Berita pelarangan terbit Kompas diterima oleh Redaksi melalui telpon dari Kepala Penerangan Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah) Jaya pada 20 Januari 1978 malam itu, "berdasarkan instruksi atasan" bernomor TR/TLX-036/Gal/I/1978.
Yang bertanggung jawab atas pelarangan enam surat kabar dan satu mingguan berita itu, adalah Kopkamtib. Lembaga Kopkamtib atau Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, adalah lembaga ekstra yudisial semasa Orde Baru yang berwenang ambil keputusan menyangkut operasi pemulihan keamanan, serta melakukan koordinasi dan supervisi kegiatan operasi pemulihan keamanan.
"Tindakan pemerintah melarang terbitnya beberapa surat kabar merupakan peringatan keras dalam bentuk prevensi terhadap koran-koran tersebut," kata Sudharmono, yang bertindak selaku Menteri Penerangan Ad Interim. Sudharmono mengumumkan hal itu di televisi setelah ia diterima Presiden Soeharto di Istana Merdeka.
(Detil latar belakang pembreidelan dan pengumuman Menpen Sudharmono ini dimuat khusus oleh Kompas 6 Februari 1978, dua minggu berselang setelah koran ini diijinkan terbit kembali. Berita pembreidelan itu dimuat dalam sebuah "rubrik khusus" di halaman satu Kompas pojok kiri bawah, yang diberi banner "Dua Minggu Dalam Kilasan").
"Tindakan itu dilakukan karena pemerintah menilai pemberitaan surat kabar surat kabar itu dapat memperuncing keadaan. Kalau itu terus berlangsung akan dapat mengganggu stabilitas nasional," ungkap Menpen Ad Interim, Sudharmono.
"Atas pertimbangan itu, kata Sudharmono, Kopkamtib yang bertanggung jawab dalam bidang keamanan, perlu mengambil tindakan prevensi agar gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu (mahasiswa. Red) tidak menjalar terus dan juga tidak disiarkan oleh harian-harian tersebut. Karena penyiaran itu biasanya bisa menimbulkan suhu politik makin naik," kata Sudharmono pula.
"Ini merupakan kartu kuning untuk tidak sampai dicabut SIT (Surat Ijin Terbit) nya. Dan saya belum mencabut SIT," kata Sudharmono.
Selain lembaga ekstra yudisial seperti Kopkamtib yang waktu itu dipimpin Laksamana Sudomo, juga surat kabar setiap saat berada di ujung tanduk. Lantaran, surat kabar di era Orde Baru tidak hanya harus mengantungi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Akan tetapi juga kudu mengantungi dua surat ijin lain, yakni Surat Ijin Cetak (SIC) dan Surat Ijin Terbit (SIT). Dicabut ijin cetak, masih mungkin terbit kembali. Tetapi begitu dicabut Surat Ijin Terbit (SIT) yang dikeluarkan Departemen Penerangan? Habis sudah riwayat koran itu.
Dilarang diberitakan
Pers di era Orde Baru memang setiap hari dihantui berbagai larangan. Tak hanya dari tingkat Kopkamtib, akan tetapi juga berbagai dering telpon dari berbagai kalangan penguasa, seperti Kapuspen ABRI, Menteri Penerangan, sampai penguasa militer setingkat Pangdam, Kodim dan Koramil.
Sebegitu seringnya telpon Redaksi berdering, sampai di sebuah papan tulis di Redaksi Kompas ditempelkan kertas panjang dari rol mesin cetak, berisi tulisan dari catatan dering telpon larangan yang berasal dari penguasa Orde Baru dari berbagai tingkatan. Tulisan larangan yang ditempel di papan tulis, mencapai lebih dari dua meter panjangnya, ditulis tangan pakai supidol permanen...
Edisi terakhir Kompas 20 Januari 1978 sehari sebelum dibreidel, ternyata memang ada yang "melanggar" larangan-larangan seperti terpampang di kertas rol di papan tulis Redaksi tersebut. Tertulis cukup menyolok di halaman I Kompas (20/01/1978), berita tentang aksi mahasiswa yang jelas-jelas dilarang diberitakan. Berita itu berjudul "Suara Berbagai Kelompok Mahasiswa". Merupakan berita rangkuman dari berbagai aksi mahasiswa dari Semarang, Surabaya, Bandung, Jakarta dan daerah lain -- dengan kode wartawan berupa inisial (aj/rh/ms/sts/mm/pat). Isinya ternyata 'menggelitik telinga penguasa'.