Mohon tunggu...
Jimmy Ponty Pontoan
Jimmy Ponty Pontoan Mohon Tunggu... -

Lahir di Manado, belajar filsafat pada seminari tinggi filsafat seminari pineleng, Manado, pengalaman banyak di bidang traveling dan saat ini berkarya di bidang pendidikan dan sangat perhatian dengan masalah-masalah sosial-manusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tersangka Dan Bersaksi, Sebuah Konflik Eksistensial Angie

23 Februari 2012   04:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:17 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13299713591192394626

Andaikan  M. Nazaruddin (MN) yang juga telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka perbuatan kriminal pencucian uang karena menggunakan uang hasil korupsi dan suap dari proyek Wisma Atlet Palembang untuk membeli saham Garuda Airlines, dan dia diharuskan atau diminta untuk menjadi saksi untuk kasus itu sendiri dimana ia sudah dalam status tersangka, maka beberapa kesaksiannya itu pasti akan dibilang bohong. Hal ini tidak dapat disangkal sebab secara naluri alamiah, M. Nazaruddin akan memberikan kesaksian yang harus meringankan dirinya sendiri yang dalam konteks itu adalah juga tersangka. Hanya orang yang tidak memiliki naluri manusia alamiah itu yang apabila dituntut menjadi saksi dalam suatu kasus kejahatan dimana ia sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka di dalamnya, akan memberikan fakta atau keterangan yang dapat berujung dia menjadi terpidana. 'Insan' yang telah kehilangan  naluri menghindar dari situasi yang mengancam dirinya sendiri sebenarnya adalah robot atau batu. Tanaman hidup yang ditempatkan di dekat jendela di dalam rumahpun akan condong bertumbuh miring menuju arah sinar matahari dan udara segar yang kerap masuk dengan lancar lewat jendela itu. Tanaman yang tanpa rasio khas manusiawi itu saja bisa 'mengerti' bagaimana cara terbaik untuk bisa hidup nyaman terlepas dari gangguan dan tidak terbelenggu oleh keadaan tidak kondusif. Demikian pula, ketika Angelina Sondakh (AS) alias Angie -yang kini ikut sebagai tersangka lain dalam kasus suap Wisma Atlet yang melibatkan tersangka utama MN - diharuskan untuk menjadi saksi dalam perkara yang juga disangkakan kepadanya, maka secara naluri alamiah ia akan berusaha sehebat semua daya yang dimilikinya untuk escape dari segala tuduhan dan sangkaan, apalagi yang belum ada buktinya.  Tanpa perlu dibantu untuk diarahkan oleh partai, orang dekat, penasehat hukum, keluarga atau pacarnya sekalipun, AS dibekali oleh sang mahapencipta berupa naluri alamiah yang kadang-kadang nakal, irasional dan amat tergantung pada stimulus di luar diri dan kemampuannya. Jika kita mau menangkap seekor cejak dan kita kebetulan hanya memegang ekornya, maka otomatis ekor itu akan dilepas oleh sang cecak. Format alamiahnya sudah demikian. Lain kalau kita memegang ekor seekor buaya liar, bukan ekornya yang lepas tapi bisa-bisa tangan kita yang putus ditebas gigitannya! Orang yang dapat menangkap mekanisme alamiah yang dilakoni oleh Angie itu sebagai bagian dari natural self-defensive-nya ketika memberi kesaksian ronde pertama pada sidang kasus suap Wisma Atlet Palembang  hari Rabu (15/2/2012) lalu itu,  dapat pula mengerti bahwa bagi Angie apa yang dikatakannya dalam sidang itu bukan bohong. Tanaman hidup di dalam ruang tertutup kalau akhirnya kita lihat bertumbuh miring/bengkok ke arah jendela bukan merasa berbohong, melainkan merasa 'jujur' mengikuti naluri dirinya untuk mencari cahaya matahari dan udara segar untuk kenyamanan pertumbuhannya. Justru kalau tanaman hidup itu tidak bengkok, maka tanaman itu berbohong. Jika sebagai tersangka lalu Angie misalnya memberi kesaksian bahwa benar ia sering berkomunikasi dengan Mindo Rosalina dan benar ia yang minta 'apel malang' dan 'apel wsashington', maka ia justru membohongi kemampuannya untuk menghindari dari masalah yang akan lebih menyiksa dirinya. Inilah konflik naluri alamiah Angie sebagai tersangka yang harus memberi kesaksian terhadap perkara yang juga disangkakan kepadanya. Tanaman dan binatang saja tahu persis bagaimana menghindari dari bahaya dan penghalang kenyamanan hidupnya. Persoalannya Angie itu bukan cecak, buaya, apel, semangka atau bunga mawar apalagi batu. Publik dan terutama media massa tidak habis-habisnya menyebut Angie pembohong dalam ronde pertama kesaksiannya beberapa hari lalu itu, pun oleh media yang tidak mengerti apa-apa tentang kasus Wisma atlet karena latah dan kehilangan selera investigatifnya. Apa dasar pemikiran terdalam dari munculnya cap pembohong terhadap Angie? Dasarnya ialah Angie justru dikenal sebagai perempuan cerdas, pintar dan flamboyan sebagai manusia. Sifat-sifat 'mahaluhur' dan terindah dari Angie itu dinilai tidak nampak samasekali dalam diri Angie pada saat memberi kesaksian. Sifat dan jatidiri inilah eksistensi sebenarnya AS dan ketika semuanya tidak ada lagi (untuk sementara) dalam pengakuan Angie, maka publik dan forum pengadilan hanya mendapat sajian naluri-naluri penghindaran diri. Penghindaran diri oleh seorang manusia rasional dan bermartabat seperti Angie, tepatnya adalah sebuah konflik eksistensial atau konflik hakekat diri Angie. Bukan sekedar mengatakan iya atau tidak terhadap apa yang ditanyakan oleh jaksa atau pengacara MN. Persoalan Angie, apalagi dalam posisi sebagai tersangka yang harus memberikan kesaksian (bukti) yang mana ada kemungkinan justru ada kesaksiannya sendiri yang akan menyebabkan dia menjadi tersangka jika dicari akar masalahnya secara filosofis bukan soal berbohong atau tidak berbohong, melainkan persoalan siapa lagi (diri) Angie ini sebenarnya saat ini perkara yang disangkakan melibatkan dirinya itu sedang ramai berproses dan nanti jika perkara dia selesai? Persoalan Angie ketika duduk sebagai saksi adalah persoalan nilai-nilai substantif dalam dirinya. Jikapun berkata jujur dan benar tentang persoalan-persoalan yang disangkakan kepada MN, dan sangat mungkin akan segera bersinggungan dengan dirinya sendiri, maka apakah kepintaran yang publik kenal dalam dirinya masih dapat dipertanggung-jawabkan? Jikapun memang beliau telah berbohong, maka bagaimana beliau harus mempertanggung-jawabkan statusnya sebagai mantan perempuan tercantik raganya, terencer otaknya dan terindah perilakunya kepada orang tua, tetangga, partai, sahabat dan publik? Sungguh-sungguh konflik yang mendasar sebagai manusia berbudi pekerti, moral dan nurani. Tidak ada cara lain yaitu menggunakan pekerti, moralitas dan nurani khas Angie. Bukan naluri penghindaran diri ala cecak yaitu melepas ekor ketika diburu mangsanya. Jangan juga menghindar seperti buaya, sebab sudah ada banyak juga buaya darat yang sedang mengejarmu.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun