Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Kampanye Buruk Bagi Justice Collaborator

19 Januari 2023   16:44 Diperbarui: 19 Januari 2023   19:28 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Kompas.com/Kristianto Purnomo)

Kasus Sambo kini seperti memasuki awal antiklimaks peradilan yang ditunggu-tunggu masyarakat luas. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) bagi seorang "Justice Collaborator" yang justru lebih berat dari komplotan yang ikut merancang pembunuhan, menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat luas, apakah para jaksa ini pada masuk angin? Apakah ini pertanda bahwa mafia peradilan masih begitu kuat mencengkeram kehidupan hukum kita? Dan apakah satgasus di sekitar Sambo masih dominan?

Jelas ditayangkan langsung di televisi nasional yang disaksikan jutaan mata rakyat Indonesia, bagaimana kecewa ekspresinya Baradha Richard Eliezer saat mendengar tuntutan JPU bahwa dirinya dituntut 12 tahun penjara karena dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J yang menggemparkan itu.

Para "pendukung" Eliezer yang umumnya ibu-ibu (dan juga sebenarnya masyarakat luas) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada Selasa (17/01/2023) spontan menyerukan: Buuuuu...... ! Payah loh para jaksa. Lagi masuk angin, ya? Para JPU malah menuntut saksi pelaku -- yang membantu terbongkarnya berbagai kedok dan niat busuk para perancang pembunuhan yang notabene aparat bejat -- dengan hukuman lebih berat dari para anggota komplotan  yang mendorong terjadinya pembunuhan keji di rumah dinas seorang Inspektur Jendral, pada 8 Oktober 2022 silam.

Para komplotan penjerumus yang justru mendorong terjadinya aksi eksekusi keji terhadap diri Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J, yakni Ricky Rizal, supir pribadi Kuat Ma'ruf, dan juga Putri Candrawati isteri Sambo, dengan tuntutan hukuman penjara hanya lebih ringan, hanya 8 tahun. Alm Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J adalah asisten pribadi atau Aide de Camp (Adc) Inspektur Jendral Sambo sejak 2019 yang terbunuh di rumah dinas atasannya pada 8 Oktober 2022.

Sementara otak pembunuhannya, Irjen Ferdy Sambo dengan "hanya" hukuman penjara seumur hidup. Padahal Sambo telah menjerumuskan setidaknya 100 perwira di lingkungan Kepolisian diperiksa dan bahkan diadili, serta sebagian besar dipecat akibat ulah dan rekayasa pembunuhan oleh Sang Kadiv Propam. Dan tidak hanya memberi contoh buruk bagi seorang Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) -- sebuah super body di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Akan tetapi juga membuat citra Polri runtuh sampai ke titik terendah.

Tidak berlebihan jika tindakan Irjen Ferdy Sambo seorang Kadiv Propam Polri yang terlibat dalam pembunuhan berencana atas ajudannya sendiri, di rumah dinas, dan Sambo bahkan juga merusak jejak-jejak kejahatan (menyuruh bawahannya merusak hampir semua hasil rekaman kamera di tempat kejadian perkara, merekayasa seolah kasus pelecehan seksual padahal perencanaan pembunuhan, dan menyuruh bawahan tak bersalah seperti Richard Eliezer justru sebagai eksekutor), Sambo semestinya dituntut hukuman mati!

Peran Eliezer

Proses peradilan Kasus Sambo memang belum berakhir. Masih dalam tahap tuntutan jaksa, dan belum putusan Majelis Hakim. Akan tetapi sudah terlihat, betapa aparat peradilan yang  semestinya harus garang dan tegas terhadap aksi kejahatan yang melampaui rasa kemanusiaan ini, sudah terlihat begitu loyo. Atau menurut komentar luas di medsos... para jaksa penuntut umum pada masuk angin!

Para jaksa pada kasus Sambo, justru lebih melihat tindakan yang memberatkan yang dilakukan oleh Richard Eliezer, yakni sebagai eksekutor yang merampas nyawa Brigadir Yoshua. Padahal tanpa otak pembunuhan yang keji, Irjen Ferdy Sambo sebagai atasan berpangkan Irjen, dan juga para komplotan yang "menjerumuskan" anak kemaren sore Richard Eliezer (24 tahun) sebagai eksekutor, anak bawang yang masih berpangkat Bharada ini tak akan menembakkan pestolnya ke tubuh Brigadir J alias Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Sebagai yang terbawah pangkatnya, maka Bharada Richard Eliezer tak kuasa menolak perintah seorang jendral.

Juga ketika melihat salah satu "anggota komplotan" Putri Candrawati yang notabene adalah isteri Ferdy Sambo. Para JPU itu justru menetapkan tuntutan lebih ringan hanya delapan tahun lantaran Putri Candrawati (PC) dinilai "berlaku sopan selama persidangan dan tidak pernah dihukum...,"

Tetapi JPU tidak mempertimbangkan betapa PC ini telah membuat penahanan dirinya molor dengan berbagai dalih -- dari sulitnya meninggalkan anggota keluarga yang masih balita (padahal anak angkat, yang belum lama diadopsi) -- sampai menaku sakit terus-menerus, stress, sehingga memperlambat penahanan dirinya sebagai tersangka (lebih dari sebulan tertunda).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun