Ujian nasional diadakan oleh pemerintah dengan tujuan yang positif, yaitu meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Melalui UN, pemerintah berharap bahwa mutu pendidikan Indonesia dapat ditingkatkan dengan baik dan pemerintah dapat memegang kendali atas mutu pendidikan melalui UN. Namun, realitas yang terjadi berlawanan dengan maksud baik dari pemerintah. UN yang seharusnya menjadi peningkat mutu pendidikan Indonesia justru menunjukan bahwa mutu pendidikan di Indonesia sangatlah rendah. Pendidikan Indonesia yang belum merata dan menyebabkan kesenjangan tentu saja tidak adil apabila UN menjadi tolok ukur. Dalam hal ini, seorang pelajar di daerah terpencil dengan segala kekurangannya tentu tidak bisa dibandingkan dengan pelajar di daerah metropolitan dengan segala sarana dan prasarana yang menunjang mereka. Angka buta huruf yang tinggi yang ada di daerah terpencil seperti di pedalaman Papua menjadi bukti kesenjangan pendidikan yang kurang merata. Banyak anak-anak di Papua yang seusia SMA namun buta huruf, hal ini tentu lah tidak adil karena kurangnya fasilitas dan kualitas tenaga pengajar yang mereka dapatkan terlebih apabila UN menjadi tolok ukur. Pelajar-pelajar di Papua yang memiliki angka buta huruf yang tinggi tidak lah bisa akan mendapatkan nilai UN yang sebaik pelajar di daerah metropolitan. Karena pendidikan yang belum merata ini lah, UN sebaiknya dihapuskan terlebih dahulu. Selain itu, UN akan dihadapi oleh siswa kelas XII yang akan mempersiapkan mencari perguruan tinggi.Â
Dengan adanya UN, siswa-siswa ini tidak dapat fokus dalam mengejar perguruan tinggi yang mereka inginkan. Setiap jurusan di perguruan tinggi, pasti lah memiliki kualifikasi yang berbeda-beda. Hal ini akan menyulitkan siswa dalam fokus untuk mengejar perguruan tinggi favorit mereka. Hal lain yang dapat mendorong penghapusan UN adalah karena adanya UN, orientasi belajar adalah nilai. Belajar bukan lagi untuk menutut ilmu pengetahuan yang luas, namun mencari nilai tertinggi. Hal ini sebenarnya tidak relevan karena tiap anak memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Ada anak yang bagus dalam bidang akademik namun ada pula anak yang bagus dalam nidang non akademik. Hal ini tentu menyulitkan bagi anak yang bagus dalam bidang non akademik namun kurang bagus dalam bidang akademik. Orientasi yang menuju ke arah nilai ini menyebabkan banyak pelajar yang menghalalkan segala cara demi meraih nilai terbaik tak peduli cara itu benar ataupun tidak, yang terpenting bagi mereka adalah memperoleh nilai terbaik. Hal itu menyebabkan kecurangan di UN merajalela. Kecurangan para pelajar dalam mengerjakan UN seolah-olah telah menjadi tradisi turun-temurun yang tidak dapat diputus.Â
UN menjadi ajang bagi para peserta UN untuk berlaku curang dengan cara membawa contekan maupun bekerja sama dengan peserta UN lainnya. Yang ironis, beberapa dari mereka justru bangga apabila mereka dapat melakukan kecurangan tanpa diketahui oleh pengawas ujian. Tak jarang budaya kecurangan ini banyak dimanfaatkan oleh calo-calo untuk meraup keuntungan dengan cara menjual kunci jawaban. Hal ini menjadi ironis dan menunjukan buruknya UN. Kiranya Presiden Jokowi melalui revolusi mentalnya dapat menghilangkan hal-hal buruk yang terjadi dan menghapuskan UN demi lebih berkembangnya pendidikan Indonesia karena melihat pengalaman selama ini, UN justru menunjukan betapa buruknya mental pelajar di Indonesia. Penulis adalah seorang pelajar SMA Kolese Loyola Semarang yang saat ini duduk di bangku kelas XI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H