Zaman sudah semakin modern, akselerasi teknologi informasi dan komunikasi yang ditandai produk-produk mutakhir secara terus menerus telah “menggempur” kebiasaan lokal dan seolah memaksa manusia menyesuaikan dengan kondisi kekinian. Era industri yang kini berkembang menjadi era informasi sejak tahun 2000-an sangat mempengaruhi pola hidup, termasuk pola komunikasi terutama di negara-negara sedang berkembang.
Namun demikian, bukan berarti serta merta kehadiran teknologi informasi modern mampu melenyapkan segala jenis media komunikasi yang ada. Pada kenyataannya keberadaan media komunikasi tradisional yang sering disebut kenthongan (atau kentongan) – tak juga enyah karena secara turun temurun sarana komunikasi praktis, ekonomis dan membumi ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial.
Kenthongan biasa ditemui di hampir setiap rumah penduduk terutama di perdesaan, bahkan ditemui pula di perkotaan khususnya di di Pulau Jawa. Bahkan ditemui pula di luar Jawa bahwa kenthongan dengan segala modifikasinya telah dijadikan aksesoris unik, apalagi ditempatkan (biasanya digantung) di lokasi yang strategis - sehingga menambah kesan artistik dan menjadikan lingkungan bernuansa masa lalu.
Kenthongan terbuat dari bahan sederhana yaitu seruas bambu yang di bagian tengah dilobangi memanjang ini awalnya sebagai alat komunikasi antarwarga. Di kala masyarakat sedang melakukan ronda malam, alat ini menjadikan sarana yang cukup membantu. Masing-masing peronda membawa kenthongan dan ditabuh seolah bersaut-sautan yang sekaligus menandakan bahwa antarpetugas ronda sama-sama saling bersiaga dalam melaksanakan tugasnya.
Sebagai alat komunikasi tradisional, tentu saja untuk menabuh kenthongan supaya mempunyai arti dari simbol-simbol suara yang kumandangkan alat alami ini, maka ada beberapa cara menabuh kenthongan. Dari kesepakan warga – terutama di desa-desa sebagian besar di Jawa yang sudah berlangsung dari waktu ke waktu dapat diketahui bahwa setiap menabuh kenthongan mempunyai teknik yang menghasilkan bunyi atau tanda/simbol yang memiliki arti tersendiri. Artinya, setiap jenis pukulan kenthong mempunyai maksud supaya dimengerti oleh warga di sekitarnya.
Misalnya kenthong raja pati menandakan bahwa di sekitar kampung/desa setempat ada pembunuhan, demikian pula jika kentongan dipukul dua kali berturut-turut dengan sela atau jeda menandakan ada maling atau pencuri masuk di lokasi setempat. Tiga kali pukulan kentongan berturut-turut dengan jeda menandakan bahwa di sekitar kampung/desa ada kebakaran (rumah terbakar).
Sedangkan untuk menyebarkan informasi bencana alam atau banjir bandang kenthongan dipukul empat kali berturut-turut diselingi waktu jeda.Bunyi kentong titir yaitu lima kali pukulan berturut-turut dengan waktu jeda sejenak menandakan bahwa di kampung setempat ada pencurian (hewan). Sedangkan bunyi kenthong dara muluk yaitu satu kali pukulan diselingi jeda dan diteruskan pukulan delapan kali berturut-turut dengan spasi atau jeda ditambah pukulan satu kali menunjukkansuasana atau situasi dan kondisi kampung/desa dalam keadaan aman.
Dalam perkembangannya, nampaknya kenthongan bukan lagi hanya sekadar sarana komunikasi penunjang sistem keamanan lingkungan (siskamling). Kenthongan di beberapa tempat, utamanya di beberapa perkotaan telah menjadi kreativitas olahseni yang dikemas sedemikian rupa dalam satu kelompok yang dinamakan grup thek-thek. Dilengkapi gendang, gitar, seruling, kadang dikombinasi dengan peralatan seni lain ditambah suara merdu penyanyi - sehingga menghasilkan sebuah hiburan rakyat murah meriah. Di beberapa tempat grup thek-thek ini seringkali dilombakan bersamaan peringatan hari besar seperti bulan Agustus atau hari besar bersejarah lainnya.
Ditemui pula bahwa kenthongan ternyata belakangan ini telah dijadikan asesoris di sudut-sudut rumah penduduk, di gardu ronda, di rumah-rumah pamong maupun perkantoran terutama di wilayah perdesaan. Bahan dasar untuk membuat kenthongan bisa juga dari batang pohon palem atau jenis pohon berongga, bentuknya semakin beragam dari yang kecil hingga berukuran besar. Pemandangan demikian sekaligus menunjukkan bahwa kenthongan masih merakyat karena memang alat atau media komunikasi tradisional ini sangat praktis digunakan dan tidak membutuhkan biaya listrik – kapan pun dan dimana pun dapat dimanfaatkan sesuai peruntukannya.
JM(6-3-2011).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H