Siapa yang tak kenal Jakarta? Ibukota negara kita yang dinobatkan sebagai pusat dari segala aktivitas di Indonesia, kota super metropolitan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2014, Jakarta memiliki jumlah penduduk mencapai 10 juta orang dengan kepadatan penduduk yang sangat fantastis yaitu sebesar 15.234 Km2. Dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi tersebut, tentu berbagai masalah tumbuh subur di Ibukota yang salah satunya adalah masalah transportasi, masalah yang tak asing lagi di telinga semua orang. “Macet”, begitulah orang-orang menyebutnya.
Entah sudah berapa banyak pakar/ahli baik dari dalam maupun luar negeri yang mencetuskan berbagai solusi untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Entah sudah berapa banyak pasangan calon pada pemilihan daerah di Jakarta yang menjanjikan untuk menuntaskan permasalahan ini. Entah sudah berapa banyak kebijakan yang diambil oleh pemerintah sampai saat ini. Namun, apakah kemacetan di Ibu kota sudah berakhir saat ini? Lalu, salah siapa?
Kambing hitam pun kini mulai dicari-cari untuk bisa disalahkan yang selalu mengarah kepada pemerintah yang dinilai tak sanggup untuk mengatasi kemacetan di Ibukota. Lalu, Apakah pemerintah sepenuhnya bersalah dan wajib bertanggung jawab atas permasalahan ini?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2014, tercatat jumlah kendaraan bermotor di Jakarta sudah mencapai 17.523.967 kendaraan dengan rata pertumbuhan lima tahun terakhir sebesar 9.93 persen pertahunnya. Sementara panjang jalan yang tersedia di Jakarta hanya tersedia 6.956.842,26 meter yang berarti bahwa setiap satu kendaraan bermotor hanya memiliki ruang sebesar 0.39 meter atau jika dibandingkan dengan luas jalan di Jakarta yaitu sebesar 48.502.763,16 meter, maka setiap satu kendaraan bermotor memiliki ruang sebesar 2.76 meter. Berdasarkan data tersebut, tak heran jikalau Jakarta selalu menjadi ratunya macet.
Jika melihat fakta-fakta tersebut, sebenarnya perluasan lahan untuk jalan memang dapat menjadi salah satu solusi bagi pemerintah dalam mengatasi kemacetan. Namun sepertinya hal itu bukanlah merupakan kebijakan yang tepat bagi pemerintah karena terbatasnya lahan yang tersedia di Ibukota. Tak mungkin dong kita digusur! Malah masalah baru yang akan muncul.
Berbagai kebijakan pun telah dibuat oleh pemerintah sebagai bentuk perhatian dan tanggung jawab atas permasalahan ini seperti misalnya pemberlakuan jalur 3 in 1, membangun under pass, jalan tol dan fly over, jalur khusus bus, pemberlakuan satu jalur pada jam-jam tertentu, pelarangan penggunaan kendaraan pribadi maupun kendaraan dinas operasional baik roda empat maupun roda dua bagi Aparatur Sipil Negara di lingkungan pemprov DKI Jakarta pada hari jumat pertama setiap bulan dan berbagai kebijakan lainnya. Selain itu, pemerintah juga telah menyediakan berbagai sarana transportasi publik berskala massal seperti Bus Transjakarta, Angkutan terintegrasi busway, commuter-line, bus sekolah gratis dan yang sedang dibangun adalah Mass Rapid Transit (MRT) sebagai usaha mengurangi kemacetan di ibukota. Lalu, kenapa masih terjadi kemacetan?
Jika kita mau melihat dari sudut pandang yang lain, kitalah sebagai masyarakat yang sebenarnya menjadi kunci utama dan yang paling bertanggung jawab dalam penyelesaian permasalahan kemacetan yang terjadi di Ibukota. Seperti data yang telah dipaparkan sebelumnya, kemacetan di Jakarta terjadi dikarenakan tingginya jumlah kendaraan bermotor yang tidak diimbangi dengan ketersedian jalan. Pengurangan penggunaan kendaraan bermotor adalah solusi yang paling efektif. Sudah saatnya kita mengesampingkan kenyamanan pribadi kita dan beralih untuk menggunakan transportasi publik yang tidak hanya bus transjakarta ataupuncommuter-line, melainkan juga mikrolet, metromini, kopaja, bajaj dan bahkan layanan ojek online.
Jika dilihat dari segi kenyamanan dan waktu, memang sarana transportasi kita memiliki banyak sekali kekurangan. Seperti misalnya bus Transjakarta yang dinilai jumlah armadanya tidak memadai sehingga pada jam-jam sibuk menimbulkan antrian yang panjang dan waktu tunggu yang cukup lama. Apalagi bagi mereka yang tak terbiasa berdesak-desakan didalam bus, akan enggan untuk menggunakannya. Sehingga kita memang tak bisa menyalahkan sepenuhnya bagi mereka yang enggan memilih transportasi publik dan kemudian tetap bersikeras menggunakan kendaraan pribadi. Jika memang demikian, jadikanlah sepeda motor sebagai pilihan utama dan mobil sebagai pilihan terakhir bagi mereka yang hanya berpenumpang kurang dari tiga orang. Tetapi tetap, penggunaan sepeda motor adalah pilihan paling terakhir jika memang sarana transportasi umum tidak dapat digunakan. Karena jika dibandingkan mobil, sepeda motor membutuhkan ruang jalan yang lebih sedikit dan penggunaan sepeda motor jauh lebih hemat karena 1 liter bersin pada sepeda motor mampu mencapai berpuluh-puluh kilometer.
Selain itu untuk mengatasi permasalahan kemacetan di ibukota, juga dibutuhkan sikap dan kesadaran dari kita masyarakatnya. Patuhilah rambu-rambu lalu lintas, menorobos lampu merah hanya akan membuat deadlock yang bisa membuat kemacetan. Jangan parkir atau berhenti sembarangan karena tak jarang kemacetan terjadi karena banyak mobil yang parkir dan berhenti sembarangan. Jangan mengambil hak pengguna bus transjakarta dengan masuk ke dalam jalur busway karena akan membuat kemacetan kecil di dalam jalur busway yang mengakibatkan tidak tepat waktunya bus tiba dan menyebabkan penumpukan penumpang pada shelter bus. Jangan berjualan di atas ruas jalan (dan bahkan ada yang sampai mengambil hampir setengah ruas jalan umum). Dahulukan transportasi publik karena banyak yang tidak sabar berbelok ketika lampu hijau sehingga bus tidak memiliki kesempatan untuk jalan.
Percayalah, sebagus apapun kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. Secanggih apapun sarana transportasi umum yang disediakan oleh pemerintah. Jika kita sebagai masyarakatnya tidak ada kesadaran dan tidak mendukung apa yang diupayakan pemerintah, maka setiap permasalahan yang ada pasti tidak akan pernah dapat terselesaikan.
“Jangan tanyakan apa yang negaramu berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu.” ~ John F. Kennedy.