Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Solo Tak Punya Kalpataru? Siapa Bilang

7 Juli 2014   15:20 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:10 3694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1404695177667957168

[caption id="attachment_332414" align="alignnone" width="481" caption="Foto Profil Pauzan Pusposukadgo dan Keris Kalpataru oleh Jimmy S Harianto"][/caption]

Seperti juga namanya, kalpataru yang memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan kesehatan manusia, disebut sebagai “pohon kehidupan”.Pohon rimbun yang memiliki akar lebat, dan kokoh berdiri di tanah ini menjadi tempat berlindung banyak satwa karena banyak menyimpan air. Tidak salah jika Prof Emil Salim ketika menjadi Menteri Lingkungan Hidup di tahun 1980-an, menjadikan Kalpataru sebagai simbol penghargaan terhadap pelestari lingkungan.

Kalpataru belakangan ini mendadak hangat dibicarakan, lantaran muncul di dalam Debat Calon Presiden Republik Indonesia 2014 yang terakhir, 5 Juli 2014 lalu. Salah satu Cawapres Hatta Rajasa, cawapresnya Prabowo Subianto, mengangkat topik pertanyaan seputar Penghargaan Kalpataru itu pada kubu capres lawannya, Joko Widodo dan Jusuf Kala. Ini cuplikan perdebatan para capres dan cawapres itu...

“Kembali ke Lingkungan Hidup. Kita ingin hidup, dalam suasana bersih, hijau dan sehat. Salah satu penghargaan tertinggi di dalam Lingkungan Hidup, adalah Kalpataru,” ujar Hatta Rajasa, cawapres yang juga mantan Menteri Perekonomian dari sejak empat tahun terakhir sampai mencawapres di Pilpres 2014 ini pula.

“Banyak kota menginginkan itu, karena ini adalah salah satu indikator dari apa yang saya sebut tadi.Termasuk juga, upaya kita untuk membangun, udara, air dan tanah yang lebih sehat, lebih baik. Pertanyaan saya, seberapa jauh pandangan Pak Jokowi terhadap soal ini, dan bagaimana upaya mencapainya?” ungkap tegas, Hatta Rajasa pula.

Menyadari, bahwa pertanyaan yang diajukan itu tidak tepat, lantaran penghargaan yang dimaksud oleh Hatta Rajasa itu seharusnya adalah Piala Adipura – sebagai penghargaan terhadap kota (bukan perseorangan) di Indonesia yang berhasil dalam kebersihan serta pengelolaan lingkungan perkotaan – maka Capres Jokowi pun menerangkan kembali, apa yang dimaksud sebagai Penghargaan Kalpataru itu, dan kritiknya terhadap penghargaan tersebut.

“Terima kasih Pak Hatta,” ujar Jokowi, “Menurut saya, Kalpataru, penghargaan itu sangat baik, diberikan pada perseorangan maupun lembaga. Tetapi alangkah baiknya, tidak diberikan dalam bentuk piala saja. Tetapi diberikan dalam bentuk insentif, dana, anggaran sehingga mereka bisa mengembangkan apa yang telah mereka capai, apa yang telah mereka kerjakan itu bisa berkembang ke arah yang lebih besar lagi,” kata Jokowi pula.

“Kalau piala? Mereka hanya dapat barangnya (piala) saja. Tetapi kalau diberikan insentif anggaran, mereka akan bekerja lebih giat lagi memperbaiki lingkungan, baik dalam sebuah aliran sungai, baik dalam menanami kanan kiri ‘catchment area’ atau daerah tangkapan air. Baik memperbaiki lingkungan desanya. Baik mengambil air dari atas dengan pipa yang sangat sederhana sampai ke bawah sebuah desa. Tetapi .... alangkah lebih baik, mereka diberi sebuah anggaran, diberi sebuah insentif sehingga tidak hanya satu, dua, tiga, empat, lima orang yang (kemudian) ingin melakukan itu. Akan tetapi semua orang, semua masyarakat lalu ingin bekerja memperbaiki lingkungannya, memperbaiki desanya, ingin memperbaiki daerah tangkapan air. Ingin memperbaiki seluruh daerah aliran sungai. Ingin memperbaiki kotanya, dan tentu saja ingin memperbaiki seluruh negara yang kita cintai ini...,” jawab Jokowi.

Rupanya Cawapres Hatta Rajasa masih belum merasa puas dengan jawaban Jokowi ini, dan masih belum pula menyadari kekeliruan pertanyaannya. Bahwa semestinya bukan penghargaan Kalpataru, akan tetapi penghargaan Piala Adipura untuk sebuah keberhasilan mengelola kebersihan dan lingkungan kota – juga dari Kementerian Lingkungan Hidup – dan Hatta masih mencecar dengan pertanyaan seputar Kalpataru.

“Pak Jokowi, tentu penghargaan, apakah dalam bentuk insentif ataupun piala, itu bukan sesuatu yang terlalu prinsip. Yang penting, penghargaan itu adalah refleksi keberhasilan sebuah kota, membangun kotanya bersih, hijau dan sehat. Apakah nanti ia mendapat insentif, atau berupa piala, itu konsekuensi bahwa ia telah melakukan itu. Pertanyaan saya tadi itu, dari apa yang sudah dijelaskan, mengapa misalkan DKI (Jakarta) sekarang tahun ini tidak dapat? Rasanya setiap tahun dapat. Atau misalkan, Solo, belum pernah dapat... Apa yang salah, misalkan, dalam menerapkan kota bersih, sehat, hijau? Atau kriteria (penilaiannya) yang tidak tepat? Terima kasih...,” tukas Hatta Rajasa pula.

Pertanyaan terakhir Hatta ini langsung disambar oleh Cawapres sebelah, Jusuf Kalla dengan lugas dan tegas. “Ya, saya hanya ingin menanggapi sederhana saja. Pertanyaan Bapak bagus, hanya keliru. Kalau (penghargaan untuk) kota itu bukan Kalpataru. Akan tetapi Adipura. Jadi bapak keliru. Karena pertanyaan Bapak keliru, maka tak usah saya jawab!”

Masih ditimpali lagi oleh Jokowi. “Ya, saya ingin tambahkan. Kalau tadi menyinggung kota Solo, pernah kota Solo mendapat penghargaan ‘Green City’ dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan.Silakan Bapak cek di sana...,”

Kubu Prabowo dan Hatta Rajasa tidak meneruskan mencecar soal penghargaan lingkungan terhadap Jakarta dan Solo yang kini dan pernah dikelola oleh Jokowi, saat menjadi Walikota Solo maupun kini Gubernur DKI Jakarta non-aktif...

Pamor keris Kalpataru

Kota Jakarta memang tengah membangun, centang-perenang di sana-sini, sudah dimaklumi publik jika tak mendapat penghargaan. TetapiSolo, benarkah tak pernah mendapat penghargaan seperti kata Hatta Rajasa?  Sebagai warga asli Solo, lahir di Solo, besar di Solo dan kini tinggal di Jakarta, saya jadi tergelitik juga untuk menjawab pendapat Hatta Rajasa ini. Benarkah Solo tak pernah mendapat penghargaan lingkungan?

Ternyata menurut Jokowi, kota Solo pernah mendapat sebutan sebagai ‘Green City’ oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan.  Itu hanya salah satu saja dari sekian penghargaan terhadap solo yang datang dari pihak luar. Yang jelas, penghargaan tertinggi justru datang dari warga kotanya sendiri. Dan itu tercermin, ketika Jokowi dalam pemilihan Walikota untuk kedua kalinya (sebelum ia tinggal mencagub di DKI dan terpilih), Jokowi malah terpilih untuk kedua kalinya dengan suara hampir 90 persen dari warga kotanya. Sebuah prestasi yang jarang terjadi di pemilihan semacam ini, walau tanpa secuil kertas penghargaan, piala atau insentif sekalipun...

Apa yang membuat warga kotanya menghargai? Tentu tanyalah warga kota Solo sendiri. Apakah ketauladanan Jokowi yang nggak korupsi? Atau keberhasilannya dalam mendobrak birokrasi Solo, sehingga warga tidak dihadapkan pada kesulitan demi kesulitan soal perizinan, pengurusan KTP, izin usaha, dan juga soal penataan lingkungan perkotaan? Wallahualam. Tanya pada warganya...

Keberhasilan Jokowi di mata warga kota Solo ini rupanya juga menggerakkan seorang empu sepuh, yang dulu pernah berkarya di masa jaya Soeharto – sehingga banyak menteri kabinet pada zaman itu, termasuk Menko Kesra Surono dan juga Menteri Pariwisata Joop Ave atau Menpen Harmoko dan sejumlah pejabat lain memesan keris pada Empu Pauzan. Sekitar tujuh bulan lalu, Pauzan membikin keris khusus bagi Jokowi. Padahal, empu ini belum lama mengalami stroke, nyaris lumpuh, dan malah tergerak kembali menempa dan membuat  keris khusus untuk Jokowi yang ia namakan, keris Cahyo Buwono (Sinar Dunia). Si pembuat, Empu Pauzan Pusposukadgo yang sudah renta, 72 tahun, perlu mengerahkan sisa-sisa terakhir daya kekuatannya untuk kembali menempa setelah lebih dari sewindu tak lagi menempa keris. Hanya sayang, empat hari sebelum ulang tahun Jokowi 21 Juni 2014 – saat keris itu rencananya akan diserahkan pada sang mantan Walikota -- sang empu sepuh itu lebih dulu menghadap Sang Khalik. Pauzan meninggal dunia karena usia sepuhnya, pada 17 Juni 2014 setelah berhasil menyelesaikan keris untuk Jokowi.

Secara kebetulan, Pauzan yang ikut menggairahkan kembali pembuatan seni tempa tradisional yang bernama keris itu di Solo di tahun 1970-an dan 1980-an. Ia juga dikenal pernah melakukan sebuah inovasi, yang kemudian diakui sebagai ciptaannya. Yakni, pola tempa motif pamor yang ia sebut sebagai “poleng wengkon” (inspirasi dari motif kotak-kotak sarung Semar, punakawan wayang, yang juga menjadi motif suci di kalangan Hindu Bali) yang tentunya memiliki tingkat kesulitan tersendiri dalam hal pembikinannya.

Juga, Pauzan Pusposukadgo yang kelahiran desa Grinting, Boyolali tahun 1941 ini adalah pencipta motif tempa pamor keris yang disebutnya sebagai “pamor keris kalpataru” (gambar saya potret di atas). Sebuah motif pamor baru, dari sekian ratus jenis pola pamor di perkerisan, yang tentunya terinspirasi oleh “pohon kehidupan” Kalpataru. Seperti juga inspirasi yang diangkat oleh Prof Emill Salim dulu, saat pertama kali mengenalkan Penghargaan Kalpataru, penghargaan yang ditujukan untuk pribadi atau kelompok (sama sekali bukan untuk kota, seperti yang diungkapkan Hatta Rajasa), yang dinilai berhasil merintis pelestarian lingkungan, mengabdi lingkungan atau menyelamatkan lingkungan dari kerusakan. Termasuk juga tentunya, menyelamatkan sesuatu aset lingkungan Indonesia dari kepunahan.

Berbagai kriteria lingkungan di atas, sebenarnya juga dilakukan oleh mendiang Pauzan Pusposukadgo. Ia ikut andil dalam pelestarian tradisi pembuatan keris di kotanya, Solo, yang nyaris mati dan punah di tahun 1970-an, seperti juga mendiang Empu Jogjakarta, Djeno Harumbrodjo. Dan lebih dari itu, Pauzan juga melestarikan daya kreasi para empu di zaman dahulu, dengan menciptakan pola pamor baru – yang ia sebut “pamor kalpataru”.

Tanpa diberi penghargaan Kalpataru sekalipun, Pauzan bahkan "sudah membuat Kalpataru" di hati para penggemar keris di kotanya. Sebuah kalpataru, untuk pelestarian tradisi yang sempat nyaris punah akan tetapi justru diakui oleh lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa, UNESCO, sebagai “warisan tak benda dunia asli Indonesia”, The Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity di Paris pada 25 November 2005. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun