Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Prancis Pilih Timnas Sepak Bola Tanpa Naturalisasi

2 April 2024   07:06 Diperbarui: 2 April 2024   21:56 3476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau soal kebhinnekaan pemain sepak bola dilihat dari multikulturalisme berdasar etnis dan ras, tiada negeri di dunia ini yang mengalahkan Prancis. Tanpa perlu bersusah-susah pakai proses naturalisasi seperti Indonesia.

Sebut saja bintang top sepak bola mereka, seperti Michel Platini, Zinedine Zidane atau bahkan Kylian Mbappe, mereka itu semua bukan asli bangsa Francia, Frank atau asli bangsa Galia. Mereka semua keturunan imigran.

Michel Platini (68) bintang sepak bola terbesar yang pernah dimiliki Prancis, dia bukanlah asli Prancis. Ia terlahir di Joeuf, Lorraine Prancis dari ayah dan ibu asli Italia, Aldo dan Anna Piccinelli. Anna berasal dari provinsi Belluno di bagian tengah Italia. Sedangkan ayah Aldo, Francesco Platini kakek Michel, adalah imigran dari Agrate Conturbia di provinsi Novara Italia, dan menetap di Prancis hanya beberapa saat setelah Perang Dunia Pertama.

Platini salah satu pemain sepak bola terhebat sepanjang masa, dengan tiga kali meraih gelar Ballon d'Or, membawa Prancis juara Eropa (1984), dua kali semifinal Piala Dunia 1982 dan 1986, juga membawa klub Italia Juventus juara Piala Eropa (1984, 1985) dan selalu menjadi top scorer. Karir pun lengkap, dari pemain, manajer, organisator penyelenggaraan Piala Dunia 1998 Prancis.

Zinedine Zidane? Zidane (51) pemain dan pelatih tersukses di dunia kelahiran Marseille Prancis dan dibesarkan di wilayah tua dan bersejarah Prancis, La Castellane, kedua orang tuanya beragama Islam dan mereka berimigrasi dari Aljazair ke Prancis pada tahun 1954.

Usia 17 tahun sudah main sepak bola profesional di Prancis, Zidane dikenal mengenyam banyak prestasi dunia. Membawa Prancis juara Piala Dunia (1998) ketika Prancis menjadi tuan rumah, serta juara Eropa (2000). Zidane juga membawa klub raksasa Italia, Juventus meraih dua gelar Seri A, satu gelar di Liga Champions serta satu gelar La Liga ketika Zidane di Real Madrid Spanyol.

Kylian Mbappe? Mbappe (25) lahir di Paris dan dibesarkan di lingkungan lumayan kumuh di Bondy, Seine-Saint Denis (kini sekitar lokasi Stade de France tempat digelar Piala Dunia 1998). Dia juga anak imigran, ayahnya Wilfrid asal Kamerun dan ibu Fayza Lamari asal Aljazair asli dari wilayah Kabyle. Mbappe sama sekali bukan asli Frank, tetapi malah Afro-messopotamia.

Karir internasional Mbappe boleh dikata sangat cemerlang. Debut di tim nasional pada usia 18 tahun. Dan di Piala Dunia 2018, Mbappe tercatat sebagai pemain termuda Prancis yang mampu mencetak gol di Piala Dunia, dan hanya orang kedua di dunia setelah Pele -- sebagai remaja belasan tahun yang mampu mencetak gol di ajang puncak final  sepak bola Piala Dunia.

Meski tak berhasil membawa gelar juara Piala Dunia 2022, namun di final lawan Argentina Mbappe meraih gelar Sepatu Emas sebagai pencetak gol terbanyak di babak final, salah satunya malah hattrick (tiga gol berturut-turut).

Eropa Hitam

Puncak multikulturalisme di tim Les Bleus (kostum utama mereka biru) adalah Piala Dunia 1998, kebetulan Prancis tuan rumahnya. Prancis juara dengan sebagian besar pemainnya justru anak-anak imigran bahkan berkulit hitam.

Coba lihat kapten tim dan bintang Piala Dunia 1998, Zinedine Zidane yang berdarah Aljazair itu. Atau Lilian Thuram, pilihan utama bek kanan Les Bleus. Si hitam Thuram kelahiran Guadeloupe di wilayah jajahan Prancis di India Barat. Juga pemain bek tengah, Marcel Desailly, kelahiran Odenke Abbey, Ghana dari orang tua Ghana. Tetapi kemudian diboyong ke Prancis ketika ibunya menikah dengan Kepala Konsulat Prancis di Accra.

Gelandang Les Bleus, Christian Karembeu pun berkulit hitam. Dia kelahiran Kaledonia Baru wilayah jajahan Prancis di Pasifik. Youri Djorkaeff, salah satu top scorer Les Bleus, juga bukan asli Prancis. Djorkaeff kelahiran Lyon Prancis, akan tetapi ayah Polandia, ibunya Armenia. Patrick Vieira gelandang penyerang pasukan biru ini adalah juga orang kulit hitam, ia orang Senegal. Vieira jadi warga Prancis karena kakeknya pernah mengabdi sebagai tentara Prancis.

Bixente Lizarazu memang berkulit putih. Meski demikian, bek kiri Les Bleus ini bukan asli Prancis. Ia berdarah Spanyol Basque,. Tetapi kelahiran Saint-Jean de Luz, Prancis.

Yang putih asli Prancis (1998) itu hanya Laurent Blanc, Emmanuel Petit, Christophe Dugarry, Stephane Guyvarc'h, Didier Deschamps dan kiper Fabien Barthez...

Suasana "Eropa Hitam dan Putih" juga terjadi ketika Prancis menjuarai Kejuaraan Eropa 2000. Sukses Prancis menyandingkan juara Piala Dunia (1998) dan Juara Eropa (2000) ini disambut di seluruh Prancis sebagai euforia. Ribuan orang menyambut kemenangan ini di jalanan Prancis. Dan Prancis, yang bertahun-tahun selalu diwarnai pertentangan politik antara kanan (anti imigran) vs kiri (pro imigran) di pemerintahannya, nampak bersatu hanya karena kemenangan sepak bola.

"On Est Champions...," pekik mereka dalam lagu, "Kita Juara". Menyalakan kembang api, membunyikan terompet, klakson mobil, mengibarkan bendera Prancis dengan bangga seolah menang perang, ribuan orang membuka sampanye. Atau bernyanyi-nyanyi di tempat-tempat keramaian di jantung kota Paris seperti Place de la Concorde, serta Champs Elysees.

Prancis yang memang penduduknya multi-etnis, multi-kultural, multi ras, tiba-tiba bersatu melupakan pertentangan mereka. Hanya karena kemenangan sepak bola...

Tanpa Naturalisasi

Prancis di Eropa disebut-sebut sebagai "Firdausnya Para Imigran".  Apalagi, sampai tahun 1993, Prancis menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan asas ius soli berdasarkan tanah kelahiran. Bukan ius sanguinis seperti misalnya di Indonesia, juga Belanda, Jepang.

Maka, meski kaum imigran sekalipun, jika ia lahir di Prancis mereka adalah warga negara Prancis. Tetapi mengalirnya deras kaum imigran, terutama dari Afrika, Aljazair, Arab dan bangsa-bangsa lain ke Prancis agar anak-anak mereka bisa menjadi warga Prancis, mencuatkan berbagai problem sosial seperti pengangguran, pun melonjak. Tahun 1993, tidak lagi ius soli tanpa syarat, seperti masa pemerintahan sosialis, akan tetapi ius soli pakai syarat. Aturan lebih diperketat.

Dalam peraturan ius soli pakai syarat itu, mereka para imigran yang anaknya lahir di Prancis, ketika sudah berusia 18 tahun, diharuskan memilih kewarganegaraan. Pilih warga Prancis, atau pilih warga negeri asalnya. Diberi waktu, paling lambat 3 tahun setelah si anak berusia 18 tahun.

Mengalirnya kaum imigran ke Prancis terjadi terutama sekali ketika tokoh Sosialis, Francois Mitterand berkuasa sebagai Presiden Prancis terlama, 14 tahun dari 1981-1995. Kaum Sosialis memang pro imigran. Sebelum itu, Charles De Gaulle (1944-1946) kemudian (1959-1969) tidak pro imigran. De Gaulle keras terhadap imigran seperti umumnya pemimpin dan politisi golongan kanan (di parlemen duduk di deretan sisi kanan, sedangkan golongan kiri duduk di deretan sisi kiri parlemen Prancis).

Setelah Mitterand pun, kemudian berkuasa "penerus Gaullis" Jacques Chirac dari golongan kanan. Dan bergantian, golongan kiri dan kanan berkuasa. Sehingga kebijakan setiap kali berubah, dari Chirac (kanan) ke Lionel Jospin (kiri) lalu ke ultra kanan Jean Marie Le Pen yang sangat anti imigran. Bahkan Le Pen yang jadi Presiden Prancis (2011-2021) selalu mengatakan, "tim nasional sepak bola Prancis itu bukan Prancis...," sangking begitu ekstrem kanannya.

Jean-Marie Le Pen bahkan sempat mengumandangkan program ekstremnya, zero to immigration. Meski demikian toh sisa-sisa kaum imigran di Prancis tidak bisa dinolkan begitu saja. Prancis masih tetap surganya kaum imigran, multi etnis, multi kultural. Sampai kini.

Dibandingkan Indonesia, sebagai negara yang prinsip kewarganegaraannya lebih ketat. Selain asas ius sanguinis berdasarkan darah dan keturunan, Indonesia juga menerapkan syarat-syarat. Demikian juga, Belanda dan Jepang asasnya ius sanguinis.

Itu sebabnya, untuk menjadi atlet yang ingin memperkuat tim nasional Indonesia pun, harus memenuhi syarat kudu 'berdarah Indonesia' entah kakek atau nenek moyangnya. Dan menjadi warga negara Indonesia para keturunan itu kudu melalui proses naturalisasi, seperti juga sebaliknya jika orang Indonesia akan menjadi warga Belanda. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun