Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kini Para Arjuna pada Mencari Kursi

21 Mei 2014   15:05 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:17 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Dinamika politik yang terjadi di Tanah Air dalam dua bulan terakhir, sungguh menarik. Jauh lebih menarik ketimbang sinetron atau tontonan gosip apa pun di panggung televisi kita yang rating-nya paling tinggi. Tontonan Pilpres 2014 ini tidak hanya menarik lantaran tingkah pecicilannya para politisi yang menawarkan dirinya jadi pemimpin bangsa. Akan tetapi terutama lantaran kali ini rakyat diberi porsi “jabatan tertinggi”, yakni sebagai penonton dan sekaligus juga penentu keputusan bagi diri para pemimpin negeri, di “bilik suci” pilihan nanti, pada saat gawe Pilpres pada 9 Juli 2014.

Oleh Jimmy S Harianto

Hai, para politisi hebat. Kalian boleh pecicilan, mondar-mandir ke sana kemari. Boleh negosiasi: naik-turun mobil kalian yang wah, atau naik turun helikopter yang aku nggak punya. Baju kalian boleh bergonta-ganti: hari ini kuning kek, hijau kek, biru kek, merah kek, kotak-kotak kek, belakangan ini berlagak putiiiiih kek semuanya. Kumis kalian boleh kalian pelintir-pelintir, atau kepala kelimis kalian diberi berpecis ria, seolah nasionalis sejati semua.Tapi rasain nanti. Tunggu coblosanku, akan memilih kamu atau tidak?

Banyak episode kalian yang aku tonton menarik selama dua bulan. Ini salah satunya yang paling menarik: “Saat ARB Mencari Kursi”. Seluruh rakyat menontonmu, tauk? Meski aku tak diberi kesempatan untuk mencoblos atau tak mencoblos dirimu di “bilik suci”ku agar kamu jadi pemimpinku karena kamu memutuskan mangkir dari lomba. Akan tetapi mondar-mandirmu itu menyuguhkan sebuah episode politik yang banyak sekali membelajariku untuk bersikap di negeri ini. Bersikap suka atau tak suka dengan tingkah laku partai-partai yang menguasai panggung politik negeri ini. Bersikap suka atau tak suka dengan tingkahmu, tingkah partaimu yang lama menguasai hajat hidup negeriku.

Episode biru,  beserta “Sebelas Arjuna Mencari Kursi” sudah pasti berlalu pekan lalu. Akan tetapi setidaknya, dalam masa senja kekuasaan birumu rakyat kau beri tontonan, sebuah “akademi politik” yang bisa berguna di masa datang. Berupa sebuah panggung Konvensi Demokrat yang bisa jadi contoh, andaikata bangsa ini mau memilih pemimpin. Terima kasih, itu tentunya hanya salah satu model saja, di samping model blusukan, atau model mondar-mandir bak kereta listrik Depok-Jakarta-Depok, serta model orasi mengumbar janji seraya pethitha-pethithi.

Pasukan Azzuri atau Pasukan Biru sudah memutuskan untuk menunggu, entah lima tahun, entah sepuluh tahun. Tidak mau berpihak pada pihak manapun. Tidak juga akan berpihak pada pasukan “Red Bull” si pemenang Pileg bulan lalu. Pidato pemimpin Biru pun sudah jelas aku telan mentah-mentah. Kalian memutuskan untuk duduk tenang, atau duduk tak tenang, sembari menunggu hasil peradilan tokoh-tokoh hebat kalian yang tengah diguncang prahara bertubi-tubi dalam berbagai kasus korupsi.

Tetapi setidaknya pelajaran bagus yang bisa ditonton publik negeri ini adalah: kalian Pasukan Biru mundur dari panggung secara elegan. Tidak wara-wiri, mondar-mandir “mencari cinta”. Mundur dari panggung, dengan sebuah tontonan “akademi politik” tadi. Terima kasih, suatu ketika para pemimpin kalian lahirkan dari akademi politik kalian ini tentu berguna bagi masa depan bangsa.

Episode kuning? Wah, inilah yang terus menjadi buah bibir, dari ujung gang sempit di metropolitan, sampai di bangku warung-warung rakyat di seantero negeri. Jangan lupa, hai pemimpin partai kuning. Seluruh gerak-gerikmu tidak bisa kamu sembunyikan dari tatapan mata rakyat, yang secara riil sebenarnya “menguasai hajat hidupmu di negeri ini” Camkanlah. Rakyat yang kini tidak lagi bodoh seperti dulu, kini adalah penguasa negeri. Gaman yang disandang rakyat bukan bedil, bukan meriam, bukan pula pesawat hebat seperti pesawat dan kekayaanmu. Akan tetapi gaman rakyat hanyalah paku, serta bantal landasan untuk mencoblos kalian, atau tak mencoblos kalian. Gaman lain, adalah rasa suka dan tak suka pada kalian.

Mondar-mandirmu sungguh menjadi tontonan menarik, akan tetapi juga sekaligus sebuah lakon yang memilukan: bagaimana seorang Arjuna dari sebuah kerajaan partai yang besar dan memiliki rekam jejak panjang dalam panggung politik kekuasaan negeri ini, harus mondar-mandir “mencari cinta”. Mending kalau mendapat kursi pelaminan. Cukup puas rupanya bagimu, untuk hanya mengepal tinju bersama ke atas udara kosong di atas kalian sembari mengucap bersama tetangga baru, untuk sebuah harapan kekuasaan baru.

Arjuna kuning memang bukan Srikandi Merah. Yang bisa menunggu bertahun-tahun untuk – siapa tahu – sebuah kursi kekuasaan di negeri ini. Arjuna kuning adalah memang Arjuna yang harus mondar-mandir membawa segepok panah. Kesana, kemari, mencari cinta. Rakyat pilu melihatmu, pilu tak melihatmu ikut bertarung di antara sesama Arjuna pada Pilpres 2014 negeri ini, lantaran dirimu tak laku dilamar. Alias, dirimu harus terima nasib sebagai jomblo. Eh, tidak jomblo juga. Lantaran kini dirimu sudah berlabuh di pelabuhan harapan pelaminan kekuasaan, walau kekuasaan itu nantinya milik tetangga.

Episode berikut apa?Tentunya rakyat menunggu lakon terbaru, setelah Arjuna Kuning menyerah tak berdaya berebut kursi, meskipun kaya raya dan memiliki segudang pengikut sekalipun. Pertarungan antara dua Arjuna calon pemimpin kita, Arjuna miskin melawan Arjuna kaya yang lain, menjadi sebuah episode yang bisa mendebarkan, bisa pula membosankan. Kita tunggu saja perjalanan waktu dalam kurang dari dua bulan ini. Semoga dalam perjalanan waktu menunggu pelaminanmu nanti, kami ini tidak lagi kau beri tontonan sumpah-serapah, atau puisi-puisi sampah yang hanya memuaskan dirimu. Tetapi sebenarnya malah membikin diriku muntaber.

Suguhi saja aku selama kurun waktu kurang dua bulan ini, janji-janji yang bisa aku tagih nanti, kalau kamu nanti sudah di pelaminan kekuasaan. Hayo, berjanjilah untuk rakyat. Aku akan tampung dalam emberku. Ember kekuasaan rakyat. Tambah banyak janji, malah tambah meluber kekuasaanku, tambah banyak kesempatan bagiku untuk menagihmu. Bravo Bro, berjanjilah terus!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun