Kata Petugas Partai atau Petugas Rakyat belakangan ini memang menjadi pergunjingan masyarakat umum. Tidak hanya di kalangan politik, akan tetapi juga di kalangan akar rumput. Kata-kata ini acap kali mengemuka setiap menyebut nama Bacapres Ganjar Pranowo.
Terminologi petugas partai atau petugas rakyat ini juga mengemuka saat bakal calon presiden Ganjar Pranowo tampil dalam talkshow "3 Bacapres Bicara Gagasan" -- sebuah acara yang dipandu oleh pembawa acara dan wartawan kondang,Â
Najwa Shihab dalam acaranya Mata Najwa on Stage di Grha Sabha Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Selasa (19/9/2023). Meski bukan acara resmi pemerintah untuk mempertemukan para bacapres, namun acara swasta ini dianggap sebagai pemanasan Pilpres 2024.
Ganjar juga sempat dicecar seputar pertanyaan Petugas Partai ini, di Yogyakarta. Bahkan Najwa sempat mempertanyakan soal Petugas Partai ini dengan olok-olok di kalangan sementara masyarakat tentang "Presiden Boneka". Yang dimaksud dengan "Presiden Boneka" ini tentunya dalam kaitan Presiden Joko Widodo, yang oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri berulang-ulang dalam berbagai kesempatan selalu diingatkan bahwa "presiden pun dia Petugas Partai".
Terminologi Presiden itu Petugas Partai kemudian menjadi perbincangan dimana-mana. Baik dalam kesempatan Talk Show di berbagai program televisi, maupun obrolan warungan.Â
Tentu, tidak salah bahwa politisi itu Petugas Partai, Presiden pun petugas partai. Akan tetapi kalau setiap kali menyinggung posisi presiden, apalagi mengunjuk Presiden Joko Widodo selalu diingatkan berulang-ulang tentang "presiden pun Petugas Partai", tentu saja hal ini bisa kontra produktif untuk PDI-P sendiri.
Sebenarnya buat apa terus menerus ditekankan bahwa Presiden pun itu petugas partai? Apakah ingin menunjukkan bahwa "presiden pun tidak akan ada apa-apanya tanpa peran partai"? Atau mau menekankan bahwa posisi Ketua Umum partai yang dulu mengusung presiden itu di atas Kepala Negara?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini banyak berkecamuk di tengah masyarakat kita, yang pada tahun-tahun terakhir ini semakin melek politik, dan berita-berita politik kini sudah menjadi menu sehari-hari kalangan masyarakat bawah, masyarakat warungan.Â
Setiap hari kita mendengar, rakyat pintar "menganalisa" politik yang lagi hangat, versi mereka. Analisa warungan ini tak kalah tajam dan kritis dibanding analisis para pengamat politik.
Kasus Wadas, Kendeng, Brexit