Kutulis catatan ini tanpa tujuan. Tanpa maksud tersembunyi. Tanpa gairah dan tanpa ketenangan. Ya, tanpa gairah. Itulah jiwaku sejak kujalani hari-hari ini sendirian. Banyak yang harus kukerjakan, namun semuanya kutunda. Saat malam pun tak ada gunanya menutup mata dan moncoba untuk istirahat. Pikiran yang sudah rumit ini semakin menjadi-jadi saat malam tiba. Seperti sekumpulan puisi yang tak berima. Seperti sebuah novel tanpa alur cerita atau sebuah sebuah kitab tanpa tuhan. Kekacauan belaka aku ini. Bayangan akan dirimu tertidur di bahuku atau bayangan akan dirimu yang memelukku erat sambil mencari kehangatan di leher atau pelukanku terus saja mengusik malam-malam tak berbintang ini.
Sudah lama tak kurasakan tidur yang nyenyak. Minggu lalu sendiri, aku hanya dapat tidur 8 jam. Dan lihatlah sekarang. Kutulis catatan ini jam 3 pagi. Jam dimana seharusnya aku sedang tidur. Tapi, tidak. LIhatlah, yang kulakukan malah menulis catatan ini. Yang kudapat dari semua ini hanyalah kelelahan fisik dan batin. Tapi tak apa lah. Cepat atau lambat, pikiranku ini harus kuberi tahu, jika harus kuberi tahu ke sebuah catatan, biarlah.Â
Di awal tahun ini, tak kukira hari-hari akan berjalan begitu lambat dan sepi. Sudah hampir 4 bulan sejak hari minggu yang mendung itu. Ah, ya. Masih jelas di bayanganku ekspresi wajahmu waktu itu. Wajahmu tertunduk lesu dan suaramu nyaris tak dapat kudengar karena angin waktu itu berhembus kencang dan suaramu begitu lemah. Aku sampai memintamu mengulangi perkataanmu dua kali. Lalu bergantian, aku yang tertunduk lesu.
 Setelah itu aku terheran mengapa masih kuantar kau ke rumahmu? Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut kita masing-masing saat kita berjalan pelan menuju rumahmu. Lalu semakin pelan saat kita melewati taman dekat rumahmu itu. Dan saat sampai di rumahmu kita tak mengucapkan salam perpisahan. Hanya terdiam sambil tertunduk selagi aku melangkah menjauh dari gerbang rumahmu itu.
Aku tidak menyimpan dendam. Aku bukan seseorang yang dapat menyimpan amarah atau dendam lama-lama. Namun kekecewaan itu tak pernah pergi. Pikiran bahwa semua yang kuberi padamu atau semua yang kulakukan bagimu semuanya sia-sia, betul-betul menghancurkan jiwa ini. Kurasa, sekarang semua kepingan jiwaku yang hancur sudah menjadi satu kembali. Namun, apakah sebuah vas yang pecah lalu dilem kembali dapat menjadi sama seperti sebelumnya?Â
Hari-hari suram ini selalu kututup sendirian di kamar sambil memikirkan kembali semua yang telah terjadi. Bagaimana semua pilihan yang telah kubuat membawaku ke skenario seperti ini. Bagaimana semua ini nampak begitu ringan bagimu. Bagaimaa kau tersenyum bahagia di pelukan orang lain. Ah, ya. Apalah hidup ini selain tragedi yang diawali dengan bahagia dan diakhiri dengan kesedihan atau kehilangan? Seperti sebuah naskah drama Shakespeare atau sebuah novel Thomas Hardy. Seperti sebuah nocturne ciptaan Chopin. Ya, barangkali hidup ini adalah sebuah tragedi. Namun di tengah tragedi inilah harus kutemukan kebahagiaanku sendiri. Mungkin suatu saat nanti akan kutemukan kebahagiaan itu. Tapi tidak sekarang.Â
Aku hanya berharap ia memperlakukanmu dengan baik. Ya, tak perlu kukhawatirkan sebenarnya. Setiap kulihat kau dengannya, kau selalu sedang tersenyum. Â Aku harap ia mau mengantarkanmu pulang, menggenggam tanganmu erat-erat, mencium kening dan tanganmu atau sekedar memeluk mu saat kau sedang merasa jatuh atau sedih. Ingatlah aku tetap akan mendengarkan segala keluh kesahmu, meskipun hanya sebagai seorang teman. Dan doakanlah suatu saat nanti dapat kutemukan kebahagiaanku, seperti kau sudah menemukan kebahagiaanmu.
23 Februari 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H