"Sehingga di kraton, mereka baru pertama kali boleh memegang keris saat sudah dewasa, ditandai saat sunat," dan tidak hanya keris. Mereka yang baru sunat di lingkungan kraton, baru boleh memakai blangkon (ikat kepala tradisional) pada saat sunat, sehingga seumur hidup akan sangat berkesan, kapan seseorang mengenal pertama kali keris di tangannya, serta blangkon di kepala.
"Sekarang anak-anak kecil (pada perayaan di sekolahan, misalnya) sudah pada pakai blangkon, pakai baju tradisional, pakai keris...," kata Kanjeng Noto. Untuk hal ini, di lingkungan kraton tidak terjadi.
Tradisi Baru Ngayogyan
Sebaliknya juga, seperti yang saat ini menjadi tradisi di seluruh Yogyakarta, setiap Kamis Pahing masyarakat wajib mengenakan baju tradisional, orang sering tidak mengetahui pranatan seperti ini. Walau memang, di masyarakat diperbolehkan menjalankan tradisi, tanpa pranatan ketat seperti di kraton.
"Sehingga, jika saya melihat ada lelaki dewasa mengenakan baju tradisional lengkap Jawi, tetapi tidak mengenakan keris? Kalau kita memakai pikiran di kraton: Jangan-jangan beliau ini belum sunat," kata Kanjeng Noto, disambut gelak ibu-ibu yang banyak hadir dalam seminar di KJ Hotel tersebut.
Supir-supir taksi di Yogya pun tahu akan aturan, bahwa setiap Kamis Pahing ada kewajiban di kantor-kantor, juga sekolah, mereka wajib mengenakan baju tradisional, ataupun batik. Atau kebaya jarik. Bahkan pada jam 10.00 semua wajib berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Keris merupakan kelengkapan busana lengkap Jawa. Sehingga akan menjadi lucu, seorang lelaki Jawa mengenakan baju tradisional lengkap Jawa, tetapi tidak menyengkelit keris di pinggang belakangnya...
Pangajab Pemesan Pusaka
Kanjeng Noto juga menuturkan, di lingkungan kraton itu pranatan soal keris memang lebih ketat. Lantaran, berkeris itu juga 'ada werdi' nya. Ada larangan dan awisan-awisan.
"Sekarang semua orang mencari keris lamen (keris-keris sepuh). Sehingga pemesanan terhadap keris baru hampir tidak ada. Karena demand menurun, maka (populasi) empu pun menurun," kata Kanjeng Noto. Padahal, idealnya, orang itu memiliki keris paling aman ya pesan sendiri keris baru.
Sebab, setiap keris itu memiliki 'pangajab'nya sendiri dari para pemesan dulu. Sehingga bisa terjadi, sebuah keris yang dibikin oleh orang tua yang menginginkan pintar menari, ketika berpuluh-puluh tahun kemudian dimaharkan, dan pemilik baru menghendaki keris pusakanya tersebut menjadi sipat kandel untuk kewibawaan, dan kekuasaan, misalnya.