Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kanjeng Noto: Sekarang Bakul Pun Bisa Tentukan Pusaka

8 Desember 2023   15:57 Diperbarui: 9 Desember 2023   15:28 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KPH Notonegoro Menantu HB X (paling kiri) dalam sebuah Seminar Keris di Yogyakarta. (Foto Tira Hadiatmojo)

Pusaka menurut Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro itu sangat personal. Ada yang punya nilai historis seperti banyak yang terdapat di kraton Ngayogyakarta, ada pula yang kita pemiliknya memang ingin menamai benda tersebut sebagai pusaka.

"Sekarang memang sudah bergeser. Pusaka, sekarang yang menamai bakule...," kata menantu dalem Sultan Ngayogyakarta, HB X, yang akrab disebut sebagai Kanjeng Noto ini. Siapa saja di masa kini bisa menamai benda tersebut sebagai pusaka...

Selain menjadi menantu dalem HB X, Kanjeng Noto suami putri ke-4 Sri Sultan, Gusti Kanjeng Ratu Hayu, beliau adalah juga Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Kridho Mardowo, departemen di  Kraton yang bertugas melestarikan dan mengembangkan kesenian termasuk  diantaranya karawitan, tari, ukir, batik dan lain lain.

Latar belakangnya, beliau sebenarnya seorang Ekonom yang bekerja di UNDP (di PBB) New York, dan lulusan Washington State University jurusan International Development. Dan lama bertugas di UNDP New York.

"Keris kraton, rata-rata sinengker. Sehingga disini saya tidak bisa sembarangan menunjukkan ini besinya, bilahnya. Semua ada pranatannya. Bahkan membahasakan keris pun ada pranatannya...," ungkap Kanjeng Noto.

Kata 'wangkingan' misalnya. Itu sebutan untuk keris bagi para pangeran di kraton, karena cara memakainya 'diwangking'. Dipakai di wingking (belakang). Sementara untuk para Tumenggung, cukup disebut 'duwung'. Apabila sowan nata di kraton, "dipun selehaken ing palungguhan." (diletakkan di tempat duduk. Tidak boleh disengkelit).

Kanjeng Noto mengatakan hal itu dalam sebuah Seminar yang bertema "Menyemaikan Keris di Yogyakarta" yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta bersama Sekber (Sekretariat Bersama) perwakilan paguyuban-paguyuban Yogyakarta, Rabu 6 Desember 2023 lalu di KJ Hotel Mantrijeron, Ngayogyakarta Hadiningrat.

Tidak Hanya Keris

Pusaka di Kraton Ngayogyakarta, tidak hanya berupa keris, tombak, pedang. Ada juga 'beksan' (tarian), seperti Bedhaya, yang umumnya hanya ditarikan oleh para putri keturunan raja yang masih perawan.

"Pusaka, yang menamakan ya panjenengan sendiri (raja sendiri). Bahkan di Indonesia, bendera merah putih (yang dijahit sendiri oleh Ibu Fatmawati) itu adalah Pusaka Merah Putih," kata Kanjeng Noto, yang siang itu berbicara untuk topik "Keris dalam Budaya Keraton".

Memegang keris, di lingkungan kraton Ngayogyakarta juga ada pranatan, aturannya. Seorang lelaki Jawa kraton, menurut Kanjeng Noto, pernah dicatat oleh Raffles (Gubernur Jendral Inggris di masa kolonial Inggris), di lingkungan kraton bisa berasal dari tiga hal. Yang pertama, dari orang tua, yang kedua dari mertua, yang ketiga punya sendiri yang diperoleh setelah dewasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun