[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Api terlihat sesaat setelah sebuah roket yang dilancarkan militer Israel menghantam sebuah gedung di kota Gaza, 9 Juli 2014. Setidaknya 24 warga Palestina tewas dalam serangan tersebut. (AFP PHOTO / THOMAS COEX)"][/caption]
Aksi mutakhir pengeboman Israel yang menewaskan lebih dari 160 warga Palestina di Gaza sebenarnya berawal dari penculikan yang menimpa tiga remaja Israel Eyal Yifrach, Naftali Fraenkel, dan Gil-Ad Shaer pada 12 Juni 2014 lalu. Yifrach (19) adalah pelajar di Hebron, sedangkan Fraenkel (16) adalah remaja pelajar Kfar Etsion di Tepi Barat berkewarganegaraan Israel dan AS, sementara Gil-Ad Shaer (16) juga seorang pelajar dari pemukiman Yahudi di Talmon.
Aksi penculikan tiga pelajar Israel itu memicu operasi pencarian yang dilakukan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di bawah sandi "Operasi Jaga Saudara" guna mencari keberadaan korban penculikan. Selama 11 hari operasi, Israel menangkap setidaknya 350 warga Palestina – termasuk hampir seluruh pemimpin garis keras Palestina, Hamas, di Tepi Barat. Lima warga Palestina tewas dalam operasi tersebut.
Tiga hari setelah penculikan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menuduh bahwa aksi penculikan itu didalangi Hamas, yang tentu saja dibantah oleh Hamas. Presiden dari pemerintah Palestina bersatu (termasuk Hamas dan organisasi berseberangan Fatah serta fraksi independen lainnya), Mahmoud Abbas kemudian berkilah bahwa Hamas tidak berada di balik aksi penculikan tiga remaja Israel tersebut.
Dua pekan berikutnya, Agen Keamanan Israel (ISA) merilis dua tersangka pelaku penculikan. Namun baik ISA maupun pihak Otoritas Palestina sama-sama mengungkapkan bahwa kedua tersangka penculik itu hilang semenjak malam di hari penculikan terjadi.
Delapan belas hari setelah penculikan, pada 30 Juni 2014, tentara Israel menemukan mayat ketiga pelajar itu di sebuah lapangan di Barat Laut Hebron. Dari temuan itu disimpulkan, bahwa ketiga pelajar itu tewas dibunuh hanya beberapa saat setelah diculik. PM Netanyahu pun bersumpah akan membalas aksi penculikan pelajar itu.
Dua hari kemudian, seorang pelajar Palestina Abu Khudeir (17) juga ditemukan tewas di Jerusalem, Rabu 2 Juli 2014, diduga ia lebih dulu diculik di jalanan kota tersebut. Sebuah aksi tindakan balas penculikan, dan pembunuhan yang bahkan memancing kecaman keras dari Menlu AS John Kerry.
“Sungguh menyedihkan, melihat kenyataan seorang anak tak berdosa diculik di jalanan, dan kemudian nyawanya tercerabut dari keluarganya begitu saja,” kata Menlu AS, dalam pernyataan kecamannya, “aksi balas dendam hanya akan mengeruhkan situasi yang sudah rawan meledak serta emosional seperti itu,” kata John Kerry pula, seperti dikutip Reuters.
Roket Dibalas Peluru Kendali
Malam hari setelah ditemukannya remaja Palestina Abu Khudeir, yang tewas setelah diculik, kubu pejuang militan Hamas menghujani wilayah Israel dengan 9 roket mortir. Tiga di antara roket mortir ini merusakkan pemukiman Yahudi di Sderot. Sehari kemudian, Israel balas melakukan serangan udara, menggunakan peluru kendali dengan target-target Hamas di Gaza.
Dan serangan Angkatan Udara Israel ini adalah hanya awal dari serangan yang lebih massif, di bawah kode “Operasi Pelindung Ujung”, yang resminya mereka mulai bombardir di Gaza sejak 8 Juli 2014 lalu. Sebuah operasi dengan skala yang lebih besar, dan jelas mulanya terpicu oleh aksi penculikan terhadap remaja Israel.
Kantor berita Reuters bahkan mengungkapkan bahwa untuk mencari tiga remaja Israel yang diculik itu Israel telah melancarkan 387 operasi serangan di seantero wilayah Tepi Barat, dan membalas setidaknya 15 kali serangan udara (sekarang tentunya lebih), serta tercatat menewaskan ratusan jiwa penduduk Palestina. Sebuah aksi yang memancing kecaman keras terhadap Israel, dari seluruh penjuru dunia.
Keruwetan Palestina
Palestina sendiri, di dalam tubuhnya sebenarnya juga didera konflik internal, antara dua kubu berseberangan, yakni fraksi garis keras Hamas dan fraksi moderat Fatah. Konflik keras antara kedua fraksi Palestina ini juga disebut sebagai “Perang Saudara Palestina” dimulai tahun 2006 sampai 2008. Lokasi pertarungan mereka, mayoritas terjadi di Jalur Gaza, saat tahun 2006 itu Hamas memenangi pemilu legislatif Palestina dan menguasai lokasi tersebut.
Ketegangan antara dua fraksi Palestina itu sebenarnya bermula pada 2005, setelah meninggalnya pemimpin besar Palestina, Yasser Arafat (11 November 2004) dan makin menajam setelah Hamas memenangi Pemilu Palestina 2006. Di kalangan rakyat Palestina, konflik antara sesama saudara ini disebut sebagai “wakseh” yang berarti “merusak atau roboh, yang disebabkan oleh kerusakan akibat perbuatan sendiri”.
Konflik sesama saudara ini dipicu perbedaan sikap, karena Hamas tetap bersikap keras dan menolak sama sekali keberadaan Israel, sedangkan Fatah lebih kompromistis – mendiskusikan solusi “keberadaan dua bangsa, untuk mengatasi konflik Israel dan Palestina”.
Adapun eksistensi Palestina, di dunia internasional dikenal dan diakui sebagai Otoritas Palestina (PA) yang memerintah sebagian Tepi Barat dan seluruh Jalur Gaza, dibentuk sejak 1994 berdasarkan persetujuan Oslo (Norwegia) antara pihak PLO (Organisasi Pembebasan Palestina, pimpinan mendiang Yasser Arafat) dengan Israel.
Otoritas Palestina, saat ini dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas dari Fraksi Fatah, dengan Perdana Menterinya Salam Fayyad, juga dari Fraksi Fatah. Palestina atau Otoritas Nasional Palestina, boleh dikata adalah sebuah negara berbentuk Republik Parlementer yang diproklamasikan di Algeria (Aljazair) 15 November 1988.
Berbeda dengan negara-negara umumnya di dunia, yang mengumumkan kemerdekaannya setelah mendapat “konsesi politik” dari negara penjajah. Maka Palestina mengumumkan eksistensinya bukan lantaran diberi konsesi politik negara lain, melainkan demi mengikat sekitar 4 juta jiwa kelompok etnis Palestina kedalam satu wadah, yakni Palestina. Sewaktu diumumkan 1988, Yasser Arafat dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) nya mereka mengklaim ibu kota negara Palestina adalah Jerusalem Timur.
Palestina saat ini di bawah Mahmoud Abbas, secara de iure adalah “Palestina Bersatu” lantaran Hamas yang dulunya menguasai Gaza, kini “bergabung” dalam pemerintahan Palestina di bawah Abbas. Pada April 2014 baru lalu, kedua fraksi bertikai Hamas dan Fatah bersepakat menggelar pemilu. Dan kompromi itu berlanjut dengan upaya mereka membentuk pemerintahan bersatu.
Meski demikian, sebenarnya de iure keduanya masih diam-diam bertikai. Kepala Negara (yang resminya dipegang Mahmoud Abbas) sebenarnya masih belum sepenuhnya diterima kubu Hamas, yang lebih memilih Aziz Duwaik yang kini menjadi Ketua Dewan Legislatif Palestina – karena Hamas memenangi Pemilu.
Sedangkan kekuasaan pemerintahan Mahmoud Abbas? Secara de facto mereka sebenarnya hanya menguasai wilayah Tepi Barat. Sementara Jalur Gaza tetap saja dikuasai Hamas, di bawah mantan Perdana Menteri Gaza (Hamas), Ismail Haniyeh – setelah Hamas merebut kekuasaan atas Gaza dari Otoritas Palestina pada 2007.
Apakah setelah adanya gempuran di Gaza yang menewaskan ratusan jiwa akhir-akhir ini, pemerintah Palestina kembali akan pecah? Mahmoud Abbas, Presiden Palestina masih pasang badan, bahwa "Hamas tidak ada di balik aksi penculikan" yang memicu konflik itu. Yang pasti, upaya Fraksi Fatah untuk mencari “solusi dua negara” akan kembali menjadi tersendat. Keruwetan masih belum terurai. Lantaran baik Hamas maupun Fatah, tetap memiliki sikap berbeda. Hamas di garis keras tetap menolak sama sekali keberadaan Israel, sedangkan Fatah di bawah Mahmoud Abbas – tetap bersikap, mendiskusikan solusi “keberadaaan dua bangsa, dan mengatasi konflik Palestina-Israel..,”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H