Akhir-akhir ini ramai dipergunjingkan orang, jelang pemilihan kepala daerah, istilah Dinasti Politik. Makna kata 'Dinasti' itulah yang membuat konotasi negatif terhadap kata 'Politik' yang sebenarnya memiliki nuansa mulia bagi kesejahteraan manusia.
Sebenarnya hal ini bukanlah peristiwa baru namun telah cukup lama masyarakat dipertontonkan berbagai berita kepala daerah maupun anggota legislatif atau birokrat yang memiliki tali kekerabatan keluarga dengan pendahulunya atau yang menduduki jabatan tersebut sebelumnya.
Namun bagaiman hal tersebut bisa ada bahkan terus menerus terjadi di setiap generasi. Bahkan bukan hanya di Tanah Air, di mancanegara politik dinasti biasa terjadi tanpa dipersoalkan dan berjalan secara wajar seperti air mengalir.
Tinjauan Hukum
Melihat dinasti politik tidak hanya dengan pandangan awam biasa saja karena hanya akan terjadi perdebatan serta pro dan kontra yang tidak konstruktif. Mari kita lihat dari aspek hukum.
Secara hukum hal tersebut dibenarkan. Meski dahulu sempat ada pelarangan lewat UU No 8 Tahun 2015. Aturan tersebut akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
MK menghapus pasal 'dinasti politik' dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Dalam Pasal 7 huruf r disebutkan:
"Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana."
Yang dimaksud dengan 'kepentingan dengan petahana' Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan:
Yang dimaksud dengan "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana" adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan.
MK menghapus hal tersebut bukan tidak beralasan. Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi argumen kuat menggugurkan pasal 'dinasti politik'