Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Voluntarisme vs Mobilisasi? Menang Tiga Jari

23 Juli 2014   08:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:30 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1406055218682975197

[caption id="attachment_334769" align="aligncenter" width="300" caption="Berebut Motret Salam Tiga Jari (Foto: Tira Hadiatmojo)"][/caption]

Pengalaman sebulan larut dalam suasana Pemilu Pilpres 2014 sungguh merupakan pengalaman yang tak bakal terlupakan sepanjang sisa hidup ini. Apalagi, ikut merasakan denyut politik, bagaimana rasanya nonton dua maestrodi bidangnya bertarung ketat. Antara sang Maestro Voluntarisme versus Jagoan Mobilisasi massa di Pilpres. Sungguh sebuah pengalaman mendebarkan, penuh waswas, tetapi nikmat rasanya.

Ketika ada beberapa teman di sosial media mencolek datang ke Gelora Bung Karno suatu Sabtu petang (5/7/2014) di hari terakhir Kampanye Pilpres 2014, untuk nonton Konser Musik “Dua Jari”, hati ini pun tergerak. Kapan lagi merasakan getaran sejarah dari jarak dekat? Hayo ajah berangkat...

Konser dimulai pukul 14.00. Aku dan istriku yang mungil pun bergegas ke ring stadion Senayan sedari tengah hari, sebelum jam 13.00. Dan antri pakai gelang tangan dari kertas (tanda karcis gratis agar bisa berduyun-duyun, untel-untelan di “kelas festival” di depan panggung). Sebelum pukul 14.00 sudah mulai merangsek ke dekat panggung. Tak jauh dari kibaran panji-panji teman-teman “Lamongan” penggemar pemusik Slank yang dekil-dekil, sekitar empat meter saja dari tubir panggung.

Apakah kami dibayar untuk kampanye? Nggak juga. Kami datang atas kerelaan sendiri, dari cari parkir kendaraan kami di sebuah tempat yang cukup jauh dari stadion, sampai beli atribut-atribut kampanye dari teman-teman kaki lima. Dari bros Jokowi-JK sampai kaus oblong kampanye. Maklumlah, kami bukan orang partai. Apalagi kaki tangan para capres-cawapres. Bukan pula kami ini tim sukses mereka. Kami benar-benar voluntaris, yang datang sukarela ke Senayan untuk menyokong perjuangan sang Maestro Voluntarisme Jokowi menghadapi Jagoan Mobilisasi massa di Pilpres, Prabowo Subianto.

Debur musik Slank

Ketika bunyi musik mulai berdebur di panggung, dengan tampilan penyanyi Siti Badriyah dan Fitri Karlina – lengkap dengan kacamata Rayban mereka yang kacanya berwarna menyolok – keadaan di depan panggung pun mulai bergolak. Apalagi ketika grup Slank berdebur. Kontan para penggemar Slank – yang biasa disebut Slankers, dan datang dari seantero kota di Jawa itu – langsung merangsek ke pinggir panggung, berlonjakan, menggusur kami.

Tak perlu marah. Lantaran kita sesama voluntaris, yang sama-sama datang ke Senayan dengan rela hati. Mereka melonjak-lonjak di pundak-pundak kami. Maka , lonjakan mereka pun memaksa kami ikut terguncang. Kami pun mau tak mau harus ikut melonjak-lonjak, kalau nggak mau terlibas lonjakan mereka. Sama-sama melonjak-lonjak. Sama-sama berkeringat, sama-sama bau matahari. Lantaran memang hawa di depan panggung cukup pengap dan terik.

Huaduh. Rupanya jadi rakyat di depan panggung itu memang susah payah. Harus rela kepanasan, pengap, badan bau matahari, dan tak bisa banyak berkutik selain harus terus berdesak, dan seringkali harus mau melonjak-lonjak. Sementara helicam – kamera berputar di atas kepala kami – terus-menerus naik-turun menyorot kami yang berdiri lebih dari tiga jam, berhimpitan, berlonjakan...

Apa yang terasa, ketika ternyata Jokowi yang ditunggu publik tampil berlari di panggung? Berdebur hati. Bukan lantaran melihat si kerempeng yang populer itu. Akan tetapi lantaran seluas-luas mata memandang, yang terlihat hanya lautan manusia. Mereka semua mau nonton Jokowi. Mau motret? Pemandangan ke panggung pun dijulangi lengan-lengan yang sama seperti juga niat kami, rame-rame pada motret pakai kamera ponsel. Apalagi mau potret narsis. Selfie? Gimana motretnya dalam himpitan ribuan orang?

Voluntarisme Versus Mobilisasi

Ketika Prabowo mengucapkan pidatonya yang berapi-api dari markas koalisi Merah Putihnya di Polonia – saat di KPU tengah menyelesaikan penghitungan Real Count (masih kurang empat provinsi lagi, dari total 33 provinsi) – dan menyatakan dirinya “mundur dari proses Pilpres yang masih berjalan” serta “menolak hasil pilpres yang menurutnya penuh kecurangan”,sungguh mula-mula pidatonya itu membuat kami galau. Benar-benar kami, rakyat, dibuat Prabowo galau. Bagaimana proses selebrasi pesta rakyat lima tahunan yang sudah hampir sampai di penghujung, tiba-tiba harus ia hentikan begitu saja?

Rupanya, itulah awal sebuah sejarah. Prabowo rupanya juga memainkan bagian dari sebuah proses demokrasi yang tengah berjalan dalam Pilpres ini. Justru aksinya yang tak pernah ada preseden sebelumnya dalam sejarah politik di Indonesia itu, adalah sebuah tantangan baru dari apa yang dinamakan proses rakyat Indonesia berdemokrasi.

Apakah Pilpres menjadi terhenti, lantaran Prabowo berhenti? Ternyata justru tidak demikian. Proses Pilpres rupanya justru melaju. Lantaran, semua tahapan Pemilu Presiden 2014 itu sudah hampir semua dijalani. Dari awal dideklarasikan capres-cawapresnya, kampanye penuh serangan dan tangkisan serangan bertubi-tubi, sampai saat mencoblos. Dan bahkan penghitungan suara pun nyaris paripurna.

Dan ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan Jokowi dan Jusuf Kalla dinyatakan sebagai pemenang Pilpres 2014? Itu juga dinamika baru. Bagaimana sebuah lembaga yang namanya KPU, ternyata menjadi wasit penentu arah perkembangan negeri ini – setidaknya dalam lima tahun ke depan.

Dan perlu dicatat tebal-tebal, bahwa KPU di Pilpres 2014 kali ini juga menebarkan tradisi baru, yakni secara terbuka mengekspose ke publik secara “real time”, formulir C1 yang selama ini seolah disakralkan, disembunyikan untuk dibuka pada saat-saatmenentukan di penghitungan akhir, guna “menghakimi” hasil Quick Count yang serta-merta muncul sesaat selesai coblosan.

Ekspose formulir C1 ini sungguh dipuji banyak kalangan, sebagai sebuah upaya keterbukaan baru sebuah pemilu Indonesia. Sebuah pemilu, yang transparan dan biasa diakses info hasil suaranya oleh seluruh rakyat Indonesia, tanpa ‘tedeng aling-aling’ lagi. Terima kasih, KPU...

Alhasil, selain kami diberi kesempatan untuk berdesak-desakan nonton Slank, dan berjingkrak bersama para Slankers di GBK (Gelora Bung Karno), kami pun diberi kesempatan untuk menyaksikan denyut politik baru demokrasi di negeri ini. Bahwa kali ini, Voluntarisme yang menang lawan Mobilisasi. Dan tentu, tak menutup kemungkinan bahwa di masa datang, giliran Mobilisasi yang menang.

Di Pilpres kali ini, rupanya memang tengah merebak luas, semangat Voluntarisme, semangat kesukarelawanan. Bukan semangat prajurit bayaran. Sebuah semangat kesukarelawanan, yang menurut pemikir Jerman Ferdinand Tönnies (1855), bertumpu pada kehendak untuk berbuat baik dan benar. Bahwa kehendak atas apa yang dianggap baik dan benar menjadi dasar paling fundamental dalam pengambilan keputusan. Bukan semata-mata nafsu atau keinginan untuk berkuasa..

Sembari meneruskan pesan Sang Maestro Voluntarisme, saat mempidatokan kemenangan Pilpresnya di sebuah kapal phinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara Selasa malam kemaren, usai keputusan KPU atas siapa yang memang Pilpres. “Inilah saatnya kita bergerak bersama,” kata Jokowi, dalam pesannya di atas kapal phinisi.

“Mulai sekarang, petani kembali ke sawah. Nelayan kembali melaut. Anak-anak kita kembali ke sekolah. Pedagang kembali ke pasar. Buruh yang bekerja, kembali ke pabrik. Dan karyawan kembali bekerja di kantor,” kata Jokowi pula dalam pidato.

“Lupakanlah nomorsatu. Lupakanlah nomor dua. Marilah kini kita kembali pada Indonesia yang satu. Indonesia Raya. Kita kuat, karena kita bersatu. Kita bersatu, karena kita kuat. Salam tiga jari! Persatuan Indonesia....,” kata Jokowi. Hidup, sukarelawan.... *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun