Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Keris dan Tombak Cirebon Era Sultan Matangaji

18 Mei 2024   12:51 Diperbarui: 19 Mei 2024   13:32 1288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga wedung (atas) dari Dipati Unus ketika menikah dengan Putri Cirebon Wulung ayu masih tersimpan di Kraton Cirebon.

Perlawanan massal terhadap kolonial Belanda di abad ke-18 memicu perang yang panjang di wilayah Cirebon dan sekitarnya, yang disebut dalam tutur rakyat sebagai Perang Kedongdong.

Perang ini pasang surut selama sekitar 180 tahun, dalam rentang waktu 1700-1880. Berkecamuk "seperti kedongdong". Buah kedongdong, kulitnya halus. Tetapi bijinya tajam berduri-duri jangan sampai tertelan. Sepertinya rakyat ayem-ayem saja. Tetapi diam-diam perlawanan terus berkecamuk dari dalam. Seperti buah Kedongdong...

Perang melawan kolonial ini cakupannya luas. Tidak hanya di Cirebon saja, akan tetapi juga menjangkau Majalengka di Jawa Barat. Terutama di era Sultan Sepuh Matangaji (1776) berkuasa di Cirebon. Ia menggerilya penjajah tidak hanya dengan mengangkat senjata. Akan tetapi juga melalui jalur pendidikan agama.

Itu sebabnya, Sultan Sepuh V yang memiliki pesantren dan murid-murid setia di pinggiran Cirebon sebagai basis perlawanannya, dijuluki juga sebagai Sultan Matangaji, sultan yang matang mengaji.

Perang Kedongdong ini ternyata memicu berkembang pesatnya pembuatan gaman dan persenjataan tradisional di Cirebon. Diproduksi diam-diam, tersembunyi, dan dalam jumlah yang banyak. Produksinya massal, tetapi memakai teknik pembikinan tosan aji seperti layaknya dilakukan empu-empu keris.

Sisa-sisa jejak perlawanan Sultan Matangaji ini masih bisa ditemui sampai kini. Produk gegamannya, berbagai corak dan jenis tombak serta pedang, di simpan rapi di Museum Pusaka Keraton Kasepuhan Cirebon.

"Ini pun sudah tinggal sisa-sisanya. Sudah banyak hilang, dan masih banyak terpendam di pebukitan Cirebon," tutur Suryanatha Harya, waktu itu masih menjabat Pengurus Museum Kasepuhan di zaman almarhum Sultan Arief Natadiningrat. Pangeran Suryanatha, kini sudah tidak lagi di museum, dan beraktivitas di luar Kasepuhan.

Tombak-tombak sisa-sisa Perang Kedongdong di Cirebon abad ke-18 di era Sultan Matangaji. (Foto Tira Hadiatmojo)
Tombak-tombak sisa-sisa Perang Kedongdong di Cirebon abad ke-18 di era Sultan Matangaji. (Foto Tira Hadiatmojo)

Suatu ketika, Pangeran Suryanatha ini membawa saya ke sebuah tempat terpencil tempat diduga pendaman ratusan, bahkan ribuan senjata yang tetap menjadi bukit sampai kini. Seperti seolah pemakaman umum. Tiada satu orang Cirebon pun yang berani menggalinya, lantaran tempat yang dianggap wingit ini dijaga juru kunci, bak pemakaman yang dihormati.

Tombak Aneka Warna

Bekas senjata tradisional -- kebanyakan berupa tombak aneka rupa, aneka model yang aneh-aneh -- dari era Sultan Matangaji ini wujudnya macam-macam. Ada yang berbentuk trisula (tombak bermata tiga), dwisula atau bahkan Pancasula. Umumnya kokoh, meskipun modelnya unik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun