Mohon tunggu...
Jingga
Jingga Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

M

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Membaca Jazz, Parfum, dan Insiden Karya Seno Gumira Ajidarma

29 September 2021   12:52 Diperbarui: 29 September 2021   13:03 1067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini saya sedang hobi mereview buku. Mencoba mengasah kemampuan di bidang ini. Sebelum saya bosan dengan tetek bengek ini, saya akan mereview satu karya sastra karya Seno Gumira yang berjudul Jazz, Parfum, dan, Insiden.

Baiklah, bagaimana ya. Saya sedikit kurang menyukai prolog dan epilog naskah ini. Kenapa? Pendapat saya saja, terlalu mendayu-dayu. Memaksa menjadikan sesuatu indah. Sedangkan pada bab-bab berikutnya, bahasa menjadi mengalir wajar. Bab-bab setelah prolog begitu epik dan membuat saya kecanduan membaca hingga epilog. Tanpa pengaruh sentimen pribadi, entah saya akan membaca epilog dengan sedikit bahagia atau tidak. Benar-benar tipe karya sastra 90-an. Kalian tahu, epilognya serasa lebay. Maaf Pak Seno hehe.

Seperti dideskripsikan oleh penulisnya sendiri, karya ini bebas kita intrepretasikan sebagai apapun. Saya sendiri merasa ini adalah novel yang belum pernah diselesaikan oleh penulisnya. Saya sebagai pembaca bertanya-tanya bagaimana konklusi cerita ini? Apakah penulis tidak ingin melanjutkan ceritanya sendiri? Lalu kenapa sudah dimuat saja.

Singkat cerita, naskah ini mengisahkan seorang tokoh, wartawan, yang menyukai musik Jazz dan parfum-parfum. Saya memaknai Parfum ini hanya analogi saja. Tokoh sebenarnya menyukai musik Jazz dan wanita-wanita. Benar. Ia suka mencicipi wanita-bahasa kasar dari saya. Sambil membaca kasus-kasus berisi insiden-insiden (mungkin sebagai bentuk protes kepada Pemerintah), ia menelepon wanita-wanitanya dan mencoba membuka kenangan. 

Pada akhir cerita, kepada wanita yang istimewa, ia tidak menelepon. Ia lebih suka mengirim surat. Benar-benar wanita yang beruntung. Satu hal yang saya kecewai di sini, kenapa wanita harus dimarginalkan guna mengangkat tema utama, yakni mencoba memotret suasana politik masa itu. Tapi tidak apa-apa. Dalam segi mimesis, saya rasa memang mendekati kenyataan. Begitulah wanita, meskipun tidak semua.

Dengan kurang lebih 200 halaman, bacaan ringan ini serasa menjanjikan untuk dibaca. Barangkali ada semacam hikmah untuk diambil. Terakhir, selamat malam, selamat membaca Jazz, Parfum, dan Insiden

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun