Mohon tunggu...
Restu Is Aji
Restu Is Aji Mohon Tunggu... Dosen - Buruh Ajar

Melakukan apa yang disukai dan menyukai apa yang dilakukan. Jika sampai harus melakukan yang tidak disukai, ya lakukan itu dengan cara yang disukai.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Batik dan Acara Resepsi

1 Oktober 2013   15:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:08 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mempertanyakan mengapa batik identik dengan acara resepsi pernikahan sama dengan mempertanyakan sebaliknya: Mengapa resepsi pernikahan identik pula dengan batik? Kenyataannya nyaris dalam segala bentuk resepsi, batik begitu mudah ditemui mewarnai para undangan, terutama kalangan lanjut usia. Mereka tanpa disuruh seolah sepakat bersama-sama mengangkat batik sebagai sandangan mereka. Setidaknya fenomena inilah yang bisa ditangkap dengan jelas,pada sejumlah resepsi di sebagian wilayah Indonesia termasuk Yogyakarta. Untuk menemukan hubungan antara keduanya mau tak mau kita perlu melongok kembali ke masa lalu, ke sejarah dan fungsi batik.

Batik Indonesia menyimpan sejarah yang panjang meniti sekat-sekat masa sejak zaman kerajaan-kerajaan menembus zaman kolonialisme modern hingga melewati kemerdekaan sampai ke “puncak tertingginya” ketika diakui UNESCO sebagai benda warisan tak benda bersamaan dengan wayang asli kepunyaan Indonesia pada 2 Oktober 2009 lalu.

Batik adalah salah satu cabang seni rupa dengan latar belakang tradisi yang telah mengakar kuat dalam perkembangan budaya Indonesia. Terdapat teori bahwa batik masuk bersamaan dengan hadirnya agama Hindu dan Budha dari India. Namun teori ini dipatahkan oleh kenyataan munculnya teknik pembuatan batik di daerah yang nyaris tak tersentuh kebudayaan Hindu seperti di Toraja, Flores, dan Papua. Jejak batik di Indonesia dapat ditelusuri sekitar abad 14 masehi sejak zaman kerajaan Majapahit. Fakta ini didukung Brandes yang menyatakan bahwa batik telah ada jauh sebelum Hindu memasuki Indonesia. Batik di masa Majapahit pada awalnya ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif pada batik masih terinspirasi bentuk-bentuk binatang dan tanaman. Dari sini batik lalu diwariskan ke kerajaan-kerajaan sesudahnya yaitu kerajaan Mataram di abad 18 yang kemudian terbelah menjadi kesultanan Yogyakarta dan Surakarta dimana keduanya menghasilkan langgam batik klasik yang relatif tak banyak mendapat pengaruh dari luar.

Sementara akulturasi budaya lebih kental terjadi di wilayah pantai utara Pulau Jawa memicu lahirnya batik pesisiran di sejumlah wilayah yang kini dikenal sebagai sentra batik seperti, Cirebon, Tasikmalaya, Pekalongan, Demak, Juwana, Rembang, Tuban yang kebanyakan mendapat pengaruh motif dan warna dari pendatang asal Cina. Pembauran dan saling adaptasi antara para pendatang dengan penduduk asli menciptakan produk batik yang berbeda jauh dari batik klasik. Batik pesisir juga lebih cepat menyebar lewat perdagangan dikarenakan posisi strategisnya, hal ini membuat batik juga dikenal disejumlah wilayah lain di luar Jawa. Masing-masing batik ini, baik klasik dan pesisir memiliki ciri khas yang tercermin dari motif dan goresannya. Dari sehelai batik dapat terungkap segala sesuatu tentang daerah dimana batik tersebut dikreasikan, seperti bahan dasar kain (mori, lawen, atau sutra), bahan malam, keterampilan, selera, sifat, letak geografis, dsb. Setiap warna, setiap bentuk motif, bahkan nama batik memiliki filosofi mendalam yang terkait langsung dengan fungsi, status pemakai, dan aturan pemakaiannya dalam tatanan masyarakat.

Di KasultananYogyakarta, batik telah menjadi budaya tradisi keraton yang diwariskan dari Kerajaan Mataram sejak Sultan Hamengkubuwono I memerintah. Saat itu batik tidak hanya menjadi bahan sandang sehari-hari tapi juga digunakan terutama sebagai busana keprabon perlambang keagungan keraton. Tidak hanya di Yogyakarta, batik di daerah lain yang diterapkan dalam banyak bentuk kain sejak dahulu telah menjadi sandangan sehari-hari sesuai dengan kedudukan dan keperluan tiap individu. Misalnya, batik bangrod Tuban yang diperuntukkan bagi gadis yang belum menikah atau Batik pipitan digunakan bagi wanita yang sudah menikah, nama pipitan sendiri memberi makna hidup berdampingan. Tak ketinggalan batik untuk ikat kepala atau disebut iket (Jawa) odeng (Madura) dan deta (Sumatera Barat) dahulu juga kerap dipakai oleh kaum muda masa lampau. Kain kemben batik juga lumrah dipakai sebagai penutup dada oleh para wanita. Kain sarung pun dipakai sehari-hari sebagai busana bawahan pelengkap baju kurung atau kebaya oleh wanita di Sumatera dan Madura.

Selain dipakai untuk keperluan sehari-hari batik juga menduduki posisi terhormat tak tergantikan sebagai sandangan upacara adat ningrat maupun upacara adat rakyat biasa. Beberapa contohnya batik Rembang Lok Chan yang di Sumatera Barat, Bali, Lombok, dan Sumbawa digunakan sebagai pelengkap busana upacara adat. Selendang batik yang dipakai dalam beberapa tarian sakral. Kain Dodot perlambang kemakmuran adalah kain yang di masa lalu hanya dipakai oleh keluarga raja, serta penari bedoyo dan serimpi.

Satu hal yang disoroti adalah ternyata batik sejak dahulu memang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari upacara pernikahan. Terbukti dari dominasi keterlibatan batik bahkan dalam setiap segi terkecil yang biasanya berpangkal pada aturan pemakaian batik dalam upacara pernikahan terutama pernikahan adat ala Yogyakarta dan Surakarta. Misalnya; penggunaan kain panjang dengan gaya kembaran adalah tata pemakaian kain panjang yang bercorak sama atau serupa (kesamaan corak ini bermakna persatuan dua keluarga) oleh pengantin atau keluarga pengantin atau misalnya pemakaian kain dodot gaya ngumbar konco yang menunjukkan bahwa yang punya hajatan berasal dari keluarga ningrat. Contoh lainnya adalah pemakaian kemben gaya semekan sindur khas Yogyakarta bagi calon pengantin wanita pada malam midodareni.

Dari fungsi batik pada masa lalu di atas terlihat bahwa pemakaian batik dengan berbagai pengembangan penerapannya seperti, kain panjang, kain sarung, dodot, selendang, kemben, ikat kepala ternyata tidak hanya diidentikkan oleh upacara pernikahan seperti yang disangkakan terjadi di masa sekarang, namun juga meresap dalam hidup masyarakat sehari-hari selain tentunya dimanfaatkan dalam sejumlah upacara keagamaan atau upacara penobatan raja.

Lalu kemana perginya batik dari relung kehidupan masyarakat saat ini dalam rutinitas non upacara adat? Yang mana menghilangnya batik dari keseharian telah menyebabkan steriotip bahwa batik itu sama dengan resepsi pernikahan dan dikenakan hanya pada saat ada upacara pernikahan.

Sebagai bagian dari budaya, batik tak lepas dari terpaan sejarah yang berjalan beriringan dengannya. Jatuh bangunnya kerajaan, masa kolonialisme dengan berbagai kebijakannya, dan masa kemerdekaan hingga sesudahnya ikut memberikan andil pada kisah batik yang dahulu sempat menjadi busana yang lumrah ditemui ini.

Akhir abad 19, 1870-1900, pada masa Sultan Hamengkubuwono VII industri perdagangan/pertanian makin maju seiring dengan politik ekonomi liberal yang dikuti politik etis ala pemerintah Belanda yang menggantikan sistem Cultuure Stelsel, membawa perubahan besar dalam sistem kehidupan terutama di bidang pendidikan. Awal abad 20, batik cap mulai diperkenalkan demi pengefektifan produksi batik, sebuah pengaruh revolusi industri di Inggris, setelah sebelum 1920an batik selalu dikerjakan secara manual.

Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII lahirlah undang-undang penggunaan busana keprabon bernama Pranatan Dalem Bab Namanipun Panganggo Ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1927. Yang bertujuan mengatur penggunaan busana keprabon dan melarang penggunaan motif tradisional tertentu bagi kalangan di luar keraton seperti motif parang rusak (barong, gendreh, klithik), semen gedhe, kawung, dan udan riris. Pengaturan ini dibuat demi menjaga citra keraton dalam menjalankan upacara adat penting. Pengaturan yang mungkin malah menjadi bibit dari sempitnya ruang gerak pengembangan kreatifitas motif batik tradisional oleh masyarakat.

Keputusan bergabungnya kasultanan Yogyakarta ke NKRI pastilah sulit dihindarkan selain keduanya memang telah memiliki kedekatan secara kultural. Mau tak mau berdampak pada tergerusnya budaya Yogyakarta, sebagai sumber dan pemegang budaya batik. Pergantian status Yogyakarta dari sebuah negeri menjadi propinsi bergelar Daerah Istimewa tampak tidak cukup membendung laju arus perubahan ke arah modern. Hal serupa pun terjadi di seluruh daerah yang selama ini dikenal sebagai pusat batik baik batik tradisional maupun pesisir. Sama-sama kehilangan pengaruh pada masyarakatnya.

Makin gencarnya kemajuan teknologi ciptaan manusia berimplikasi pada kemudahan pertukaran informasi antar manusia terutama pada masa orde baru telah mempengaruhi setiap sendi kehidupan bangsa Indonesia sejak kesultanan-kesultanan selaku lembaga tertinggi lokal pemegang kebudayaan mulai kehilangan wibawanya di tengah laju modernitas. Lenyapnya ciri feodalisme dari sisa-sisa kerajaan di Nusantara—yang telah dimulai dari kolonialisme yang mencap pribumi sebagai sosok bodoh, bahkan politik etis pun disinyalir sebagai upaya pelenyapan budaya asli Indonesia—makin memperkuat pengaruh barat. Batik sebagai pakaian sehari-hari perlahan tergeser sedikit demi sedikit oleh pakaian modern yang lebih praktis, tidak se“kuno” dan serumit batik dari sisi fungsi maupun tata cara pemakaian. Batik terlupakan dan tak lebih dari sekedar seragam wajib buat siswa sekolah ataupun PNS.

Namun ajaibnya pemakaian elemen batik untuk upacara adat tampak masih dipertahankan mengingat tingkat kesakralan dan tradisinya. Tampaknya batik belum dapat digantikan dalam prosesi upacara adat. Dalam hal ini kedudukan keraton-keraton Nusantara, termasuk Keraton Yogyakarta dan Surakarta masih dapat diandalkan dalam mempertahankan warna warisan budaya batik di Indonesia di tengah busana modern yang serba praktis.

Entah hal ini disadari atau tidak oleh para tamu undangan yang hari ini menghadiri sebuah acara resepsi pernikahan dengan membalut tubuh mereka dalam batik. Terlepas pemakaian batik dapat diterjemahkan sebagai: bentuk perlawanan dari klaim sepihak sejumlah budaya oleh negara lain, hari Jumat harinya batik, dan perayaan hari batik tiap tanggal 2 Oktober. Jauh di dalam hati, mereka telah menyadari bahwa batik telah menjadi simbol tradisi sekaligus identitas bangsa dalam sebuah prosesi sakral penuh ritual macam pernikahan, atau barangkali batik dilihat sebagai betuk romatisme masa lalu dimana batik masih menjadi sandangan sehari-hari. Sebuah romantisme yang tak dapat dilakukan sebebasnya pada masa sekarang. Sebab memakai batik tiap hari justru dipersepsikan berbeda oleh orang Indonesia modern. Bisa jadi khawatir dinilai pamer, karena batik identik pula dengan harga mahal atau dinilai tidak membaur dalam iklim modern dan atau kembali lagi ke awal memakai batik malah dinilai hendak menghadiri respsi pernikahan.

(artikel awal di sini)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun