Mohon tunggu...
Jiwang Muhtadin
Jiwang Muhtadin Mohon Tunggu... -

aku hanya debu trotoar di simpang jalan. anginlah yang terus memaksaku mengembara tanpa persinggahan. semuanya serba sementara. agar tak kehilangan ingatan, maka aku mencatat setiap peristiwa tiga lampu itu. di sini, sebagai permulaan bagi kita, bersapa, berbagi rasa dan arah, dan berdamai dengan marka.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fiksimini Hari Ibu

22 Desember 2011   07:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:54 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

HARI IBU. Kuraba jantungku. "Ibu, kita masih hidup".

Ada yang selalu mengganjal di setiap tanggal 22 Desember. Entah seperti apa rasanya. Anak-anak di Indonesia ramai mengucapkan selamat hari ibu. Sedang aku, sepagi ini, kopi kusuguhkan sendiri dan masih dalam tatapan hampa bergabung sesak. Ini tepat satu tahun ibuku meninggal. Aku heran tak ada setetes pun airmata yang jatuh sejak kulihat tubuhnya terbaring kaku di ranjang kamarnya.

Kecewa atau kemarahan macam apa yang tak bisa kumaafkan saat kuketahui tentang nafkah yang ibuku berikan kepada kami, anak-anaknya, aku dan kakakku. Tumbuh menjadi dewasa dengan celaan dan cemoohan kawan sebaya adalah hal yang paling menyakitkan di hatiku. Aku dipenuhi penyesalan kenapa aku mesti lahir dari rahim ibuku?. Pelacur!.

Angin masih terlalu dingin. Bahkan kopi dan sebatang rokok Djisamsoe tak bisa melawan kegaduhan dingin yang meremas-remas jantungku. Aku sesak. Tapi, air mata tak jua tumpah. Kakakku masih tidur. Botol-botol anggur oplosan berserakan di tempat tidurnya.

Setiap hari kusibukkan diriku di jalanan. Simpang jalan adalah tempat yang paling mengerti tentangku dan tentang orang-orang semacam aku. Aku awasi dan lekat-lekat kutatap wajah yang melintas di sana. Berharap suatu ketika kulihat wajah seorang laki-laki yang serupa utuh dengan wajahku. Aku ingin berseru padanya, “ayah!”. Tapi, sia-sia. Aku tak kunjung bertemu dengan wajah seperti itu.

Rumah kami ini makin reot. Aku berdoa semoga cepat ambruk. Menimpa kakakku ataupun tidak, aku tak peduli. Aku hanya ingin tempat ini segera rata dengan tanah. Seperti jasad ibu dan kenangan-kenangan busuknya di liang kuburnya.

Akan tetapi, meski aku amat kecewa dan begitu pahitnya perasaanku kepada ibuku, ada satu hal yang tak bisa kuabaikan begitu saja tentangnya. Satu-satunya yang membuat aku masih hidup sekarang. Satu-satunya juga yang membuat aku tulus berterimakasih padanya adalah karena jantungnya. Ya, jantungnya ada dalam diriku. Jantungnyalah yang memompa darahku, menyuplai oksigen ke otakku dan aku selamat dari kematian akibat gagal jantung. Jantungnyalah kado dan kenangan terindah dari ibuku.

Aku tahu hari ini, anak-anak di negeri ini mengasihi ibu mereka. Mengucapkan selamat hari ibu. Sementara aku, yang dapat kuucapkan adalah selamat hari JANTUNG IBU.

[JM: Jakarta, 22 Desember 2011]

http://jiwang-muhtadin.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun