Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sibuk Pikirin Prabowo, Lupa Memikir Bensin

25 Agustus 2014   04:46 Diperbarui: 11 Oktober 2019   11:33 3561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Haurgeulis, Minggu – Pompa bensin Haurgeulis di pinggir barat Indramayu di perbatasan Kabupaten Subang, Jawa Barat, Minggu (24/8) petang itu padat antrian luar biasa.

Tak hanya para pengendara sepeda motor, akan tetapi antrian itu juga terdiri dari puluhan sepeda motor pembawa jeriken yang akan dijual kembali ke masyarakat desa.

“Sudah sejak Sabtu malam premium langka,” ujar Yarsri, yang terlihat Minggu malam itu kerepotan melayani pembeli bensin yang hampir semuanya adalah pengendara sepeda motor, dan hanya satu dua kendaraan roda empat–itu pun lebih banyak angkot pengangkut penumpang dari Pasar Patrol di perbatasan Pamanukan di Kabupaten Subang, dengan wilayah Indramayu.

Selama dua hari penduduk Desa Haurgeulis dan sekitarnya mengalami kelangkaan bahan bakar bersubsidi, premium.

Menurut Yasri, petugas pompa bensin di Haurgeulis di perbatasan barat Indramayu ke arah Subang di Jawa Barat yang ditemui Minggu (24/8) malam, premium habis sejak hari Sabtu sekitar pukul 22.00 dan baru tersedia kembali hari berikutnya, Minggu pada sekitar pukul 15.00.

“Mungkin pemerintah terlalu sibuk memikirkan Prabowo, sampai lupa memikirkan bensin,” ujar Tarmudi, penduduk Desa Krasak, Kecamatan Bongas yang jaraknya hampir 10 km dari pompa bensin terdekat.

Seperti juga puluhan motor yang antri di Haurgeulis malam itu, dan juga puluhan pembawa jeriken yang berdesakan di seputar pompa, rata-rata mereka adalah masyarakat petani.

Haurgeulis, dan juga desa-desa di sekitarnya seperti Kecamatan Anjatan, Bongas dan Gabus di Indramayu adalah desa di wilayah Pantura (Pantai Utara) Jawa Barat yang menjadi lumbung padi Jawa Barat di samping Krawang dan Cirebon.

Meski demikian, wilayah di perbatasan barat Indramayu ini dikenal “miskin” dan penduduknya banyak yang merantau musiman ke Jakarta.

Lelakinya, banyak yang bekerja sebagai pengemudi bajaj atau kenek angkot di Jakarta, sementara perempuannya selain bertani, juga banyak yang menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di seantero Timur Tengah, Hongkong, dan Taiwan.

Bahkan tak sedikit pula yang bekerja malam di tempat-tempat hiburan di Jakarta dan Surabaya.

Terbiasa tanpa subsidi
Praktek penjualan bahan bakar untuk kendaraan, utamanya BBM bersubsidi premium di Haurgeulis dan sekitarnya, merupakan salah satu contoh untuk menunjukkan betapa BBM bersubsidi itu sungguh tidak mereka rasakan subsidinya.

 

Antrian motor dan pembeli bensin dengan jeriken di Stasiun Pompa Bensin Haurgeulis, di perbatasan barat Indramayu Minggu (24/8) malam.
Antrian motor dan pembeli bensin dengan jeriken di Stasiun Pompa Bensin Haurgeulis, di perbatasan barat Indramayu Minggu (24/8) malam.

“Hari ini harga premium di Gandu (desa di Kecamatan Bongas), eceran mencapai Rp 10.000 gara-gara sejak kemaren premium habis di pompa bensin,” ungkap Tarmudi, warga Krasak pula.

Harga “normal” premium di desa-desa seputar Haurgeulis, Bongas dan Gabus–jika tak membeli di stasiun pompa bensin resmi (SBPU) Pertamina – adalah Rp 8.000!

Bisa dibandingkan, dengan penduduk-penduduk bermobil di ibu kota Jakarta, yang dengan mudahnya mendapatkan “bensin bersubsidi” premium seharga Rp 5.500 di banyak pompa bensin, yang bertebaran di se-antero Ibu Kota.

Sementara, lantaran “kelangkaan” (basa Indramayu, “langka” artinya tidak ada. Berbeda dengan bahasa Indonesia, bahwa “langka” itu jarang) premium sejak hari Sabtu malam lalu, sampai Minggu menjelang petang, para penduduk miskin dan petani di Haurgeulis, Indramayu, terpaksa membeli Pertamax atau BBM tanpa subsidi dengan harga selangit.

Pertamax di eceran tak resmi, mencapai Rp 13.000... Bayangkan beda harganya dengan penduduk metropolitan Jakarta, yang dengan santainya dan bahkan merasa “keberatan” dengan harga resmi Pertamax yang “hanya” Rp 10.200.

Inilah salah satu kenyataan yang ironis: penduduk miskin membeli bahan bakar minyak dengan harga “tanpa subsidi”, sementara orang kota berteriak-teriak lantaran dalam waktu dekat, mau-tak-mau subsidi BBM terancam dicabut...

Itu hanya salah satu wajah saja dari realita sehari-hari yang ada di Indonesia Raya saat ini. *


 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun