Apa pula tuh ada istilah Emphatic Governance? Binatang apa ini, tiba-tiba muncul ke permukaan? Siapa yang menggagas, apa maksud dan tujuan? Demikian pertanyaan bertubi-tubi biasa dilontarkan teman diskusiku yang berasal dari daratan seberang.
Tenang dulu Bung! Ini merupakan istilah relatif baru, mulai mencuat tahun 2009 beberapa waktu setelah pemerintah daerah Kabupaten Bantul malang melintang mengurus korban gempa bumi 27 Mei 2006 yang memorakmorandakan daerah setempat dengan jatuhnya banyak korban. Pencetusnya, siapa lagi kalau bukan beliau, Idham Samawi, mantan Bupati Bantul (dua periode) tahun 2000 s/d 2010.
Lahirnya istilah emphatic governance sesungguhnya tidak secara tiba-tiba. Ini merupakan sebuah proses berkelanjutan dan sejak Pak Idham Samawi menjabat Bupati Bantul tahun 2000 – banyak pekerjaan yang selalu menjadi fokus pemikirannya. Gebrakan awal masih lekat dalam ingatan dilakukan pembenahan jalan-jalan yang tadinya kurang terurus dan berlubang – dalam beberapa waktu nampak mulus sehingga transportasi sebagai penunjang segala aktivitas di wilayah Bantul semakin lancar, nyaman.
Bupati yang jiwa dan sikapnya “entrepreneur merakyat” (ada entrepreneur yang tidak merakyat lho...) ini banyak belajar dari rakyat, berbincang dan memahami apa yang sedang dialami rakyatnya. Sampai-sampai beliau berkesimpulan bahwa beberapa waktu sebelum beliau menjabat dirasakan pelayanan publik sangat minim – krisis kepercayaan terjadi - yang tentunya berdampak pada citra pemerintah daerah di mata rakyat menurun, jatuh pada titik terendah.
Idham Samawi tanggap terhadap situasi ini, beliau segera bersikap untuk segera memulihkannya. Dibukalah kran keterbukaan seluas-luasnya. Bupati membuka openhouse, interaktif di media massa, dan membuka diri 24 jam dalam sehari. Bupati juga memerintahkan kepada semua pejabat di Pemkab Bantul bersikap sama. Ditegaskan pula oleh Bupati bahwa para pejabat bukanlah penguasa, tetapi sebagai pelayan rakyat, sedangkan Bupati Bantul akan menjadi kepala pelayanan, bertanggung jawab atas segala pelayanan yang dibutuhkan rakyat.
Dalam jangka waktu hampir tiga tahun, gebrakan ini berhasil menumbuhkan respons positif, rakyat yang tadinya acuh dan cenderung apatis – berubah drastis seolah mendapat angin segar. Gayung pun bersambut, sejak itu keberhasilan ditandai dengan tidak ditemui lagi yang namanya demonstrasi di Bantul yang menuntut hak-hak rakyat agar dipenuhi.
“Ketiadaan demonstrasi di wilayah Bantul bukan berarti demokrasi telah mati,” ujar Idham Samawi ketika berbincang denganku, Juni 2010 lalu di ruang kerjanya. Ditegaskan lagi bahwa, “demo memang bagian dari demokrasi, tapi di Bantul ketikatak ada demo lagi, bukan berarti demokrasi telah mati. Rakyat telah sadar, buat apa melakukan demo kalau aspirasinya sudah tersalur dan didengarkan?” tambahnya.
Berkat perjuangan gigih tersebut lantas terbangunlah apa yang dinamakan kepercayaan (trust), rakyat semakin percaya kepada pemerintah daerah. Nah, kepercayaan ini diyakini oleh petinggi Bantul memegang peranan penting dalam membangun semangat menuju perubahan (change) ke arah yang lebih baik.
Kepercayaan harus ditindaklanjuti dengan menunjukkan bahwa aparat pemerintah daerah sebagai pelayan masyarakat harus benar-benar baik, benar-benar bersih, selalu berpihak kepada mereka. Jadi, pemerintahan yang dikembangkan di Bantul dilakukan melalui keberpihakan serta pemberdayaan rakyat yang kemudian sering disebut atau diistilahkan sebagai pemerintahan yang empatik (emphatic governance).
Adanya gempa tektonik mencapai 5,9 SR yang mengguncang Kabupaten Bantul pada Mei 2006 dengan jumlah ribuan korban jiwa dan rumah hancur maka pendekatan emphatic governance ini semakin teruji dalam upaya menangani bencana alam setempat. Konsep ini ternyata sangat aplikabel dan lebih mampu menangani persoalan di lapangan. Mulai dari tahap tanggap darurat hingga tahap rehabilitasi dan rekonstruksi ternyata emphatic governance mampu menjawab setiap masalah sehingga telah mengantarkan Kabupaten Bantul pantas mendapat berbagai penghargaan serta pengakuan dari lembaga-lembaga internasional.
Empathic governance yangsedang berjalan di Kabupaten Bantul bukan hanya terbatas pada tataran konsep dan teori. Emphatic governance lebih memfokuskan pada tataran praksis, apalikasi dan kerja nyata yang langsung menyentuh kepentingan rakyat.Karenanya, setiapkepala dinas/instansi - terutama camat di seluruh wilayah Kabupaten Bantul, diwajibkanberpihak pada rakyat. Camat harus hafal dan mengetahui berapa jumlah penduduk miskin, hafal jumlah warganya yang tidak sekolah di usia sekolah, warga yang hamil berisiko tinggi, yang menderita gizi buruk, yang menderita sakit demam berdarah, yang menderita TBC, dan seterusnya. Setiap Camatdi Bantul juga diharuskan hafal jumlah siswa, hafal berapa hektar sawah irigasi teknis & nonteknis, tegalan dan pekarangan. Camat harus hafal di luar kepala tentang jumlah ternak, jumlah koperasi, kelompok tani, dan sejenisnya. Jika mereka tidak hafal maka tak segan-segan Bupati bertindak akan segera mengganti camat yang malas. Menurut Pak Idham, setiap pemimpin di jajaran Pemkab Bantul harus mengetahui apa saja yang ada di wilayahnya – ini dimaksudkan supaya mampu berbuat untuk rakyatnya. Empatic governance bisa pula di-implementasikan dalam kebijakan yang memihak rakyat banyak. Di Bantul tidak pernah diberikan izin usaha untuk mendirikan mall, beberapa surat pengajuan ditolak, justeru yang dikembangkan adalah pasar tradisional. Sementara wujud lain emphatic governance ditemui bahwa pemerintah daerah setempat telah menyediakan bank untuk mengikis rentenir. Termasuk harga jual komoditas pertanian dikendalikan serius oleh pemerintah daerah sehingga jangan sampai petani berada pada posisi yang dirugikan. Nah, dalam kaitan dengan good governance yang telah ditetapkan dan diberlakukan bersama di seluruh penjuru negeri, apakah emphatic governance ini bertentangan? Jawabannya justru tidak! Emphatic governance ternyata bisa semakin “mempertajam” penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Emphatic governance ternyata lebih aplikabel, menyentuh langsung terhadap seluruh kebutuhan masyarakat di Kabupaten Bantul. Sementara itu good governance yang ada selama ini sesungguhnya jika diadopsi dan dimaknai secara tepat maka penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan optimal. Hanya saja sayangnya itu semua terkesan normatif manakala para penyelenggara pemerintahan di daerah dalam mengimplementasikan good governance sekadar bertumpu pada konsep demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas publik yang pelaksanaannya berdasar tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sehingga terkesan mekanis dan kaku, bahkan kurang mampu menjawab permasalahan yang dihadapi rakyatnya. Semoga emphatic governance ini tetap berlangsung, walaupun Pak Idham Samawi sudah tidak menjabat Bupati Bantul lagi. JM (11-4-2011).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H