Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ketika Jurnalisme Partisan Semakin Merajalela

5 April 2014   22:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:02 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13966862742044202036

Musim kampanye Pemilihan Umum 2014 kali ini membersitkan pendidikan politik yanggamblang bagi kita tentang semakin merajalelanya “jurnalisme partisan”, terutama oleh media televisi swasta yang boss-bossnya memiliki agenda politik nasional. Dari pagi, siang dan malam, publik dididik untuk tidak lagi menjadi obyektif dan kritis lagi oleh televisi-televisi swasta besar yang menjadi corong propaganda bagi boss-bossnya.

Oleh Jimmy S Harianto

Kemasan programnya pun benar-benar “jurnalistik” sekali: dari talk show yang tentunya terkesan bernas tetapi sebenarnya tidak obyektif, sampai reportase langsung yang sungguh tidak berimbang: antara kampanye si boss besar pemilik media, dengan kampanye partai-partai lain. Polanya pun jelas: kritis terhadap parpol yang lain, utamanya partai inkumben yang jadi sasaran tembak, serta tokoh populer yang melejit. Akan tetapi terkesan sangat tidak kritis dan bahkan cenderung menjadi corong propaganda bagi boss-boss media yang berkampanye.

Program pun dirinci dengan cerdik, dari program laporan pandangan mata yang tak berimbang, sampai program “jurnalisme warga” yang ternyata lebih banyak menyoroti partai si boss media, atau kalau partai lain ya penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran. Sama sekali tidak pernah satu kalipun diberitakan, pandangan kritis atau pelanggaran dari partai si boss. Justru malah program si boss terpapar lengkap, detail dan pidato si boss pun ditayangkan  berpanjang-panjang, melebihi bakal-bakal calon presiden lain. Seolah-olah semuanya serba manis, dan bertajuk sangat menawan: perubahan, bak Barack Obama ketika naik ke panggung kepresidenan Amerika Serikat.

Atau program diskusi, dengan sejumlah narsum parpol, namun sebenarnya hanya promosi politik terselubung. Dalam sebuah program yang terkesan intelektual, misalnya digelar di sebuah kampus terkemuka di kawasan Banten, digelar sebuah diskusi mengetengahkan tokoh-tokoh partai. Tentu saja, ada nara sumber dari partai si boss, dan narsum-narsum lain yang diasumsikan sebagai semacam “koalisi bayangan” bakal pemerintahan, andai saja partai si boss menang.Masih melibatkan partai inkumben, tetapi tentu saja menjadi sasaran tembak, dan tidak melibatkan partai besar Golkar, dan tentunya PDI Perjuangan. Yang disebut terakhir ini, bahkan sangat minim diberitakan media besar tersebut, kecuali ada pelanggaran yang dilakukan partai tersebut -- baru diberitakan. Dan tentunya nyaris zero, pemberitaan soal tokoh populer Jokowi, misalnya. Akan tetapi Prabowo? Lantaran dibidik jadi koalisi, maka partai Prabowo, Gerindra, menjadi “primadona” dalam diskusi intelektual ini, melalui narsumnya, Fadli Zon....

Apa pelajaran yang bisa ditarik dari fenomena partisan di kalangan media, terutama televisi swasta kita ini? Tentunya publik yang kini tidak lagi bodoh, harus rajin-rajin memindahkan saluran televisinya jika kemudian si boss televisi besar itu berpidato panjang lebar, berapi-api mengobarkan semangat perubahan, dan mengritik penguasa, mengritik situasi kebobrokan nasional. Beliau barangkali lupa, bahwa propaganda berlebihan soal programnya, ekspose berlebihan soal ketokohannya, bisa kontra-produktif: perut publik malah menjadi mual, mabuk propaganda.

Sementara, minat publik yang jelas-jelas terlihat adalah kemunculan tokoh-tokoh yang diharapkan membawa “perubahan” sesungguhnya, seperti Prabowo atau malah Jokowi -- yang banyak dicibir, dari fisiknya yang tak makmur, sampai track record-nya yang katakanlah: “tinggal gelanggang colong playu” meninggalkan jabatan yang belum selesai diembannya sebagai Walikota Surakarta, untuk kemudian setahun jadi Gubernur DKI Jakarta – dan kini ada gelagat akan ditinggalkannya pula.

Apapun yang terjadi, sepertinya publik pemilu kali ini lebih tertarik dengan “pertarungan” antara Prabowo – yang melejit dalam polling elektabilitas ketokohannya sebagai salah satu bakal calon presiden (balon capres) versilembaga survei, versus Jokowi – yang juga sangat populer versi survei namun diolok-olok dengan ‘seloroh politik’ masyarakat: "tanpa JK Jokowi menjadi Oowi" itu...

Politik pencitraan

Selain menjadi ajang propaganda bagi tokoh si boss pemilik media televisi (Surya Paloh, boss Media Grup menjadi balon capres bagi partai baru Nasional Demokrat, serta Hary Tanoesoedibjo boss MNC Group menjadi balon cawapres dari partai Hanura di samping balon capres Wiranto. Dan Aburizal Bakrie dengan inisial ARB Ketum Golkar adalah juga pemilik TVOne dan AN-Teve), kampanye di media televisi swasta juga didominasi dengan maraknya politik pencitraan. Iklan-iklan merajalela dengan janji-janji manis yang setinggi langit dari tokoh-tokoh partai.

Adakah di masa silam kita tidak pernah mengalamiperiode dimana jurnalisme partisan pernah meraja? Menjelang tumbangnya regim Orde Baru pada 1998 pernah dilakukan, untuk sebuah perubahan yang memang diinginkan oleh rakyat. Orde Baru yang berkuasa tak kurang dari 32 tahun pun tumbang, selain diguncang demo besar, juga oleh pemberitaan kritis media – yang dalam beberapa hal sebenarnya “partisan” juga. Hanya saja, kepartisanan media pada waktu itu adalah partisan terhadap perjuangan rakyat banyak. Bukan untuk kepentingan segelintir politisi ambisius semata.

Catatan sejarah jurnalisme Indonesia tentunya tidak melupakan satu nama seorang pelopor pers Indonesia yang bernama Tirto Adhisuryo, yang tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang memakai media sebagai alat propaganda. Tirto yang kelahiran Blora di akhir abad ke-19 itu, menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.

Tirto yang pernah menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905) dan Putri Hindia (1908) dan bahkan di dunia politik mendirikan Sarikat Dagang Islam, melakukan perlawanan terhadap Belanda melalui media. Medan Priyayi, dikenal sebagai surat kabar nasional pertama di Indonesia yang menggunakan Bahasa Melayu (Bahasa Indonesia), serta seluruh pekerjanya dari mulai pengasuhnya, percetakannya, penerbitannya, wartawannya adalah semua pribumi!

Tirto akhirnya ditangkap, dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang oleh penjajah ke Pulau Bacan dekat Halmahera di Propinsi Maluku Utara. Sekembali dari pembuangan, Tirto pun meninggal di Batavia pada 17 Agustus 1918. Propaganda yang dilakukan Tirto, tentunya adalah juga jurnalisme partisan. Hanya saja, keberpihakan dia adalah pada rakyat terjajah. Dan bukan untuk politik pencitraan, apalagi mentang-mentang politisi yang dicitrakan itu memiliki duit, dan terutama memiliki media.

Kode etik jurnalistik

Apakah fenomena Jurnalisme Partisan yang terjadi menjelang Pemilu 2014 dan nanti Pemilihan Presiden (Pilpres) medio 2014 ini adalah sebuah perkembangan yang sama semangatnya dengan Jurnalisme Partisan ala Tirto Adhisuryo pada era Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20? Tentu, publik Indonesia sendiri nanti yang akan menilai. Publik politik Indonesia sudah tidak bodoh lagi untuk di-bodoh-bodohin...

Jika kita mengacu pada Kode Etik Jurnalistik yang umum dianut oleh para jurnalis sedunia, maka sebenarnya belakangan ini sudah banyak elemen-elemen jurnalisme yang diabaikan. Ambil saja contoh, Enam Elemen Jurnalisme yang saya kutip dari “The Elements of Jurnalism: What People Should Know and the Public Should Expect” tulisan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001).

Tinggal dirunut satu persatu pada fenomena yang terjadi di kancah pencitraan politik kita selama ini, terutama di media televisi. Apakah jurnalis televisi utamanya memperjuangkan kebenaran? Apakah loyalitas utama jurnalisme kita adalah untuk kepentingan warga negara? Apakah esensi jurnalisme kita adalah disiplin verifikasi? Dan sepertinya malah sudah tidak diindahkan lagi, apakah praktisi medianya harus menjaga independensi dari yang mereka liput, dan pers berfungsi sebagai pemantau independen dari kekuasaan?

Masih untung, elemen yang saya sebut terakhir di bawah ini masih belum punah, bahwa "media juga harus menyediakan forum publik untuk kritik dan kompromi". Benar-benar masih untung, meskipun berbagai sikap independen yang sebenarnya harus inheren ada dalam setiap lubuk sanubari jurnalis, kini sudah mulai luntur...

(Penulis adalah wartawan jadoel, tinggal di Jakarta)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun