kebebasan pers/media’ yang seringkali disalahartikan untuk memenuhi kepentingan sepihak ataupun ekonomi politik media > telah memengaruhi kesesatan khalayak (anak), walaupun sebatas kognitif. Dampak-dampak psikologis komunikasi lewat media ini seingkali terabaikan dan barang tentu secara tidak langsung ikut andil dalam membentuk pola pikir anak.

Sedangkan kekerasan fisik terhadap anak-anak juga masih terjadi, misalnya kasus yang mencuat belum lama yaitu tewasnya Engeline (8 tahun) di Denpasar Bali merupakan salah satu contoh yang patut menjadikan pemikiran serta menggugah semua kalangan/pihak terkait untuk perduli terhadap hidup dan kehidupan anak di masa mendatang. Terlepas dari motif apa yang melatarbelakangi hingga Engeline tewas, yang jelas proses hukum/peradilan harus tetap berjalan.

Enyahkan kekerasan dan ubah kebiasaan

Masih banyaknya kasus yang menimpa dunia anak, pastinya semua pihak sepakat untuk mengenyahkan perilaku kekerasan (dalam berbagai bentuknya) terhadap anak-anak di muka bumi. Mereka ini sebagai makhluk yang selayaknya tumbuh berkembang menjadi dirinya sebagai manusia yang sesungguhnya mempunyai potensi. Generasi yang lebih tua dan kondisi lingkungan di mana anak berada sudah sepantasnya belajar untuk memahami dunia anak demi pertumbuhan maupun perkembangannya.

Kebiasaan-kebiasaan atau kultur yang kurang mendukung seperti membentak, cenderung merendahkan seorang anak merupakan cara berkomunikasi yang salah. Termasuk pula memanjakan anak terlalu berlebihan hanya untuk memenuhi keinginannya (bukan kebutuhan) tanpa memikirkan dampaknya merupakan kebiasaan yang keliru dan justru akan menyesatkan si anak di kemudian hari. Melalui sikap dan berkerendahan hati dalam memerhatikan pertumbuhan serta pemberdayaan anak maka semuanya itu dapat dilakukan.

Nah, sejenak jika kita kembali mencermati kasus tewasnya seorang bocah bernama Engeline di Denpasar Bali beberapa waktu lalu, akibat telah dilakukan kekerasan fisik, maka beberapa hal pantas menjadi perhatian kita bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun