Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Realitas Media, Tidak Selalu Sama dengan Realitas Sesungguhnya

21 Januari 2015   16:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:41 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tergugah membaca tulisan sahabatku, Della Anna yang menetap di negeri Belanda. Artikel beliau berjudul: Keliru Memahami Berita Soal Dubes Belanda Terkait Eksekusi Mati Terpidana Ang Kiem Soei (Kompasiana, 19 Januari 2015)

atau di http://luar-negeri.kompasiana.com/2015/01/19/keliru-memahami-berita-soal-dubes-belanda-terkait-eksekusi-mati-terpidana-ang-kiem-soei-717978.htmlmerupakan salah satu artikel yang layak dibaca, pantas dihayati sekaligus sebagai bahan untuk pembelajaran bermedia bersama.

Disebutkan di artikel bahwa: ”... banyak pemberitaan tanah air yang saya baca secara online dan banyak komentar pada Facebook yang saya baca ternyata pemahamannya adalah sangat keliru yaitu akibat eksekusi warga negara Belanda Ang Kiem Soei, maka hubungan bilateral kedua negara menjadi terputus.”

Pada hal, sumber resmi di Belanda yang berhasil dituliskan oleh mbak Della Anna menyebutkan: ”Duta Besar Belanda hanya dipanggil pulang sebentar untuk menjelaskan pokok permasalahan dengan pemerintah Belanda dalam hal ini dengan bagian Kemenlunya. Jadi bukan berarti Duta Besar pulang sejenak dan dianggap tidak kembali lagi, alias putus hubungan diplomatik. Atau secara lebih jelas dan tegasnya lagi disebutkan bahwa > Belum ada keputusan dari pemerintah Kerajaan Belanda bahwa putus hubungan bilateral Belanda dengan negara Indonesia.

Cuplikan sebagai wacana pembuka tersebut, sesungguhnya menunjukkan adanya suatu fenomena komunikasi yang kerap ditemui di hampir setiap peristiwa/kejadian dan setelah diberitakan lewat media secara massif kemudian mengundang munculnya persoalan atau isu publik sebagai bagian dari efek yang terjadi atas pemberitaan oleh media (massa/online).

Tidak keliru bilamana persoalan itu lantas mengundang respons, seperti tersurat dalam opini sekaligus muncul pemikiran mbak Della Anna bahwa: ”Saya kira dalam hal ini baik pemerintah Indonesia lewat para Menterinya atau para pejabat negara harus berhati-hati untuk melepas pernyataan yang sekiranya dikutip secara keliru oleh jurnalis dan disiarkan secara bebas sebagai pernyataan yang sah atau resmi tetapi dari satu sisi, yaitu pihak Indonesia. Oleh karena saya belum membaca pernyataan resmi pemerintah Belanda bagaimana hasil raport dari Duta Besarnya untuk Indonesia terkait terpidana mati Ang Kiem Soei.”

***

Secara sederhana, persoalan tersebut bisa dilihat dari dampak atas peristiwanya dan dampak atas pemberitaan oleh media. Dalam perspektif komunikasi, dampak atas pemberitaan media ini cukup dan sering dibahas di kalangan akademisi atau dicari jawabnya melalui pendekatan berparadigma kritis seperti analisis wacana atau analisis framing (bingkai). Bahkan bila memungkinkan bisa juga dilakukan pendekatan lain yang dilakukan dalam riset komunikasi untuk memahami lebih jauh mengenai teks/pemberitaan media.

Bagi kalangan awam, setiap peristiwa yang diberitakan pers/media selama ini masih dipandang sebagai apa adanya, penuh dengan objektivitas. Dalam perkataan lain, berita diartikan sebagai refleksi atas peristiwa yang terjadi, sebagai cermin dari objektivitas. Pada hal tidaklah selalu demikian realitasnya. Lebih dari itu, proses peliputan, penghimpunan, pengolahan hingga dipublikasikannya sebuah peristiwa/kejadian melibatkan beberapa aspek terkait sehingga membuahkan suatu produk informasi yang dikonsumsikan kepada khalayak/masyarakat luas. Sudah barang tentu, dalam proses terbangunnya berita di media tersebut melibatkan manusia sebagai pelakunya, manusia yang tak terlepas dari kepentingan maupun ideologinya sehingga subjektivitas akan selalu menyertai atau mewarnainya. Dengan demikian lantas dapat dikatakan bahwa berita merupakan hasil konstruksi manusia terhadap suatu peristiwa/kejadian.

Hal ini sejalan dengan pandangan tradisi fenomenologi yang menolak pemisahan antara subjek dan objek bahasa. Subjek atau pengguna bahasa yang menjadi faktor sentral dalam kegiatan wacana, karena subjeklah yang memilih dan menggunakan bahasa untuk menyampaikan pesan. Itu sebabnya, pandangan lama yang menganggap bahwa berita hanya diartikan sebagai refleksi maupun representasi atas peristiwa yang terjadi sudah saatnya ditinggalkan.

Tak bedanya dengan pemberitaan terkait hukuman mati yang telah dilakukan di Indonesia terhadap salah seorang warga negara Belanda, Ang Kiem Soei – telah direspons oleh pemerintah Belanda di antaranya memanggil pulang duta besarnya di Jakarta, sebagai bagian dari lazimnya mekanisme kerja sekaligus sebagai pelaporan sejauh mana kegiatan diplomasi telah dilakukan atas peristiwa urgen yangmenimpa warga Belanda dan terjadi di wilayah kerjanya.

Setelah berlangsungnya kejadian ini, kemudian muncul pemberitaan di berbagai media(di Indonesia) di antaranya menyebut-nyebut atau menonjolkanbahwa: “…hubungan bilateral kedua negara menjadi terputus” seperti yang dilansir berbagai media, bahkan dicuatkan melalui media sosial yang hampir setiap saat ikutan nimbrung menyebarkan pesan hingga terjadilah apa yang dinamakan multi-step flow of communication, tanpa mempertimbangkan akurasi data sehingga pemberitaannya semakin membias atau sering di-istilahkan > dipelintir.

Dipelintir bisa dikarenakan si pembuat berita/wartawan/reporter atau penulisnya memang kurang memiliki wawasan ataupun kurang mempunyai kompetensi untuk menyampaikan informasi, proses penyusunan beritanya pun asal-asalan tanpa dibarengi kaidah penulisan, disampaikan melalui media instan (seketika ditulis dan seketika itu pula dipublikasikan), misalnya melalui media sosial di mana setiap orang boleh dan bebas menyebarluaskan informasi.

Namun bisa juga dipelintir memang dilandasi kesengajaan karena ideologi media dan para awak media untuk memenuhi kepentingannya. Di era globalisasi (baca: liberalisasi) seperti sekarang, media cenderung ikutan mengindustri – sehingga terjebak dalam pemenuhan kepentingan bisnis dan politik. Akibatnya, setiap peristiwa dikemas dan dijadikan komoditas berupa produk informasi yang “layak dijual” demi memenuhi kepentingannya.

Pada tataran inilah kehadiran media tidak bisa lagi dijadikan sumber informasi tepercaya bagi masyarakat. Peristiwa mengenai pemanggilan pulang Duta Besar Belanda untuk Indonesia terkait hukuman mati Ang Kiem Soei yang seharusnya diberitakan sebagai representasi dari realitas – telah dipelintir (di-framing) seolah hubungan bilateral kedua negara menjadi terputus. Dalam kancah ilmu komunikasi hal demikian sering disebut sebagai rekonstruksi realitas, sehingga informasi yang disampaikan oleh media (realitas media) tidak selalu sama dengan realitas sosial atau realitas sesungguhnya.

***

Dari sipintas kilas pembahasan di atas, dapat direkomendasikan kepada kawan-kawan dan sahabatku serta pembaca yang budiman bahwa adakalanya kita (saya dan anda) perlu skeptis dalam menyikapi setiap pemberitaan yang telah disampaikan oleh media (massa/online). Pesan ini bukanlah semata-mata untuk menakut-nakuti dan bukan pula mengajak untuk berantipati terhadap media. Bagaimana pun, kehadiran media tetap dibutuhkan sebagai penambah/pelengkap pengetahuan (knowledge) sehingga manusia tidak menjadi “buta” dan selalu mengikuti perkembangan peristiwa terkini, mendorong interaksi sosial secara efisien.

Ada resep sederhana yang bisa menjadi pedoman untuk menyikapi sepak terjang media massa/online yang saban hari secara massif memproduksi informasi dan dikonsumsikan kepada kita sebagai khalayak. Setidaknya, setiap berita perlu dicermati siapa sumbernya (kredibel apa tidak), institusi media/pemiliknya (karakter media dan kepentingan apa yang melekat), cara penyajian beritanya, terutama bisa dilihat dari teknik peliputan (satu sisi atau banyak sisi), sifat beritanya (fakta, opini, atau campuran fakta dan opini), penempatan berita (headline atau non-headline), bahkan luas kolom/durasinya pun layak dicermati – sehingga kecenderungan tendensiusitasnya dapat dideteksi secara dini dan kita bisa menangkap/memahami makna yang terkandung di dalam setiap pemberitaan.

Pendek kata, janganlah kita menelan mentah-mentah setiap pemberitaan yang disajikan oleh media sehingga kita ikutan terjebak atau “dipermainkan” sebagai konsumen pasif yang semakin tak berdaya. Mencermati setiap pemberitaan serta memahami sepak terjang media di era kekinian merupakan langkah arif dan bijak, terutama untuk diri sendiri dan lingkungan di mana kita berada/beraktivitas. Semoga tulisan ini bisa memberi secercah harapan dalam pembelajaran bersama untuk bermedia.

JM (21-1-2015).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun