Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menjaring Aspirasi Akar Rumput melalui Radio Komunitas

10 Maret 2011   13:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:54 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13037944571637587015

Tuntutan reformasi ditandai demokratisasi, supremasi hukum, dan hak asasi manusia telah mampu mendobrak paradigma komunikasi yang otoritarian.Tradisi komunikasidulunya dihegemoni politik dan kekuasaan tidak bisa lagi dipertahankan. Kini tidak berlaku model-model atau pola komunikasi dalam sebuah keseragaman. Pengambilam keputusan bersifat top-down telah bergeser menjadi bottom-up, sehingga suara di akar rumput (grassroots) menjadi dasar dalam pengambilan keputusan. Keberadaan radio komunitas telah menjadi alternatif dalam pemerataan dan percepatan arus informasi. Di samping itu, kehadiran radio komunitas dapat mengisi area blank spot sehingga bisa dioptimalkan sebagai sarana komunikasi untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat di sekitarnya.

[caption id="attachment_101493" align="alignnone" width="300" caption="sumber: kpi.go.id"][/caption] Disahkannya UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran, radio komunitas mendapat tempat dan jumlahnya terus menggeliat di berbagai daerah, akan tetapi dalam perjalanannya ditemui cenderung menyusut. Sebagai contoh, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pascagempa berdasarkan data Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY) tahun 2006-2007 terdapat 55 radio komunitas. Namun hingga tahun 2008 jumlah radio komunitas yang aktif melorot menjadi 38.Menurut Ketua KPID DIY, Rahmat M.Arifin menyusutnya jumlah ini disebabkan terjadi seleksi alam terhadap radio komunitas (regional.kompas.com/2009/02/26). Radio komunitas sebagai salah satu bagian dari sistem penyiaran Indonesia secara praktik telah ikut berpartisipasi dalam penyampaian informasi yang dibutuhkan komunitasnya, baik menyangkut aspirasi warga maupun program-program yang dilakukan pemerintah untuk bersama-sama menggali masalah dan mengembangkan potensi yang ada di lingkungannya. Itu sebabnya, pengelolaan, pengalokasian dan penggunaan spektrum frekuensi radio harus tetap berlandaskan pada asas keadilan bagi semua lembaga penyiaran dan pemanfaatannya dipergunakan untuk kemakmuran masyarakat seluas-luasnya, sehingga terwujud diversity of ownership dan diversity of content dalam dunia penyiaran. Dalam konteks hak asasi manusia, keadilan dan kebebasan informasi, keberadaan radio komunitas layak diapresiasi - ini merupakan angin segar bagi pemberdayaan masyarakat di arus bawah. Kehadiran radio komunitas mendorong perkembangan demokrasi yang kini terus dibangun, memperkuat civil society dan sebagai saluran komunikasi warga di dalam wilayah komunitasnya. Seiring kebijakan otonomi daerah, adanya lembaga komunikasi dalam lingkup komunitas ini menjadi penting dalam arti sebagai wadah untuk menyerap atau menjaring aspirasi politik di akar rumput yang berkembang pada kehidupan lokal sehingga menjadi input dalam proses pengambilan kebijakan tingkat daerah.

Telah berdirinya radio siaran komunitas berarti pula ruang publik (baca: ranah frekuensi) yang tadinya dimonopoli kalangan penguasa modal – kini semakin terbuka untuk masyarakat umum. Hak-hak sosial warga telah dijamin legalitasnya sehingga melalui radio komunitas setiap warga negara diperbolehkan “bercuap-cuap” mengekspresikan ide, gagasan, pendapat, tanggapan, bahkan berbagai “uneg-uneg” untuk disebarkan atau dipancarluaskan: dari – oleh – untuk - tentang komunitasnya - melalui radio siaran setempat. Kondisi demikian dapat mendorong tumbuhnya interaksi antarwarga, tertampungnya aspirasi politik dan bangkitnya aktivitas komunikasi sosial melalui pemanfaatan radio warga, dan pada gilirannya diharapkan mendorong kreativitas maupun produktivitas masyarakat setempat.

Beberapa amatan terhadap lokasi stasiun radio komunitas di DIY dan Jateng, ditemui hal-hal yang menarik dicatat. Kehadiran radio komunitas dengan kelebihan auditifnya - ternyata digemari banyak warga karena proses komunikasi berlangsung sederhana, mudah diakses dan lebih akrab dengan kultur warganya yang lekat dengan budaya lisan, suka omong dan suka mendengar. Komunikasi lisan (siaran kata) yang dipadu siaran musik telah menjadikan radio komunitas “lebih hidup” dalam menambah semangat warga untuk meningkatkan partisipasi. Terlebih tatkala kondisi darurat menimpa seperti terjadi bencana alam gempa bumi, letusan Gunung Merapi, banjir lahar dingin beberapa waktu lalu telah menggugah para relawan dan penggiat radio komunitas bekerja ekstra keras menyampaikan informasi yang diperlukan warga.

Dalam perjalannya dari waktu ke waktu, sayangnya keberadaan radio komunitas atau “radio sosial” ini mengalami pasang surut - bahkan cenderung banyak surutnya – lantaran keterbatasan tenaga penyiar dan crew siaran yang memiliki komitmen. Di samping itu, operasional radio komunitas membutuhkan dana cukup besar. Untuk keperluan biaya listrik saja minimal per-bulan bisa mencapai Rp 200.000 ditambah lagi untuk biaya pemeliharaan peralatan dan biaya lainnya. Jumlah pengeluaran itu sangat besar bagi kalangan masyarakat bawah. Ketiadaan donatur atau sponsor tetap dan kurangnya kebijakan pemerintah daerah untuk mendukung kelangsungan siaran komunitas ikut melemahkan semangat penggiat radio komunitas di beberapa tempat. Sebagai radio siaran yang sah diakui keberadaan di Indonesia, namun radio komunitas tidak dibolehkan mencari keuntungan. Dalam UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 13 dan 21, terdapat tiga tipologi radio yaitu radio siaran publik, radio siaran komersial, dan radio siaran komunitas. Radio komunitas dibedakan dengan radio publik atas dua karakteristik (1) radio komunitas melayani kepentingan komunitas secara geografis terbatas, sedangkan radio publik melayani kepentingan berskala besar melingkupi seluruh wilayah nasional, (2) radio komunitas berbadan hukum pemilikan, pendanaan dan pengelolaan dari komunitas sendiri, sedang radio publik memperoleh dukungan formal negara. Demikian halnya radio komunitas berbeda dengan radio siaran komersialyakni (1) olahsiar radio komunitas tidak bermaksud mencari keuntungan, (2) radio komunitas muncul atas inisiatif komunitas berdasar kebutuhan setempat, sedang radio siaran komersial didirikan individu yang mampu secara finansial. Dari selintas paparan tersebut, keberadaan radio komunitas sebagai lembaga komunikasi yang sesungguhnya banyak berfungsi menyalurkan dan menampung aspirasi politik di akar rumput, sebagai pendorong dan pengembangan demokrasi di tingkat lokal - namun posisinya serba terbatas! Ditjen Pos dan Telekomunikasi, menetapkan saluran untuk radio komunitas yaitu 107,7 FM, 107,8 FM, dan 107,9 FM dan radio komunitas cakupannya hanya seluas 2,5 kilometer. Kuota ini jauh lebih besar dibandingkan frekuensi yang diperuntukkan radio siaran komersial dan jangkauannya pun lebih luas. Dari sisi ini saja sudah mengindikasikan bahwa ada pembagian/peruntukan frekuensi yang kurang proporsional. Untuk siapakah UU Penyiaran itu disahkan? JM (10-3-2011).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun