Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ini Pemakzulan Kehendak Rakyat

9 Juli 2014   16:38 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:52 1642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (KOMPAS.com/Indra Akuntono)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (KOMPAS.com/Indra Akuntono)"][/caption] Selagi rakyat hiruk-pikuk bersiap menghadapi Pilpres, diam-diam para wakil rakyat malah melakukan hal yang kontroversial. Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan merevisi pasal 84 Undang-undang MD 3 sehingga jika keputusan baru ini diberlakukan, maka kursi Ketua DPR tidak otomatis menjadi milik partai pemenang pemilu! Keputusan baru ini tadinya akan diambil melalui pemungutan suara di Sidang Paripurna di Gedung DPR Senayan pada Selasa 8 Agustus 2014. Namun karena Fraksi partai pemenang Pileg 2014 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) walk out, juga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Hanura, maka keputusan pun diambil secara aklamasi melalui musyawarah...

Ada tiga opsi yang sedianya ditawarkan dalam pemungutan suara, sebelum ketiga fraksi itu walk out. Opsi pertama adalah kembali ke aturan awal, bahwa kursi Ketua DPR jadi milik partai yang perolehan kursinya terbanyak. Opsi kedua, parpol pemenang pemilu mengajukan beberapa nama calon Ketua DPR yang nantinya akan dipilih oleh anggota DPR. Opsi ketiga, pimpinan DPR dipilih dalam bentuk paket, artinya anggota DPR akan memilih sendiri pimpinan mereka lewat paket pimpinan DPR yang diajukan. Paket tersebut berisi Ketua DPR dan empat Wakil Ketua DPR.

Nah, partai-partai di DPR minus partai pemenang Pileg 2014 dan juga PKB dan Hanura yang walk out, secara aklamasi memilih alternatif ketiga. Konsekuensinya,  partai pemenang Pileg 2014 yakni PDIP,  tidak secara otomatis menjadi pemilik kursi Ketua DPR...

Sebuah Anomali

Terlepas bahwa keputusan para wakil rakyat itu sudah diputuskan secara aklamasi oleh mayoritas fraksi di DPR-RI (bukan melalui voting sidang paripurna), yang artinya adalah keputusan para wakil rakyat hasil Pemilu lima tahun lalu, maka dalam logika sederhana, keputusan ini tentunya adalah sebuah “upaya pemakzulan suara rakyat” hasil Pemilihan Legislatif yang capek-capek diselenggarakan, dan makan biaya triliunan, serta memakan urat syaraf jutaan penduduk Indonesia selama lebih dari sebulan silam.

Yang perlu ditelusuri lebih lanjut, adalah: apa sebenarnya latar belakang para wakil rakyat hasil pemilu lima tahun lalu itu secara mendadak sontak menginginkan perubahan ketentuan, bahwa partai pemenang pemilu tidak serta-merta berhak pula menduduki kursi teratas di DPR? Apakah karena antisipasi, ada ketidaksukaan (misalnya) jika ketua partai pemenang Pileg 2014 (bisa Megawati) menduduki kursi tersebut? Atau ada dorongan lain, sehingga peduli amat hasil Pileg 2014.  Yang penting “wakil rakyat hasil pilihan lima tahun lalu harus tampil beda dengan yang lalu” (Seperti diungkapkan Fahri Hamzah dari Fraksi PKS dalam sebuah wawancara televisi swasta nasional, TV One).

Tidak usah jauh-jauh membayangkan sebuah perubahan baru. Bahkan negeri yang sudah beberapa dekade mempraktekkan demokrasi, seperti Amerika Serikat, misalnya. Mereka tetap menghormati partai pemenang pemilu legislatif untuk menduduki kursi Ketua DPR AS (House of Representatives). Dalam sistem politik AS, ketua partai pemenang Pemilu tentunya adalah yang menduduki posisi Ketua House of Representatives . Kali ini, misalnya, Ketua House AS adalah Joe Biden, dari Partai Demokrat pemenang Pemilu Legislatif AS.

Sekadar catatan, dalam sistem politik di AS, di samping House of Representatives, masih ada yang namanya Senat (Bikameral). Nah, para Senator AS yang ditunjuk dua tahunan ini adalah tokoh-tokoh terhormat masing-masing Negara Bagian, ditunjuk secara gubernatorial. Dua kamar yang bersatu, itulah Kongres AS, yang berkuasa melakukan legislasi sebelum akhirnya menjadi Undang-undang, setelah disahkan oleh Presiden AS.

Atau contoh di Perancis? Negeri yang paling awal melaksanakan asas demokrasi dalam bernegara, sejak Revolusi Perancis (1789-1799) ini pun melakukan hal yang sama. Perancis juga menganut sistem parlemen Bikameral. Ada juga Senat, dan ini memang yang ditiru oleh Amerika Serikat, serta ada Majelis Nasional (Assemblée Nationale) yang masing-masing bersidang secara terpisah. (AS bersidang bersamaan, House of Representatives plus Senat, itulah Kongres).

Akan tetapi, baik Amerika Serikat maupun Perancis, tetap menghargai pilihan rakyat yang namanya pemilu. Kursi Perdana Menteri -- yang menjalankan roda pemerintahan di Perancis -- diduduki oleh pemuka partai yang terbanyak menguasai Assemble Nationale. Sementara Presiden Perancis yang memiliki kekuasaan tinggi, masa jabatannya berbeda dengan Perdana Menteri hasil pemilu. Pilpres Perancis diselenggarakan dalam waktu dan tahun yang berbeda dengan pemilu Legislatif.

Sedangkan Amerika, meski berbeda dengan Perancis, tetap menghargai partai pemenang pemilu, untuk menduduki posisi ketua Kongres (House of Representatives atau DPR AS dan Senat). Untuk urusan penyelenggaraan Pileg dan Pilpres pun, seperti juga Amerika dan Perancis, Indonesia pun melakukannya secara terpisah. Hanya saja, jika Perancis, tidak menyelenggaran Pileg dan Pilpres dalam tahun bersamaan. Maka Indonesia, melakukan dalam tahun sama namun secara berturutan, Pileg dulu, baru Pilpres.

Tanpa mengecilkan atau mengurangi rasa hormat saya kepada para anggota dewan yang terhormat -- wakil rakyat di DPR-RI hasil pemilu lima tahun lalu -- menurut pandangan pribadi saya, upaya perubahan pasal yang sungguh esensial dalam kehidupan berdemokrasi ini sungguh-sungguh terlihat sebagai “upaya pemakzulan kehendak rakyat”. Bukankah para wakil rakyat yang baru terpilih 2014, yang nantinya akan duduk di DPR Senayan mulai 2014 itu adalah hasil pilihan rakyat? Bukankah mereka itu berbondong-bondong ke DPR karena dipilih capek-capek oleh rakyat? Biaya triliunan? Lha kok para wakil rakyat di Senayan pilihan lima tahun lalu yang terhormat malah memutuskan merevisi UU MD 3 yang akan mengatur bahwa Ketua Partai Pemenang Pileg tidak otomatis menjadi Ketua Parlemen?

Sepertinya, keputusan DPR ini seyogianya ditinjau ulang. Semoga Presiden Republik Indonesia yang sebentar lagi digantikan oleh Presiden baru, bisa memahami perkembangan ini sebelum mensahkan revisi UU tersebut. Rakyat tentunya ingin, wakil rakyat dan juga Presiden hasil pemilu lalu, meninggalkan warisan budaya politik yang bisa diteladani untuk lima tahun ke depan. Bahkan juga kalau mungkin menjadi teladan untuk seterusnya.... *

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun