[caption id="attachment_334814" align="alignnone" width="300" caption="Koran-koran Pagi Ini Soal Jokowi-Prabowo"][/caption]
Apa kata koran pagi ini soal peristiwa tindakan Prabowo Subianto yang menyatakan sikap tidak menerima proses Pilpres dan menarik diri? Ada yang menyesalkan tindakan Capres nomor satu justru pada saat-saat terakhir penghitungan suara hampir usai ini, dinilai mencederai proses demokrasi. Namun yang bulat-bulat diberitakan surat-surat kabar pagi ini, meski keputusan KPU diambil tanpa kehadiran Capres-Cawapres nomor satu, penetapan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai pemenang Pilpres 2014 adalah sebuah kemenangan rakyat yang sah.
Aksi Prabowo Subianto yang menarik diri dari proses rekapitulasi suara di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Selasa petang itu sebagai “tidak memberi contoh yang baik bagi publik, karena mengabaikan mekanisme dan tak menghormati suara rakyat,” demikian Koran Tempo, mengutip ucapan pengamat politik tata negara, Ramlan Surbakti. Meski menurut pengamat, pasal pidana UU Pilpres mungkin tak berlaku pada kasus pemilu satu putaran, namun tindakan Prabowo – yang konon dilakukan karena ia menemukan kecurangan massif dan ia nilai sistemik pada pelaksanaan Pilpres 2014 kali ini, Prabowo bisa kena sanksi sosial.
Sementara harian Kompas, memberitakan bahwa saat rapat atau saat Prabowo memberikan pernyataan penolakan Pilpres, cawapres Hatta Rajasa tidak tampak hadir. Surat pernyataan sikap Prabowo-Hatta atas proses rekapitulasi Pilpres 2014 yang dibacakan Prabowo itu juga hanya ditanda-tangani Prabowo. Menurut harian Kompas, ini untuk kedua kalinya Hatta tidak hadir dalam rapat penting tim Prabowo-Hatta, setelah pilpres. Sebelumnya hari Minggu (20/7), Hatta juga tidak hadir saat Prabowo rapat dengan pimpinan partai dalam Koalisi Merah Putih.
Sedangkan Media Indonesia, dalam Editorialnya menulis, kemenangan pasangan nomor urut 2 Jokowi-Jusuf Kalla itu pun tak lantas terdelegitimasi, meskidi saat-saat terakhir Prabowo tiba-tiba menolak proses rekapitulasi hasil suara Pilpres. Kemenangan Jokowi-JK tetaplah konstitusional karena diraih lewat cara-cara konstitusional.
Keabsahan kemenangan Jokowi-JK itu juga dilaporkan surat kabar Koran Jakarta, yang mengutip komentar anggota KPU, Hadar Nafis Gumay, yang mengatakan aksi walk out para saksi dari Capres-Cawapres Prabowo-Hatta dari rapat pleno rekapitulasi di KPU – atas perintah Prabowo Subianto dari markas Koalisi Merah Putih di Polonia – juga dinilainya tak akan mengurangi keabsahan penetapan hasil pilpres.
Sementara Warta Kota, melalui analisis Pengamat Politik dari Universitas Pajajaran, Firman Manan di halaman depan, mengatakan bahwa pengunduran diri pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dari pelaksanaan Pilpres 2014 dan sekaligus menolak hasil rekapitulasi Pilpres, sebagai “telah mencederai proses dan semangat demokrasi”.
Sikap yang diambil Prabowo, menurut Firman Manan di Warta Kota, telah keluar dari mekanisme demokrasi dan menodai nilai-nilai demokrasi yang menjiwai proses pilpres. Bahkan, tulisan Firman Manan, sikap Prabowo tersebut “merugikan bagi upaya pembelajaran demokrasi di Indonesia, serta berpotensi menimbulkan tindakan yang keluar dari nilai demokrasi..,”
Implikasi Penolakan Prabowo
Pengunduran diri Capres Prabowo, disorot Guru Besar Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Saldi Isra – dalam rubrik Opini di harian Kompas Rabu hari ini – perlu dilihat lebih jelas lebih lanjut lagi, apa implikasinya.
Saldi Isra menulis, bahwa pada saat partai politik atau gabungan partai politikmendaftarkan bakal pasangan calon ke KPU, wajib menyerahkan surat pernyataan dari bakal pasangan calon, bahwa mereka tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon – seperti tercermati dari Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU No 42/2008). UU ini dimaksudkan untuk mengantisipasi akan adanya manuver berupa pengunduran diri Capres-Cawapres.
Dan tidak hanya itu. Pasal 22 Ayat (1) UU No 42/2008, seperti dikutip Saldi Isra, juga menegaskan bahwa partai politik atau gabungan partai politik “dilarang menarik calonnya dan/atau pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU. Tidak hanya partai politik. Pasal 22 Ayat (2) UU No 42/2008 menegaskan bahwa “salah seorang calon dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU,”
Pengunduran diri, demikian Saldi Isra, dapat dipastikan menggangu waktu penyelesaian tahapan pilpres yang tersisa. Karena itu, pembentuk undang-undang mengancam dengan ketentuan pidana. Misalnya, kutip Saldi Isra, pasal 245 Ayat (1) UU No 42/2008 yang menyatakan, bahwa setiap calon presiden atau wakil presiden yang “dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan calon sampai dengan dengan pemungutan suara putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 60 bulan serta denda paling sedikit Rp 25 milyar, dan paling banyak Rp 50 milyar."
Bahkan menurut Pasal 246 Ayat (1) UU No 42/2008, apabila pengunduran diri sengaja dilakukan calon atau pasangan calon setelah pemungutan suara putaran pertama sampai dengan putaran kedua, mereka diancam pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit Rp 50 milyar dan paling banyak Rp 100 milyar. Ancaman yang sama juga ditujukan kepada pimpinan partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan calon atau pasangan calon.
Terkait dengan kemungkinan penjatuhan pidana terhadap Prabowo, demikian Saldi Isra, memang ada di wilayah yang diperdebatkan. Karena langkah Prabowo ini dilakukan setelah pemungutan suara. Secara tekstual, tulis Saldi Isra, pengunduran diri yang dapat dipidana adalah yang dilakukan setelah pendaftaran calon, atau setelah pemungutan suara putaran pertama. Secara kasat mata, demikian Saldi Isra, pengunduran tidak terjadi setelah penetapan pasangan calon dan Pilpres 2014 hanya satu putaran, sangat mungkin Prabowo mengelak dari kemungkinan penjatuhan pidana...
Apapun konsekuensi dan implikasi pengunduran diri Prabowo-Hatta ini tidak menyurutkan KPU untuk menetapkan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai Capres dan Cawapres terpilih dalam Pilpres 2014 kali ini. Dan rakyat Indonesia pun tentunya menerima, kedatangan pemimpin baru bangsa yang diharapkan akan mewujudkan harapan-harapan baru dalam lima tahun ke depan. Selamat datang, Presiden Republik Indonesia ke-7, Insya Allah... *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H