Ilustrasi: Shutterstock
Kita semua mungkin sudah familiar dengan kata “plagiarism”, alias mencontek bahasa, hasil pemikiran, ide atau ungkapan penulis lain. Di kalangan orang-orang akademik, hal semacam ini sangat diperhatikan. Nah, bagaimana plagiarism bisa dideteksi? Memang ada banyak sistem/aplikasi yang bisa mendeteksi seberapa banyak tingkat kesamaan (similarity percentage) dalam tulisan seseorang seperti Turnitin, online plagiarism checker dan sebagainya.
Sistem penilaian persentase kesamaan adalah satu cara penilaian seberapa banyak kesamaan antara tulisan yang kita upload dengan tulisan-tulisan yang sudah diupload sebelumnya di internet. Sistem ini memungkinkan untuk menilai kemungkinan seseorang mencontek tulisan orang lain. Cara inilah yang diterapkan di berbagai kampus-kampus internasional, termasuk Universitas Queensland, di mana saya sedang berada sekarang.
Turnitin atau aplikasi semacamnya akan mempermudah dosen untuk menentukan apakah tugas seorang mahasiswa ini layak untuk dikoreksi atau tidak. karena kalau tidak (biasanya di atas 20% kesamaan/similarity), dosen tidak perlu membuang-buang waktunya untuk memeriksa. Pertanyaannya adalah; mungkinkah sistem semacam ini diterapkan di Indonesia?
Mungkin di beberapa kampus di Indonesia, dosen sudah dibekali dengan aplikasi semacam ini. Tapi secara umum, plagiarism di kalangan mahasiswa, terutama mahasiswa S1, masih perlu diatasi. Penulis tidak mengatakan semua mahasiswa Indonesia suka mencontek. Hanyasanya, sebagian mahasiswa, bukan karena tidak bisa, tapi karena terbiasa mengerjakan tugas di akhir waktu (mendekati deadline), biasanya terpaksan mengkopi tulisan yang ia dapat dari internet. Dan kalau ini masih terus berlanjut, kebiasaan ini akan terus-teruusan dan menjadi budaya. Mahasiswa itu perlu dipaksa dulu baru terbiasa dan pada akhirnya akan membudaya.
Ada alasan mengatakan bahwa Indonesia belum siap. Tidak ada kata belum siap untuk satu perubahan. Kalau alasan secara finansial, oke lah. Mungkin aplikasinya akan berbayar. Tapi bukannya Pak Jokowi akan siap melakukannya? Pembangunan itu tidak cuma pembangunan secara fisik (walaupun ini juga sangat krusial). Perbaikan sistem juga tidak boleh dianaktirikan.
Menilik fenomena plagiarisme di kalangan mahasiswa, khususnya saat mengumpulkan tugas seperti makalah, laporan ataupun bentuk-bentuk tugas yang lain, lembaga pendidikan tinggi harus menyikapi hal ini secara serius. Sebab, skill apa yang akan mahasiswa dapat kalau bukan (paling tidak) skill menulis?
Kalau masih ada alasan bahwa mahasiswa belum siap?, bagaimana dengan mahasiswa S1 di University of Queensland? Mereka semua mengumpulkan tugas melalui link Turnitin. Alias mereka tidak akan ada peluang untuk melakukan plagiarisme dalam hal ini. Kenapa tidak dengan Indonesia?
Alasan masih jadi negara berkembang? No, tidak ada alasan lagi. Masak sudah hampir berusia 100 tahun masih saja berkembang? Biarlah secara ekonomi kita masih dikatakan berkembang. Tapi secara budaya dan peradaban (civilization), jangan sampai kita dikatakan tidak berbudaya atau ‘tidak beradab’ (uncivilized). Tidak perlu memulai dari hal-hal yang begitu besar dan terlalu rumit. Cukup dengan mendidik anak bangsa dengan cara yang benar. Sekali lagi, terkadang mahasiswa itu perlu paksaan baru bergerak.
Kembali ke plagiarism check system, manfaat diberlakukannya sistem ini juga tidak hanya membantu dosen dalam mengecek tingkat similarity tulisan mahasiswa, tapi mahasiswa sendiri juga dapat menilai seberapa jauh kemampuan mereka dalam melakukan paraphrasing dari referensi yang mereka baca. Ini tentu akan memotivasi mahasiswa untuk terus belajar bagaimana melakukan paraphrasing yang baik dan benar, supaya aman dari plagiarisme. Dengan kata lain, sistem ini akan mendidik mahasiswa untuk menulis dengan bahasa mereka sendiri.